Jalan Lurus sebagai Etos Spiritual: Pembacaan Filosofis-Sufistik QS. Al-Fātiḥah [1]:7 dan Relevansinya bagi Pembentukan Karakter di Abad Digital
Oleh Piet Hizbullah Khaidir: Ketua STIQSI Lamongan; Sekretaris PDM Lamongan; dan Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jawa Timur
QS. Al-Fātiḥah ayat 7—ṣirāṭ al-ladzīna an‘amta ‘alayhim ghair al-maghḍūbi ‘alayhim wa laḍ-ḍāllīn—merupakan penjelasan (badal/‘athaf bayān) dari permohonan pada ayat sebelumnya: ihdinā al-ṣirāṭ al-mustaqīm (1:6). Dengan demikian, ayat 7 merupakan isi permohonan sebelumnya: karakter “jalan lurus”, yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat, sekaligus bukan jalan kelompok yang dimurkai dan bukan jalan mereka yang tersesat.
Dalam tradisi tafsir filosofis-sufistik, ayat ini tidak hanya menunjukkan kategori teologis normatif, melainkan juga struktur etos spiritual intelektual. Ia mengajarkan bahwa jalan lurus memiliki tiga pilar eksistensial: teladan kebaikan, penghindaran dari penyimpangan moral, dan kepekaan terhadap arah hidup.
Di era digital—di mana manusia hidup dalam derasnya arus informasi, polarisasi identitas, dan krisis makna—ayat ini menjadi fondasi penting bagi pembentukan karakter yang matang, jernih, dan berorientasi pada kebenaran.
Jalan Nikmat sebagai Teladan Peradaban
Ayat ṣirāṭ al-ladzīna an‘amta ‘alayhim menjelaskan bahwa “jalan lurus” bukan istilah abstrak, melainkan jalan konkret yang pernah ditempuh manusia-manusia yang telah mencapai kesempurnaan moral dan spiritual. Fakhr al-Dīn al-Rāzī menegaskan bahwa “nikmat” adalah “puncak penyatuan antara ilmu dan amal” (al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, juz 1, 1981, 159). Artinya, seseorang diberi nikmat jika ilmunya memancar dalam tindakan, bukan berhenti pada pengetahuan teoretis.
Al-Bayḍhāwī memperluasnya dengan mengatakan bahwa an‘amta ‘alayhim merujuk pada “para nabi, shiddīqīn, syuhadā’, dan ṣāliḥīn, juga setiap jiwa yang lurus fitrahnya dan suci niatnya” (al-Bayḍhāwī, Anwār al-Tanzīl, juz 1, 1998, 34). Dengan demikian, ayat ini memberi model karakter yang perlu ditiru: kejujuran epistemik, ketulusan moral, dan integritas spiritual.
Dalam dunia modern, kategori ini dapat ditafsirkan sebagai: (1) ilmuwan yang menjunjung etika; (2) pendidik yang menyebarkan nilai; (3) pemuda yang berjuang memelihara komitmen moral; dan (4) pemimpin yang konsisten terhadap amanah publik.
Mereka adalah figur yang menjadikan ilmu sebagai cahaya, bukan sekadar prestise; menjadikan moral sebagai prinsip, bukan aksesori sosial.
Jalan Murka: Ketika Pengetahuan Tidak Melahirkan Ketaatan
Frasa ghair al-maghḍūbi ‘alayhim menggambarkan kelompok yang mengetahui kebenaran namun menolaknya. Al-Baghawī menjelaskan bahwa “murka” timbul ketika ilmu tidak menghasilkan tunduk dan berserah (al-Baghawī, Ma‘ālim at-Tanzīl, juz 1, 1997, 52). Mereka tidak sesat karena tidak tahu, tetapi sesat karena melawan apa yang mereka ketahui sebagai benar.
Dalam perspektif sufistik, Ibn ‘Arabī membaca kategori “murka” sebagai kondisi jiwa yang ditawan ego-nya sendiri. Ilmu tidak menuntun pada kebenaran, tetapi pada pembenaran diri. Baginya, manusia yang berada di jalan murka adalah mereka yang “terhijab dari hakikat karena merasa cukup dengan dirinya sendiri” (Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Afīfī, 1973, 112).
Fenomena ini menggambarkan kategori yang sangat relevan di abad digital, yaitu:
(1) Mereka yang tahu dampak buruk ujaran kebencian tetapi tetap menyebarkannya;
(2) Mereka yang mengerti etika ilmiah tetapi tetap memanipulasi data;
(3) Mereka yang memahami nilai kebenaran tetapi tunduk pada kepentingan kelompok atau popularitas digital.
Jalan murka adalah penyimpangan moral sadar, ketika kecerdasan tidak melahirkan kebijaksanaan.
Jalan Sesat: Krisis Arah dan Hilangnya Kejernihan Batin
Kelompok kedua yang ditegaskan bukan “jalan lurus” adalah al-ḍāllīn: mereka yang kehilangan arah, tidak mengetahui kebenaran, atau terombang-ambing oleh narasi-narasi palsu. Al-Sha‘rāwī mengingatkan bahwa kesesatan bukan hanya ketidaktahuan, tetapi “ketika seseorang tidak lagi mampu mengenali arah tujuan hidupnya” (al-Sha‘rāwī, Tafsīr al-Sha‘rāwī, juz 1, 1980, 78).
Dalam era post-truth, fenomena ini sangat tampak: (1) orang tersesat dalam banjir informasi; (2)
disorientasi identitas digital; (3)
rasa kehilangan makna dalam kultur instan; dan (4)
mudah mengikuti opini viral tanpa proses pikir kritis.
Ṭabāṭabā’ī dalam al-Mīzān menegaskan bahwa aḍ-ḍāllīn adalah “jiwa-jiwa yang tidak memiliki pusat orientasi karena tidak berhubungan dengan sumber cahaya” (Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzān, juz 1, 1997, 44). Tanpa hubungan dengan kebenaran yang stabil, manusia mudah terpental ke arah mana pun yang paling bising dan paling ramai.
Dengan demikian, ayat 7 menjadi terapi eksistensial: manusia perlu memiliki kompas batin agar tidak hilang arah di tengah hiruk-pikuk dunia digital.
QS. Al-Fātiḥah [1]:7 menegaskan bahwa jalan lurus yang diminta manusia (1:6) memiliki karakter dan batasan yang jelas: ia adalah jalan orang yang diberi nikmat, bukan jalan yang dimurkai, dan bukan jalan yang sesat. Ayat ini membangun etos spiritual yang utuh: teladan kebaikan, disiplin moral, kejernihan orientasi, dan kewaspadaan terhadap penyimpangan jiwa.
Dalam konteks abad digital, di mana manusia mudah terombang-ambing oleh arus informasi, godaan hedonisme, dan kaburnya nilai, ayat ini menjadi pedoman untuk menjaga kejernihan akal dan kebeningan hati. Ia mengajarkan bahwa karakter tidak terbentuk dari pengetahuan saja, melainkan dari kemampuan menapaki jalan yang ditempuh para penerima nikmat, serta menjauhi dua jebakan moral: kesengajaan melawan kebenaran dan kehilangan arah terhadap kebenaran.
Dengan meneladani ayat ini, manusia modern dapat membangun karakter yang tangguh, terarah, dan bermartabat—serta tetap menyinari dunia yang terus berubah dengan cahaya integritas dan spiritualitas.


