Murtad dalam Al-Qur'an: Lebih dari Sekadar Hukuman Mati

Publish

14 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
57
Sumber foto: muhammadiyah.or.id

Sumber foto: muhammadiyah.or.id

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

 

Mari kita telaah lebih dalam firman Tuhan yang terhimpun dalam Al-Qur'an, pedoman hidup bagi umat Muslim. Kita berusaha keras menelusuri maknanya yang luhur dan mengamalkannya dalam setiap aspek kehidupan. Namun, layaknya sebuah samudera ilmu, tak jarang pemahaman kita dangkal, bahkan keliru dalam menafsirkan pesan-pesan suci tersebut.

Kali ini, saya akan menyingkap tabir kesalahpahaman atas beberapa ayat Al-Qur'an. Fokus kita tertuju pada surah Al-Ma'idah (surah ke-5), ayat ke-54. Ayat tersebut berbunyi: "Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka Allah akan menggantinya dengan kaum lain yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya." Ayat yang tampak lugas ini menyimpan kedalaman makna yang seringkali terabaikan. 

Sebenarnya bukan ayat ini yang secara fundamental disalahpahami, melainkan konsekuensi logis dari ayat inilah yang seringkali tidak diikuti. Jika kita menelusuri ayat ini bersamaan dengan ayat-ayat Al-Qur'an sebelumnya yang menyinggung perihal kemurtadan, kita akan mendapati bahwa hukuman yang dijanjikan selalu berdimensi akhirat. Namun ironisnya, dalam yurisprudensi Islam klasik, telah mengakar pemahaman bahwa seorang murtad harus dihukum mati.

Meskipun terdapat beragam tafsir, pemahaman umum yang mengakar kuat dalam fikih Islam klasik adalah bahwa seorang yang murtad dari agamanya layak mendapatkan hukuman mati. Namun, dari manakah pandangan ini bermula? Sungguh menarik, landasannya tidak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur'an itu sendiri, melainkan bersumber dari hadits. Mereka yang berpegang pada pandangan ini cenderung tergesa-gesa mengutip hadits-hadits pendukung tanpa menelisik lebih jauh konteks dan detail di dalamnya.

Penting untuk kita sadari bahwa dalam ayat yang sedang kita bahas ini, juga dalam ayat-ayat sebelumnya yang menyinggung kekafiran dan kemurtadan, tidak ada satu pun indikasi hukuman duniawi yang ditetapkan oleh pengadilan.

Tentu, sebagian mungkin berargumen bahwa banyak hal dalam agama yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an, melainkan diperjelas oleh hadits. Mereka memberikan contoh perintah salat dalam Al-Qur'an yang kemudian tata caranya dirinci dalam hadits. Analogi ini tampak meyakinkan, namun dalam kasus kemurtadan, situasinya terasa berbeda. Al-Qur'an seolah menutup isu ini dengan konsekuensi di akhirat bagi mereka yang ingkar setelah beriman.

Muncul pertanyaan krusial: jika hukuman seberat hukuman mati benar adanya bagi seorang murtad, mengapa tidak ada penyebutannya sama sekali dalam Al-Qur'an, bahkan dalam serangkaian ayat yang membahas topik serupa?

Mari kita kembali pada ayat yang menjadi fokus diskusi kita: يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه  (Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka Allah akan menggantinya dengan kaum lain yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya). Ayat ini seolah menegaskan bahwa ketika seseorang meninggalkan agama, hal itu tidak merugikan Allah. Allah justru akan menggantinya dengan kaum lain yang mencintai-Nya dan dicintai oleh-Nya. Akhir dari proses ini adalah penggantian umat, bukan hukuman duniawi. Jika hukuman mati adalah konsekuensi yang niscaya, tentu akan disebutkan secara eksplisit.

Lantas, bagaimana dengan ayat-ayat sebelumnya? Kita ambil contoh dari surah Al-Baqarah 162, اُولٰٓٮِٕكَ عَلَيۡهِمۡ لَعۡنَةُ اللّٰهِ وَالۡمَلٰٓٮِٕكَةِ وَالنَّاسِ اَجۡمَعِيۡنَۙ‏ (Mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya). Ayat ini memang berbicara tentang orang-orang kafir. Sebagian mungkin berpendapat bahwa ini merujuk pada kekafiran sejak awal. Namun, penggunaan kata kerja aktif "kafaru" (mereka telah kafir) bisa mengimplikasikan bahwa mereka pernah beriman sebelumnya, lalu menjadi kafir. Konsekuensi yang disebutkan di sini adalah laknat, bukan hukuman fisik di dunia.

Penafsiran lain dari ayat tersebut membuka kemungkinan bahwa mereka yang dimaksud adalah individu yang awalnya beriman, namun kemudian memilih jalan kekafiran. Lalu, konsekuensi apakah yang menanti mereka? Al-Qur'an dengan tegas menjawab: اُولٰٓٮِٕكَ عَلَيۡهِمۡ لَعۡنَةُ اللّٰهِ وَالۡمَلٰٓٮِٕكَةِ وَالنَّاسِ اَجۡمَعِيۡنَۙ‏ (Bagi mereka laknat Allah, para malaikat, dan seluruh umat manusia). Ayat ini, yang terdapat dalam surah Al-Baqarah, sekali lagi menekankan hukuman spiritual dan pengucilan, bukan hukuman fisik di dunia.

Lebih jauh lagi, dalam surah Ali Imran 72, kita menjumpai gambaran strategi licik sebagian Ahli Kitab, وَقَالَتۡ طَّآٮِٕفَةٌ مِّنۡ اَهۡلِ الۡكِتٰبِ اٰمِنُوۡا بِالَّذِىۡۤ اُنۡزِلَ عَلَى الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَجۡهَ النَّهَارِ وَاكۡفُرُوۡۤا اٰخِرَهٗ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُوۡنَ​​ۚ​ ۖ (Dan segolongan Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya), "Berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman pada awal siang dan ingkarilah di akhirnya, agar mereka kembali (kepada kekafiran/murtad). Taktik ini bertujuan untuk menggoyahkan keimanan kaum Muslimin dengan berpura-pura masuk Islam di pagi hari, lalu murtad di sore hari, dengan harapan pengikut baru akan terpengaruh dan mengikuti jejak mereka.

Keberadaan rencana seperti ini, yang diungkapkan secara terbuka dalam Al-Qur'an, secara implisit menafikan adanya hukuman mati bagi kemurtadan pada masa itu. Bayangkan jika hukuman mati diterapkan; tentu tak seorang pun akan berani menjalankan siasat demikian. Justru penyebutan rencana ini dengan nada yang relatif biasa mengindikasikan bahwa hukuman mati bukanlah ancaman yang nyata.

Kita beralih ke surah An-Nisa’ 137, اِنَّ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا ثُمَّ كَفَرُوۡا ثُمَّ اٰمَنُوۡا ثُمَّ كَفَرُوۡا ثُمَّ ازۡدَادُوۡا كُفۡرًا (Sesungguhnya orang-orang yang beriman lalu kafir, kemudian beriman (lagi), kemudian kafir lagi, lalu bertambah kekafirannya). Ayat ini menggambarkan siklus keimanan dan kekafiran yang berulang. Fakta bahwa mereka dapat beriman, lalu kafir, kemudian beriman lagi, dan bahkan kembali kafir tanpa dijatuhi hukuman mati, menjadi bukti kuat bahwa hukuman tersebut tidak diberlakukan atas dasar kemurtadan.

Surah An-Nisa’ ini termasuk dalam kelompok surah Madaniyyah, yang diturunkan pada periode akhir kehidupan Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini semakin memperkuat argumen bahwa tidak ada konsep hukuman mati bagi murtad selama masa kenabian. Dengan demikian, tidak mungkin kita merujuk pada konsep nasakh (pembatalan ayat sebelumnya oleh ayat yang datang kemudian) untuk membenarkan hukuman mati, karena tampaknya sejak awal hingga akhir masa kenabian, aturan tersebut tidak pernah ada. Gagasan hukuman mati bagi murtad agaknya muncul belakangan dan kemudian diproyeksikan kembali kepada ajaran Nabi Muhammad ﷺ.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ramadhan: Momentum Melatih Kesabaran dan Menjaga Lisan Oleh: Suko Wahyudi/PRM Timuran Yogyakarta&nb....

Suara Muhammadiyah

21 March 2025

Wawasan

Kemerdekaan dan Kebhinekaan Oleh: Teguh Pamungkas, Pengkaji masalah sosial kultural Upacara HUT ke....

Suara Muhammadiyah

23 August 2024

Wawasan

Kemerdekaan untuk Mempersiapkan Generasi Emas Oleh: Drh H Baskoro Tri Caroko, Anggota LPCRPM PP Muh....

Suara Muhammadiyah

26 August 2024

Wawasan

Mengatasi Bias Sektarian dalam Menafsirkan Al-Qur`an (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu B....

Suara Muhammadiyah

22 May 2024

Wawasan

Ada Apa Dengan Ekonomi Hijau? Oleh: M. Azrul Tanjung Sejatinya ekonomi hijau bertujuan meningkat....

Suara Muhammadiyah

29 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah