Oleh: Donny Syofyan
Allah menyuruh kita memahami lingkungan di mana kita berada (qul sîrû fil ardh). Dalam surahb Ali Imran 191 dinyatakan ‘mereka yang memikirkan penciptaan langit…’ Dalam balaghah, kata fî bermakna sesuatu yang berada di dalam sesuatu—zharfiyah. Mereka menyebut amplop (zharf/ظرف) karena kita menempatkan sesuatu dalam amplop. Artinya kita memasukkan diri kita untuk memikirkan sesuatu. Dalam konteks ini lingkungan atau ciptaan Allah. Ketika bercerita tentang Nabi SAW (al-Jumu`ah:2), Allah menyebut ‘ba`atsa fil ummiyyîna.’ Kata ba`atsa ada progression, syay’an fa syay’an. Jadi rasul lahir dan besar di masyarakatnya dan paham dengan masyarakatnya. Allah memberikati masyarakat ketika Dia mengirimkan Rasul dari kalangan mereka (QS Ali Imran 164).
Nabi SAW dilengkapi dengan ilmu untuk memahami masyarakatnya (sosiologi). Ketika Abu Bakar menjadi jubir Rasulullah SAW, dia menjelaskan kepada beliau karakter kaum atau kabilah (sejarahnya, suku ini memilik orang tua ini dan itu, suku ini suka kuda sementara suku lain suka onta) sebelum bertemu dengan suatu kaum. Jadi ketika Nabi SAW bertemu dengan kaum tersebut, mereka kaget karena betapa beliau sangat mengetahui dengan mereka, hal-hal detail, termasuk menyapa dan berbicara dengan kebiasaan mereka. Allah SWT berfirman bahwa Dia mengutus Rasul dengan bahasa kaumnya (QS Ibrahim 4). Sebagai Muslim kita perlu tahu dimana kita berada. Di AS masjid yang ikut memperjuangan nasib Black People ikut mendoakan kebaikan buat mereka. Masjid-masjid ini beroleh kesan positif. Lalu masjid yang jauh dari masyarakat, tak cukup dalam berdakwah, tak paham atau abai dengan akar sejarah penindasan di AS mendapat kritikan pedas, termasuk dari generasi Muslim sendiri.
Kita coba bahas pelajaran dari Nabi Musa, bukan sesuatu yang ditampilkan dalam film Exodus (2014). Musa adalah seorang dari Ulul Azmi.
Pertama, jangan abaikan kebesaran perjuangan kaum wanita. Dimulai dengan ibunya. Allah menyebut hati ibu Musa kosong (fârighan/ فارغ). Maknanya, kosong dari apapun kecuali untuk putranya, Musa. Ini menunjukkan betapa pedulinya dia dengan putranya. Sebagai janji Allah, Dia membawa kembali Musa kepadanya untuk disusui. Dia adalah prototip ibu yang berkurban. Yang kedua saudari perempuan Musa—هَلْ اَدُلُّكُمْ عَلٰٓى اَهْلِ بَيْتٍ يَّكْفُلُوْنَهٗ--QS. 28;12. Ini menjadi dasar bagi ulama boleh berbicara di kampus, ustadzah dan lain-lain. Sebab bila dia diam, Musa tak akan selamat. Karenanya ulama mengatakan berbicara bagi wanita bukan dharûrah (darurat) tapi hâajjah (hajat/kebutuhan). Dia jelas-jelas berada di depan banyak orang dan memberikan jalan keluar atas masalah yang dihadapi istri Musa karena tak seorang pun yang bisa menyusui Musa. Saudari Musa ini patuh kepada Allah dan ibunya. Dia seorang yang fathânah. Dia menggunakan kepintarannya menyelamatkan saudaranya, Musa. Yang ketiga adalah istrinya Fir`aun—Asiyah binti Muzahim. Dia seorang yang memilki kedudukan yang ditinggi di sisi Allah. Ketika ia disiksa oleh Fir`an karena beriman kepada Rabb Nabi Musa dan Harun, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala, dia berdoa kepada Allah untuk dibangunkan rumah di surga—رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ , (QS at Tahrîm: 11). Bukan hanya masuk surga, tapi rumah dekat dengan kamu. Kisah ini menjadi antesis atas tuduhan bahwa Islam amat patriarkis. Allah mengangkat derajat wanita secara spesial.
Kedua, keyakinan merubah seseorang. Sabda Nabi, “Aqrabukum ilayya yawmil qiyâmah ahsanukum khuluqan” (Yang paling dekat denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya) atau إِنَّمَابُعِثْتُلأُتَمِّمَمَكَارِمَالأَخْلاق. Sebelum Musa jadi Nabi, dia sudah punya bakat menentang kezaliman. Responnya terhadap kezaliman sebelum nubuwwah tanpa pikir panjang. Dia memukul dengan tangannya dan membunuhnya (QS.28:15—فَوَكَزَهٗ مُوْسٰى فَقَضٰى عَلَيْهِۖ. Al Mutannabi dalam puisinya mengatakan, al ra’yu kabr syujâ`i syujâ`atan—berpikir sebelum bertindak dengan keberanian berarti berpikir dua kali. Jadi ada dua keberanian, yakni keberanian berpikir dan keberanian bertindak.
Lalu kita tahu kisah berikutnya Musa melarikan diri ke Madyan. Dia menikah di sana. Pernikahan merubahnya, dari yang tadinya berwatak keras menjadi atentif kepada keluarga. Innî anastu nâran la`alli âtîkum (aku melihat api mungkin aku bisa bawa sesuatu untukmu— اِنِّيْٓ اٰنَسْتُ نَارًا لَّعَلِّيْٓ اٰتِيْكُمْ, QS 28:29. Dari sini ulama mengatakan kita bisa melihat tingginya maqam Nabi SAW. Bila Musa berbicara kepada Allah lewat semak duri berapi (burning bush), sementara Muhammad langsung (مباشرة). Atau Ketika Musa berdoa kepada Allah untuk dilapangkan hatinya (insyirah/إنشراح), tapi Muhammad justru Allah melapangkan hatinya. Yang diberi tanpa meminta tentu lebih mulai daripada yang diberi dengan meminta. Musa lalu diangkat jadi Rasul setela menerima nubuwwah. Nubuwwah ini ada dua arti menurut ulama. Pertama nabwah (sesuatu yang dihormati). Musa dihormati karena ia dianugerahi kemampuan untuk mengajar. Kedua yang menyampaikan dakwah kepada masyarakat.
Lalu Allah memerintahkan Musa mendekati Fir`aun. After knowledge comes responsibility. Allah mengatakan, “اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى” (Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas/QS:Thahâ 43). Sungguhpun dia datang kepada seseorang yang mengakui dirinya sebagai Tuhan dan menzalimi kaumnya Bani Israil dengan menjadikan mereka sebagai budak, tapi Musa diperintahkan untuk berkata lemah lembut (قَوْلًا لَيِّنًا). Di sini kita melihat transformasi pada diri Musa, sebelum diangkat sebagai Nabi keras, setelah menikah lembut, setelah menerima nubuwwah jauh lebih lembut tapi bukan berarti tak tegas. Syekh Abdul Karim Zaydan, seorang ulama besar dari Irak, menyatakan bahwa berdasarkan kisah Musa ini kita beroleh pelajaran bahwa iman merubah karakter seseorang. Dia membunuh orang yang menyakiti pemuda dari kaumnya, namun dia memperlihatkan akhlak terhadap tokoh di balik kezaliman terhadap kaumnya.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas