Muhammadiyah dan Tantangan Kesejahteraan Bangsa
Oleh: Sri Herwindya Baskara Wijaya, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS
Persyarikatan Muhammadiyah, ormas Islam modernis terbesar di Indonesia, pada, Selasa, 18 November 2025, genap berusia 113 tahun dari kelahirannya tahun 1912 oleh seorang ulama besar nusantara, KH. Ahmad Dahlan (Syekh Muhammad Darwis) (1868-1923). Momen ini adalah sebuah prestasi bersejarah dan tentunya harus sangat disyukuri, khususnya oleh keluarga besar Muhammadiyah, mengingat tidak semua organisasi di dunia - termasuk organisasi keagamaan – yang mampu bertahan dan bahkan semakin eksis hingga melampaui usia lebih dari 1 abad. Pada milad ke-113 ini, Muhammadiyah mengangkat tema “Memajukan Kesejahteraan Bangsa”. Tema ini dipandang sangat tepat dan relevan mengingat saat ini masih terpampang jelas dan serius sejumlah persoalan terkait dengan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pertama, terkait dengan kemiskinan. Berdasarkan Berita Resmi Statistik No. 63/07/Th. XXVIII, 25 Juli 2025 dari Badan Pusat Statistik (BPS), disebutkan bahwa per Maret 2025 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 23,85 juta orang (8,47%). Rinciannya adalah jumlah penduduk miskin perkotaan sebanyak 11,27 juta orang (6,73%) dan jumlah penduduk miskin perdesaan sebanyak 12,58 juta orang (11,03%). Garis Kemiskinan pada Maret 2025 tercatat sebesar Rp 609.160,00/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp 454.299,00 (74,58%) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp 154.861,00 (25,42%).
Pada Maret 2025, persentase penduduk miskin ekstrem yang mengacu pada garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia sebesar US$2,15 (2017 PPP) per kapita per hari, tercatat sebanyak 2,38 juta orang (0,85 %). Data BPS juga merilis persentase penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar 18,90% serta persentase penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 5,15%. Sementara dari sisi jumlah, sebagian besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa (12,56 juta orang), sedangkan jumlah penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan (0,89 juta orang).
Kedua, terkait dengan pengangguran kerja. Berita Resmi Statistik BPS No. 103/11/Th. XXVIII, 5 November 2025 mencatat berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia per Agustus 2025 mencapai 7,46 juta (4,85%) orang penganggur dari total angkatan kerja, yang mencapai 154,00 juta orang. Artinya bahwa terdapat sekitar lima orang penganggur dari 100 orang angkatan kerja dengan rincian TPT laki–laki sebesar 4,85%(7,47 juta orang) dan TPT perempuan sebesar 4,84% (7,45 juta orang), TPT perkotaan sebesar 5,75% (8,86 juta orang) dan TPT pedesaan sebesar 3,47% (5,34 juta orang).
Selain itu, TPT tertinggi untuk kategori kelompok umur adalah penduduk kelompok umur muda (15–24 tahun) yang mencapai sebesar 16,89% (26,01 juta orang) dan TPT terendah yakni penduduk kelompok umur tua (60 tahun ke atas) sebesar 1,71% (2,63 juta orang). Sementara berdasar kategori tingkat pendidikan, TPT tertinggi adalah tamatan SMK sebesar 8,63% (13,29 juta orang) dan TPT terendah yakni tingkat pendidikan SD ke bawah yaitu sebesar 2,30% (3,54 juta orang). TPT merupakan indikator untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja.
Ketimpangan
Ketiga, terkait dengan ketimpangan pengeluaran. Berita Resmi Statistik BPS No. 64/07/Th. XXVIII, 25 Juli 2025 mencatat pada Maret 2025, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan gini ratio adalah sebesar 0,375. Rinciannya adalah gini ratio di daerah perkotaan sebesar 0,395 dan gini ratio di daerah perdesaan sebesar 0,299. Berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, pada Maret 2025, distribusi pengeluaran pada kelompok penduduk 40% terbawah adalah sebesar 18,65%. Jika dirinci berdasarkan daerah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar 17,64% dan untuk daerah perdesaan, angkanya tercatat sebesar 21,75%.
Pada Maret 2025, provinsi dengan gini ratio tertinggi adalah DKI Jakarta, yaitu sebesar 0,441 dan provinsi dengan gini ratio terendah tercatat di Kepulauan Bangka Belitung yaitu sebesar 0,222. Bila gini ratio = 1, maka ketimpangan pendapatan timpang sempurna atau pendapatan itu hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok saja dan yang lainnya tidak sama sekali. Namun jika gini ratio = 0, maka ketimpangan pendapatan merata sempurna, artinya setiap orang atau kelompok menerima pendapatan yang sama dengan yang lainnya. Artinya, jika semakin tinggi atau mendekati 1, maka semakin tinggi ketimpangannya. Secara umum rasio gini di bawah 0,3 dianggap sebagai ketimpangan rendah. 0,3—0,4 sebagai ketimpangan sedang, dan di atas 0,4 sebagai ketimpangan tinggi.
Tim Jurnalisme Data Harian Kompas dalam temuan riset jurnalistiknya menunjukan bahwa sejak 2010 pengeluaran masyarakat Indonesia terus melambat meskipun Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat dari Rp 8.605 triliun pada 2014 menjadi Rp 12.920 triliun pada 2024 dan PDB per kapita Indonesia pada 2014 sebesar Rp 41,9 juta per tahun dan meningkat menjadi Rp 78,6 juta pada 2024. Pada 2010-2014, rata-rata pengeluaran tumbuh 12,6% per tahun, kemudian melambat ke 8,5% pada 2015-2019, lalu turun lagi ke 5,2% pada 2020-2024. Menurunnya pengeluaran masyarakat makin diperparah dengan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan melemahnya kondisi dunia usaha akibat sepi pembeli (Kompas, 10/3/2025).
Keempat, terkait dengan ketimpangan kekayaan. Hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat bahwa 10% kelompok masyarakat terkaya di Indonesia menguasai 60,2% kesejahteraan nasional pada 2025. Sementara itu, kelompok terbawah yang mencakup 50% populasi hanya menikmati sekitar 12% dari total pendapatan nasional. Meski pemerintah mencatat terjadi penurunan rasio gini menjadi 0,375 (lebih baik dari target nasional 0,379–0,382) pada Maret 2025, namun ketimpangan distribusi kekayaan ini dinilai masih tetap tinggi terutama dari distribusi penghasilan dan peluang ekonomi, INDEF juga mencatat sekitar 52,78% penduduk Indonesia masih menerima upah di bawah upah minimum provinsi (UMP). Kondisi ini berarti kesenjangan tidak hanya bersifat vertikal antar individu, tetapi juga horizontal antar sektor.
Harian Kompas pada beritanya, 4 September 2025 menyampaikan laporan dari Majalah Forbes yang mencatat bahwa kekayaan kelompok ultra kaya Indonesia tumbuh pesat dalam satu dekade terakhir. Peningkatan kekayaan miliarder Indonesia jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Selama 10 tahun terakhir, PDB Indonesia meningkat sebesar 57%, sementara PDB per kapita tumbuh 44%. Namun, dalam periode yang sama, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia melonjak hingga 163%. Perbedaan lonjakan tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati secara merata. Pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati secara merata dan lebih terkonsentrasi pada segelintir kelompok dibandingkan mayoritas penduduk.
Ilmuwan politik dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat (AS), Jeffrey Winters, melalui pendekatan ukur Material Power Index (MPI) menyebut dari data MPI sejak 2014 hingga 2024, terlihat tren MPI di Indonesia mengalami peningkatan dengan pola kenaikan yang relatif stabil setiap tahun, bahkan terjadi lonjakan MPI yang tinggi pada 2022 ke 2023. Pada 2014, MPI Indonesia tercatat di angka 691.646. Nilai ini mengindikasikan bahwa tahun 2014 rata-rata kekayaan 40 orang terkaya setara dengan 691.646 kali lipat dari rata-rata kekayaan masyarakat Indonesia dan pada tahun 2024 angka ini melonjak menjadi 1.263.381. Pada 2014, total kekayaan 40 orang terkaya sebesar 10,7% dari PDB nasional dan persentasenya meningkat menjadi 17,9% dari PDB nasional pada 2024 (Kompas, 15/3/2025).
Center of Economic and Law Studies (Celios) (September 2025) juga melaporkan potret ketimpangan terlihat jelas dalam tren kekayaan kelompok ultra-kaya di Indonesia. Total kekayaan 50 triliuner di Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat hanya dalam enam tahun. Sektor ekstraktif menjadi pendorong utama lonjakan kekayaan ini. Pada 2019, kekayaan dari sektor ekstraktif telah mencapai Rp 981 triliun atau sebesar 41% dari total kekayaan. Angka ini melebar secara konsisten hingga pada 2025 menyentuh Rp 2.602 triliun atau setara dengan 61% dari totalnya. Kekayaan pejabat publik mengalami peningkatan secara signifikan. Pada tahun 2023, total kekayaan tercatat sebesar Rp19,57 triliun, dan hanya dalam setahun naik menjadi Rp 21,32 triliun pada 2024. Peningkatan ini berarti ada tambahan sekitar Rp1,75 triliun, atau hampir 9% dalam satu tahun. Jika melihat rerata kekayaan per individu, kenaikannya juga cukup tajam dari Rp 391 miliar pada 2023 menjadi Rp 426 miliar pada 2024. Semua anggota kabinet memiliki tingkat kekayaan yang sangat besar.
Jihad Ekonomi
Sejumlah data di atas menunjukkan bahwa masih cukup banyak persoalan serius terkait dengan kondisi kesejahteraan bangsa Indonesia dan Muhammadiyah memiliki tanggung jawab moral dalam ikut serta mengatasinya. Mewujudkan Indonesia sejahtera adalah sejalan dengan amanat konstitusi, UUD 1945, “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…” serta Pancasila Sila ke-2 yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Pancasila Sila ke-5 yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Menjadikan Indonesia sejahtera adalah seprinsip dengan cita-cita Muhammadiyah yaitu mewujudkan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”, yakni sebuah negara yang indah, bersih suci dan makmur-sejahtera di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Pengampun.
Maka, Muhammadiyah perlu untuk lebih mengoptimalkan apa yang disebut dengan jihad ekonomi yakni berbagai upaya sungguh-sungguh dalam membangun, memperkuat dan memperluas sektor ekonomi berlandaskan nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan. Jihad ekonomi bukan sekadar soal mencari keuntungan materi namun juga lebih sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan umat, bangsa-negara dan kemanusiaan. Terlebih lagi jihad ekonomi merupakan salah satu amanat dari Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar tahun 2015. Jihad ekonomi Muhammadiyah ini dapat dilakukan melalui revitaliasi beragam unit bisnis organisasi yang telah berjalan, mendirikan unit-unit usaha baru organisasi yang marketable dan mengidentifikasi potensi internal organisasi yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Muhammadiyah juga perlu mengoptimalkan peran Majelis Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata serta Lembaga Pengembang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai organ internal organisasi yang mengurusi bidang ekonomi, menggeliatkan bisnis wirausaha Muhammadiyah, Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) dan komunitas kultural Muhammadiyah yang bergerak di sektor ekonomi. Semua potensi ekonomi Muhammadiyah ini diikat melalui jaringan yang sinergis, aktif dan terintegrasi melalui tiga kunci jihad ekonomi Muhammadiyah, meminjam konsep Haedar Nashir (2022), yakni praksis reorientasi teologis (melihat dunia sebagai ladang akherat), reorientasi strategis (pendekatan yang proaktif, konstruktif, dan positif) dan orientasi praksis ekonomi (mengkapitalisasi dan menaikkan kelas bisnis wirausaha dan UMKM).
Muhammadiyah dipandang sangat mampu dalam mengoptimalkan jihad ekonomi ini mengingat Muhammadiyah memiliki sejumlah modal organisasi yang kuat seperti ideologi yang kokoh dan berkemajuan, memori sejarah organisasi yang inspiratif, jaringan struktrural dan kultural yang luas dan masif, sistem manajemen yang rapi dan modern, sumber daya manusia (SDM) yang relatif unggul, infrastruktur kapital yang kompetitif, serta citra kelembagaan yang positif. Selain itu, perlunya Muhammadiyah untuk terus merawat, memperkokoh dan memperluas kemitraan yang sinergis dengan berbagai pihak, baik dalam negeri maupun luar negeri serta baik pihak pemerintah maupun kalangan swasta.
Kolaborasi ini sangat penting guna memperkuat praksis jihad ekonomi Muhammadiyah sekaligus sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan masyarakat serta kesejahteraan bangsa. Dengan kalangan eksternal ini, Muhammadiyah tetap perlu menjaga nalar kritis-konstruktif dalam rangka membela marwah organisasi, kepentingan masyarakat terutama wong cilik (mustadh’afin) serta kedaulatan ekonomi negara. Jihad konstitusi adalah salah satu cara bernas yang bisa terus dilakukan Muhammadiyah guna memperjuangkan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan (amar mar’uf nahi munkar) bangsa. Melalui jihad konstitusi maka berbagai produk hukum negara dapat tetap on the track sesuai amanah konstitusi, UUD 1945, yakni bercorak kerakyatan dan tidak lebih memihak pada kepentingan pihak asing/global. Selamat bermilad.


