PAYAKUMBUH, Suara Muhammadiyah – Muballigh Muhammadiyah diharapkan dapat memahami dengan baik perbedaan antara metode hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal dan Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawal 1446 H. Selain itu, penting bagi mereka untuk menjelaskan kedua metode ini kepada masyarakat dengan bijak agar tidak menimbulkan kebingungan.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Payakumbuh, Sumatera Barat, dalam pengantar Diskusi Ilmiah Korps Muballigh Muhammadiyah Payakumbuh yang bertajuk "Konsep Hisab Hakiki Wujudul Hilal dan KHGT" pada Ahad (16/2/2025).
Dijelaskan bahwa sesuai dengan Maklumat Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Nomor 1/MLM/I.0/E/2025, metode yang digunakan untuk menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah 1446 H adalah hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal. Menurut kriteria ini, bulan kamariah baru dimulai jika pada hari ke-29 bulan hijriah yang sedang berjalan, terpenuhi tiga syarat berikut saat matahari terbenam: (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam, bulan (piringan atasnya) masih berada di atas ufuk.
Dr. H. Firdaus, anggota Tim Hisab Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat, yang hadir sebagai narasumber, menjelaskan bahwa jika salah satu dari ketiga kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka bulan berjalan digenapkan menjadi 30 hari, dan bulan baru dimulai dua hari kemudian.
Mengenai Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang telah lama disosialisasikan, Buya Firdaus menyatakan bahwa secara resmi KHGT belum digunakan karena kalender sebaiknya dimulai dari awal tahun. Oleh karena itu, sesuai dengan maklumat PP Muhammadiyah yang baru dirilis, kriteria yang digunakan hingga akhir tahun hijriah ini masih mengacu pada wujudul hilal.
Terkait perbedaan jumlah hari puasa Ramadhan antara wujudul hilal (30 hari) dan KHGT (29 hari), Buya Firdaus menegaskan bahwa wujudul hilal merupakan ijtihad syar’i yang sah dan memiliki dasar kuat dari Al-Quran, hadis, serta as-sunnah al-maqbulah. "Kriteria wujudul hilal tidak bertentangan dengan syarat kalender, di mana umur bulan hijriah minimal 29 hari dan maksimal 30 hari," jelas dosen Ilmu Falak Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat tersebut.
Ia juga menambahkan bahwa KHGT merupakan produk ijtihad syar’i yang sah. "Keduanya sama-sama menggunakan metode hisab hakiki," ujarnya. Perbedaan utama antara keduanya adalah wujudul hilal yang berorientasi nasional atau berdasarkan konsep wilayatul hukmi, sementara KHGT berorientasi global atau berdasarkan konsep ittihad al-matali.
Pemberlakuan wujudul hilal tahun ini, menurutnya, didasarkan pada konsep istishab, yang berarti pemberlakuan hukum asal atau awal. "Kaidah ushul fikih menyatakan bahwa hukum asal sesuatu adalah berlakunya kondisi sebelum terjadinya perubahan," ungkap Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat itu.
Dalam konteks penentuan awal bulan, kaidah ini bermakna bahwa suatu ketentuan tetap berlaku sampai ada ketentuan baru yang mengubahnya. "Ketentuan baru yang akan mengubah peralihan dari metode wujudul hilal ke KHGT adalah berdasarkan Tanfidz atau penetapan oleh PP Muhammadiyah, yang rencananya akan memberlakukan KHGT pada tahun 1447 H," imbuhnya.