Puasa: Disiplin Spiritual dalam Mewujudkan Ketakwaan
Oleh: Suko Wahyudi/PRM Timuran Yogyakarta
Ibadah puasa, atau yang dalam bahasa Arab disebut Ash-Shiyam, secara linguistik bermakna menahan diri. Konsep ini erat kaitannya dengan istilah imsak, yang menggambarkan upaya seorang Muslim dalam menahan diri dari berbagai hal yang sejatinya halal, namun dibatasi oleh ketentuan waktu tertentu. Puasa dimulai sejak fajar menyingsing di ufuk timur hingga matahari tenggelam di cakrawala, menjadi perjalanan spiritual yang sarat makna dalam rangka meningkatkan ketakwaan dan kedekatan kepada Allah.
"Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Te-tapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa". (Al-Baqarah [2]: 187).
Ibadah puasa merupakan kewajiban dalam ajaran Islam yang pelaksanaannya senantiasa terikat dengan dimensi waktu. Pembatasan dalam berpuasa tidak bersifat mutlak, melainkan hanya berlaku sejak fajar mulai menyingsing hingga matahari terbenam. Allah SwT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa". (Al-Baqarah [2]: 183).
Kewajiban berpuasa bukanlah suatu ibadah yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Umat-umat terdahulu, seperti pengikut Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi Isa, juga telah diperintahkan untuk menjalankan ibadah puasa. Hakikat serta tujuan dari ibadah ini pun tetap sejalan, yakni sebagai sarana untuk membentuk ketakwaan, sebagaimana yang diperintahkan kepada umat Nabi Muhammad SAW.
Ketakwaan merupakan puncak kesadaran spiritual yang lahir dari rasa takut dan cinta kepada Allah SWT. Ia terwujud dalam kepatuhan yang tulus terhadap segala perintah-Nya serta keikhlasan dalam menjauhi larangan-larangan-Nya. Manifestasi ketakwaan ini dapat terlihat dari komitmen seseorang dalam mengarungi kehidupan dengan prinsip-prinsip yang diridhai-Nya.
Tujuan utama ibadah puasa adalah membentuk insan yang bertakwa. Namun, ketakwaan tidak akan tumbuh dan mengakar dalam jiwa apabila ibadah puasa tidak disertai dengan tiga upaya yang berkesinambungan dalam kehidupan sehari-hari. Tiga upaya ini telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
"(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan". (Ali-Imran [3]: 134).
Ketiga nilai ini bersifat universal dalam proses pembentukan kualitas ketakwaan seseorang. Namun, maknanya semakin terasa mendalam dan relevan ketika dikaitkan dengan keutamaan bulan suci Ramadhan, di mana setiap mukmin diuji untuk mengamalkan kesabaran, kedermawanan, dan kelapangan hati dalam meraih ridha Ilahi.
Mengapa ketiga perintah dalam Surah Ali-Imran memiliki keterkaitan erat dengan upaya pembentukan dan peningkatan kualitas insan bertakwa?
Pertama, perintah untuk menafkahkan harta secara konsisten mencerminkan kualitas ideal yang harus diperjuangkan. Sikap dermawan yang tertanam dalam jiwa seseorang tidak akan muncul begitu saja tanpa adanya latihan yang terencana dan berkesinambungan. Kedermawanan bukan sekadar kebajikan spontan, melainkan hasil dari proses pembiasaan yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, Allah SWT menetapkan bulan Ramadhan sebagai momentum istimewa bagi umat Islam untuk memperbanyak amal jariyah. Bahkan, Nabi Muhammad SAW secara aktif mendorong umatnya dengan ketentuan-ketentuan yang memperjelas keutamaannya. Anjuran ini tidak lain bertujuan agar kaum Muslimin berlomba-lomba dalam menunaikan ibadah dan menggiatkan amal jariyah sebanyak mungkin, menjadikan kedermawanan sebagai karakter yang melekat dalam kehidupan mereka.
"Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, setiap satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku yang langsung membalasnya. Dia tidak makan dan tidak minum karena Aku. Orang yang berpuasa akan mendapat dua kebahagiaan: kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat bertemu dengan Rabbnya kelak. Sungguh bau mulut orang yang puasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi". (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Bukhari disebutkan:
“Ia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan aku yang akan membalasnya, dan kebaikan itu akan digandakan sepuluh kali lipatnya”.
Secara psiko-sosial, Nabi Muhammad SAW memahami dengan mendalam bahwa tidaklah mudah bagi umat Islam untuk merealisasikan anjuran dalam Surah Ali-Imran. Kewajiban menafkahkan harta secara berkelanjutan tidak akan tercapai tanpa adanya upaya yang terencana dan metode yang sistematis. Diperlukan rangsangan yang tepat, baik dalam bentuk material maupun immaterial, agar kebiasaan berbagi dapat tertanam dalam jiwa dan menjadi bagian dari pola hidup umat Islam.
Kedua, kualitas takwa tidak akan dapat diraih oleh kaum Muslim apabila mereka tidak mampu menahan amarah. Dalam bulan Ramadhan, pengendalian diri terhadap amarah menjadi suatu keutamaan. Oleh karena itu, ketika seorang muslim menghadapi situasi yang tidak pantas, seperti perdebatan atau perselisihan, maka respons yang paling mulia adalah dengan berkata, "Sesungguhnya, aku sedang berpuasa".
"Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rafats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, "Aku sedang puasa, aku sedang puasa". (HR. Ibnu Majah).
Kesabaran bukanlah sifat yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari pembelajaran dan latihan yang berkelanjutan. Puasa merupakan salah satu bentuk disiplin spiritual yang terencana, dirancang agar manusia mampu mengendalikan diri saat menghadapi cobaan yang berat.
Kemampuan menahan hawa nafsu, mengendalikan hasrat, serta menundukkan keinginan merupakan inti dari pembinaan jiwa. Sebab, dalam realitas kehidupan modern, tantangan dan godaan kian kompleks serta sulit dihindari.
Ketiga, salah satu manifestasi ketakwaan yang luhur adalah sikap pemaaf terhadap sesama. Jiwa yang mampu memaafkan kesalahan orang lain merupakan sifat yang mulia dan terpuji. Namun, dalam praktiknya, menerapkan sikap ini bukanlah perkara yang mudah. Beragam faktor dapat menjadi penghambat tumbuhnya jiwa pemaaf dalam diri seseorang.
Dalam realitas sosial, misalnya, individu dengan status sosial yang tinggi sering kali enggan memberikan maaf. Mereka cenderung merasa tidak pernah berbuat salah atau, sekalipun melakukan kekhilafan, enggan untuk mengakuinya. Rasa gengsi yang berakar pada kedudukan sosial kerap kali menjadi tembok penghalang bagi lahirnya sikap pemaaf. Alih-alih merendahkan hati, mereka justru terjebak dalam kebanggaan diri yang menghambat keikhlasan dalam memaafkan maupun meminta maaf.
Jika kita menelaah fungsi dan tujuan ibadah puasa melalui perspektif Surah Ali-Imran ayat 134, tampak jelas bagaimana Islam merancang tahapan-tahapan sistematis bagi manusia dalam mencapai derajat takwa. Peningkatan kualitas takwa dan fungsinya dalam pengendalian diri tidak akan terwujud tanpa adanya disiplin spiritual yang terarah dan berkesinambungan.
Ibadah puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi merupakan bentuk pelatihan ruhani yang mendalam. Melalui ibadah ini, seseorang ditempa untuk menumbuhkan jiwa kedermawanan, mengasah kesabaran, serta membentuk kemampuan menahan diri dari segala bentuk kemungkaran. Lebih dari itu, puasa juga menjadi sarana bagi manusia untuk mengembangkan sikap pemaaf, sehingga membentuk kepribadian yang penuh dengan kebijaksanaan dan kelembutan hati.