YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Tiada yang diketahui banyak dari Bumi Sulawesi Selatan. Lebih-lebih hal ihwal tokoh Muhammadiyah. Pada Jum’at (24/5), Suara Muhammadiyah mendapat tamu istimewa dari Sulawesi Selatan. Hj Kartini Akib, anak ke-8 dari KH Muhammad Akib, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan ke-5 periode 1968-1971.
Dalam kesempatan itu, Kartini menceritakan secara komprehensif jejak petualangan KH Muhammad Akib. Menurutnya, tokoh Muhammadiyah ini dilahirkan di Kota Parepare, Sulawesi Selatan pada bulan Desember tahun 1911. Selain dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah yang aktif dan produktif, Kartini juga mengungkapkan bahwa KH Muhammad Akib yang berguru dengan Syekh Ahmad Surkati, seorang ulama pembaharu Islam dari Sudan ini pernah menjadi mantan Ketua Masyumi di wilayah Indonesia Timur.
“Beliau itu mantan Ketua Masyumi Indonesia Timur. Nah, Anggota Masyumi itu kan orang Muhammadiyah semua. Termasuk beliau, yang juga menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Wilayah. Jadilah beliau Ketua Masyumi di Indonesia Timur, dan kemudian ditempatkan di Jakarta,” ucapnya saat di wawancarai Suara Muhammadiyah.
Kartini menjelaskan KH Muhammad Akib sempat terpilih sebagai anggota parlemen (DPR) dari Partai Masyumi. Terpilihnya saat perhelatan Pemilihan Umum tahun 1955. Dia menjalani tugas sebagai anggota parlemen hingga lembaga tersebut dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.
“Bapak saya dulu anggota parlemen. Kantornya di DPR Jakarta. Yang sekarang tempatnya menjadi kantor Kementerian Keuangan yang ditempati oleh Ibu Sri Mulyani Indrawati. Kalau DPR dulu jauh dengan DPR sekarang. Kalau sekarang sudah mewah. Kita beras saja masih antre kok. Saya kelas 5 SD masih bawa karung antre (untuk mendapatkan beras),” ungkapnya.
Walaupun berkiprah di anggota parlemen (DPR), Kartini mengatakan KH Muhammad Akib tidak pernah melupakan Muhammadiyah. Bahawa sejak dari Hizbul Wathan tahun 1933, telah digembleng di kawah candradimuka menjadi kader Muhammadiyah tulen. Hidupnya senantiasa mengabdikan di Muhammadiyah tanpa merasa lelah sedikitpun.
“Kiprah beliau di Muhammadiyah sudah dari HW sejak tahun 1933. Sejak dulu, memang beliau (bapak saya) sudah benar-benar memiliki jiwa Muhammadiyah,” ujarnya.
KH Muhammad Akib berkontribusi besar berkiprah di Muhammadiyah. Kiprahnya tidak seorang diri, tetapi alangkah luar biasanya mengajak warga masyarakat sekitar tanpa diskriminatif untuk membangun Amal Usaha Muhammadiyah. Yang dari situ kemudian, hatta dapat memberikan nilai-nilai kebermanfataan bagi warga Persyarikatan pada khsusunya, dan warga masyarakat secara luas pada umumnya.
“Nah, terus di Muhammadiyah terus membangun. Ada yang membangun dari sekolah dan rumah sakit. Ada orang asing (India) pedagang, oleh bapak saya diminta (profitnya) untuk bangun sekolah. Karena banyak orang yang sangat membutuhkan sekolah,” jelasnya.
Kiprahnya begitu rupa di Muhammadiyah. Dan tak kalah pentingnya, Kartini juga menceritakan jika KH Muhammad Akib mendedikasikan dirinya sebagai seorang dosen di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan. Dedikasinya ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara sampai akhir hayatnya.
“Bapak itu pakem mengabdikan diri di Muhammadiyah. Pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang kantornya ada di Menteng, Jakarta Pusat. Dia pengurus Majelis Hikmah dan Kebijakan Publik eranya Pak Djarnawi Hadikoesoema,” terangnya.
Selain aktif di Muhammadiyah, pada saat bersamaan KH Muhammad Akib juga terlibat secara luas dalam menangani berbagai masalah keagamaan. Bersama Mukhtar Lutfi, ia berperan penting dalam inisiatif pendirian Masjid Raya Makassar.
Sepanjang hidupnya, KH Muhammad Akib terus menjadi bagian dari pengurus Yayasan Masjid Raya, bahkan pernah menjabat sebagai ketuanya. KH Muhammad Akib wafat pada tahun 1973 di usia ke-83. (Cris)