Mobil BMW, Sepeda Butut, dan Motor Tua AR Fahruddin

Suara Muhammadiyah

Penulis

1
184
Ilustrasi AR Fahruddin

Ilustrasi AR Fahruddin

Mobil BMW, Sepeda Butut, dan Motor Tua AR Fahruddin

Oleh: Babay Parid Wazdi, Kader Muhammadiyah, Aktifis IPM 1988- 1991

Pagi itu Yogyakarta seolah tersenyum padaku. Udara segar menyapa wajahku ketika aku mengayuh sepeda tua menuju kantor PP Muhammadiyah di Jalan KH. Ahmad Dahlan. Suara rantai sepeda yang berderit seakan berdzikir di antara lalu lintas kota yang mulai ramai.

Dari arah Warungboto aku melewati Taman Makam Pahlawan di jalan Kusuma Negara, tempat Sang Jendral Besar Sudirman di makamkan, kemudian melintas Malioboro, menyapa gedung-gedung, Bank Indonesia dan Kantor Pos Yogyakarta. Tidak lama kemudian  Wangi kue dari toko dekat kantor Muhammadiyah sudah tercium dan menggoda perut yang belum diisi, tapi semangat untuk berkhidmat di Ikatan Pelajar Muhammadiyah menepis godaan itu.

Aku parkirkan sepedaku di dekat sebuah motor bebek tua, lusuh tapi terawat. Tak lama kemudian aku masuk ke kantor PP Muhammadiyah, mengikuti rapat bersama kawan-kawan muda yang dipenuhi semangat dakwah dan pengabdian.

Usai pertemuan, aku bergegas keluar karena harus kembali ke Sekolah SMA Muhamadiayah II. Saat menarik sepedaku, tak sengaja setang sepeda itu menyenggol motor tua di sebelahnya hingga hampir roboh. Seorang satpam yang berjaga di halaman sontak melotot tajam sambil berlari menghampiri. Dengan cepat ia menahan motor itu agar tidak jatuh. Aku sempat tertegun. Dalam hati aku bergumam, “Kenapa segitunya menjaga motor tua begitu?”

Beberapa bulan kemudian, pertanyaan itu terjawab. Ternyata motor bebek tua itu milik Pak AR Fahruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah kala itu, sosok yang sangat dihormati dan dikenal karena kesederhanaannya. Sejak saat itu aku menjadi pengagum beliau. Aku mulai memperhatikan cara beliau berbicara, berjalan, memimpin rapat, bahkan cara beliau menyapa orang kecil di sekitar kantor. Semuanya memancarkan keikhlasan yang tenang. Beliau seperti telah “selesai” dengan urusan dunia. Sosok yang tak lagi mengejar kehormatan, tapi justru memancarkannya dari ketulusan. Dalam diriku aku menemukan teladan nyata: kesederhanaan yang lahir dari kekayaan hati.

Dari perjumpaan sederhana itulah aku belajar tentang integritas yakni menyatunya doa, pikiran, lisan, dan perbuatan. Itulah yang  disebut sebagai empat pilar kehidupan. Dalam bahasa zaman sekarang, itulah makna sejati dari integritas.

Aku pernah berjanji dalam hati: “Jika suatu hari aku diberi amanah jabatan, aku ingin meneladani kesederhanaan Pak AR Fahruddin.”

Tahun demi tahun berlalu. Allah mengantarkanku meniti karier panjang di dunia perbankan — dari Bank Mandiri, Bank BJB, Bank DKI, hingga Bank Sumut.

Ketika akhirnya aku dipercaya memimpin, aku teringat pada motor tua itu. Aku menolak menggunakan mobil dinas mewah seperti BMW, Mercy, atau Alphard. Bagiku, kendaraan itu adalah simbol jarak antara pemimpin dan rakyatnya. Aku memilih menggunakan kendaraan yang ada, mobil kantor biasa. Saat dijemput dari bandara, aku selalu berkata kepada staf, “Pakai saja Avanza atau Innova, jangan repot-repot menyewa mobil mewah. Kita ini pelayan publik, bukan pejabat kerajaan.”

Begitu juga dalam perjalanan dinas. Tiket pesawat kelas ekonomi sudah cukup, karena tujuan semua orang di pesawat sama: tiba dengan selamat. Untuk urusan hotel, aku meminta sekretaris memesan kamar biasa, bahkan di bawah standar yang semestinya disediakan bagi direksi. Bagiku, kemewahan yang sejati bukan terletak pada fasilitas, tetapi pada kemampuan menahan diri dari godaan dunia.

Dalam perjalanan hidup, aku juga banyak belajar dari tokoh-tokoh bangsa yang menjunjung nilai serupa. Dari Jenderal Hoegeng, aku belajar kejujuran yang tak bisa dibeli.

Dari Burhanuddin Lopa, aku belajar keberanian menegakkan kebenaran.

Dari Ir. Sutami, Menteri Pekerjaan Umum yang membangun banyak proyek besar tapi hidup sederhana. Dan tentu dari Bung Hatta, yang sampai wafat tanpa mampu membeli Sepatu Bally, tapi meninggalkan kemuliaan yang abadi.

Mereka adalah teladan bahwa jabatan bukanlah kehormatan, melainkan ujian. Dan kemewahan bukanlah tanda keberhasilan, melainkan potensi kejatuhan.

Namun, hidup manusia tak selalu berjalan di jalan mulus. Kini, aku menulis refleksi ini dari balik dinding tahanan. Aku dituduh terlibat dalam kasus korupsi pemberian kredit yang disebut merugikan negara. Ironisnya, di antara semua hal yang pernah kuhindari justru tuduhan korupsi yakni memperkaya diri sendiri, orang lain, dan merugikan negara itulah yang kini menjeratku.

Sungguh, dalam kehidupan terkadang kita tak dihukum karena kesalahan, melainkan diuji karena keteguhan. Aku sering merenung: barangkali Allah sedang mengajarkanku sesuatu yang lebih dalam dari sekadar karier dan jabatan, tentang makna keikhlasan dan kesabaran.

Posisiku saat pemberian kredit sebenernya ibarat penjaga toko. Pada suatu hari toko itu kedatangan perampok, terjadilah baku tembak antara apparat dan perampok. Kemudian dalam baku tembak tersebut aku terkena tembakan. Karena aku terluka kena tembak, akhirnya aku di anggap perampok. Padahal aku sebagai penjaga toko korban perampokan. Dan tentu saja aku satu visi dengan apparat, yakni benci terhadap kejahatan. 

Namun, aku memilih tidak berkeluh kesah. Karena aku percaya, setiap derita punya makna. Jika dulu aku belajar integritas dari motor tua milik Pak AR Fahruddin, kini aku belajar keteguhan iman dari ruang sunyi tahanan.

Dalam kesunyian ini aku merenung, mungkin inilah cara Allah menegurku agar kembali mengayuh sepeda tua itu, bukan dalam arti harfiah, tapi dalam makna batin.

Sepeda tua yang dulu membawaku menempuh jalan dakwah, kini menjadi lambang perjalanan spiritual: perlahan, jujur, dan apa adanya.

Aku juga percaya, tidak ada amal yang hilang. Ketika seseorang berusaha hidup sederhana, menolak fasilitas mewah, menegakkan efisiensi, dan menjauh dari kerakusan, maka amal itu tercatat di sisi Allah meski mungkin dunia menutup mata. Itulah keyakinanku saat ini, keyakinan seorang insan yang masih ingin mengabdi, meski sedang diuji.

Dari balik jeruji, aku banyak berdoa. Aku bertawasul kepada Allah melalui amal-amal kecil yang pernah kujalani selama dua puluh tujuh tahun di dunia perbankan: Menolak hidup berlebihan, menjaga efisiensi, menegakkan integritas, dan mencoba menjadi teladan bagi anak buah. Semoga amal itu menjadi wasilah agar Allah menurunkan pertolongan-Nya, membuka pintu keadilan, dan memulihkan nama baikku serta keluargaku.

Kini aku sadar, ujian ini bukan kehinaan, melainkan panggilan untuk kembali kepada kesederhanaan yang sejati. Dulu, aku mengayuh sepeda tua menuju kantor Muhammadiyah dengan semangat dakwah. Kini aku mengayuh doa menuju keadilan dan pembebasan.

Mungkin Allah sedang memintaku menempuh jalan yang sama — hanya saja kali ini bukan dengan roda besi, tapi dengan roda kesabaran dan keikhlasan.

Pagi kadang datang lebih lambat dari yang kita duga. Namun, aku percaya, fajar pasti tiba bagi siapa pun yang berjuang dengan niat tulus. Maka aku terus menanti sang fajar  itu, fajar di mana kebenaran akan menembus dinding besi, fajar ketika aku dapat kembali mengabdi kepada bangsa, dengan hati yang lebih jernih, lebih lapang, dan lebih sederhana.

Sampai saat itu tiba, aku hanya ingin terus mengayuh dalam doa.

Derit rantai sepeda tuaku kini bergema dalam batin: “Jangan berhenti, teruslah melangkah.”

Karena mungkin, di ujung jalan kesederhanaan itulah, Allah menunggu dengan senyuman. Dan pada akhirnya suatu saat kelak Allah akan memnggil kita dengan Kalam-Nya; 

 يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ، ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً، فَادْخُلِي فِي عِبَادِي، وَادْخُلِي جَنَّتِي.

“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27–30)

Salemba 24 Oktober 2025

Notes: Penulis adalah Direksi Bank DKI 2018-2022 & Dirut Bank Sumut 2023-2025). Esay ini merupakan bagian dari Manifesto Tawasul Sang Burung Pipit, The Bright Way to Freedom and Faith. Dan saya ketik dari tulisan tangan ayah saya. Salam Ahmad Raihan Hakim (Alumni SMA Muhammadiyah III Jakarta Angkatan 2018).

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Membangun Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia Oleh: Prof. Dr. A. Junaedi Karso, Pengajar di FISI....

Suara Muhammadiyah

27 December 2024

Wawasan

Oleh: Nur Ngazizah Allah menciptakan laki-laki dan perempuan berpasang-pasangan. Melalui akad perni....

Suara Muhammadiyah

1 December 2023

Wawasan

Masjid Kita Harus Dijaga Oleh: Isngadi Marwah Atmadja, Sekretaris Lembaga Pengembangan Cabang-Ranti....

Suara Muhammadiyah

23 January 2025

Wawasan

Kesucian, Kebersihan, dan Keragaman: Potret Ibadah di Masjidil Haram Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketu....

Suara Muhammadiyah

15 July 2025

Wawasan

Melindungi Tetangga dari Perlakuan Zalim Oleh: Mohammad Fakhrudin Di dalam kajian ini diuraikan to....

Suara Muhammadiyah

5 September 2025