Mutiara dari Sipirok, Ketulusan yang Tetap Bersinar di Tengah Bencana
Oleh: Haidir Fitra Siagian, Ketua Pembina Yayasan Muafa-Sipirok / Dosen UIN Alauddin Makassar
Banjir bandang di Sipirok, Tapanuli Selatan, telah membawa kabar duka yang mendalam bagi banyak keluarga. Ada yang kehilangan rumah, ada yang kehilangan lahan pertanian, dan ada pula yang harus merelakan saudara, orang tua, atau saudara mereka meninggal dunia. Lahan yang hanya tinggal menunggu satu bulan lagi untuk panen kini tertutup lumpur dan tidak dapat diselamatkan. Semua kehilangan ini membuat banyak warga benar-benar terpukul dan tidak tahu harus memulai dari mana.
Dalam catatan saya, ini adalah banjir pertama yang sangat besar di Sipirok dalam lima puluh tahun terakhir. Warga Sipirok di perantauan pun langsung tergerak hatinya. Mereka mengumpulkan dana secepat mungkin sesuai kemampuan masing-masing. Kepedulian itu menjadi penguat bagi keluarga di kampung halaman yang sedang mengalami musiabah.
Kami dari Yayasan Muhibah Annie Faridah (Muafa) juga menghimpun dana dari keluarga besar yang tinggal di Singapura, Malaysia, dan berbagai wilayah di Indonesia. Bantuan tersebut kami salurkan secara bertahap kepada warga yang terdampak agar bisa meringankan kesedihan mereka. Tim kemudian mendata sekitar 40 kepala keluarga yang berhak menerima santunan berdasarkan tingkat kerusakan yang dialami. Mereka berada di sekitar Masjid Taqwa Muhammadiyah, Jalan Merdeka Sipirok, dan beberapa daerah lain yang terdampak akibat banjir ini.
Namun di tengah kegiatan pembagian santunan ini, kami menemukan mutiara yang nilainya jauh lebih berharga daripada apa pun yang kami bagikan. Mutiara itu bukan berupa uang, bukan pula berupa barang, melainkan berupa ketulusan dan keikhlasan yang sangat dalam. Sikap ini muncul dari seseorang yang sebenarnya juga menjadi korban banjir dan telah berhak menerima bantuan. Hati kami tersentuh ketika menyaksikan bagaimana ia menjalankan nilai moral tanpa diminta.
Rumahnya kemasukan air cukup banyak sehingga sudah masuk daftar penerima santunan. Ia adalah bagian dari keluarga besar kami sehingga namanya langsung terdaftar tanpa ragu. Namun ketika santunan hendak diberikan, ia menolak dengan lembut dan bersikeras agar santunannya dialihkan kepada orang lain. Dengan suara tenang, ia mengatakan bahwa ada empat kepala keluarga di dekat rumahnya yang lebih membutuhkan.
Ia lalu menunjukkan empat rumah yang kerusakannya memang cukup parah menurut ceritanya. Menariknya, keluarga tersebut sebenarnya sudah kami data dan sebagian termasuk penerima santunan. Tetapi karena sikap tulusnya, jatah yang semestinya ia terima dialihkan kepada warga lain yang belum kebagian sama sekali. Ia sama sekali tidak keberatan, bahkan merasa lebih tenang jika bagiannya diberikan kepada yang menurutnya lebih membutuhkan.
Sikap ini mengingatkan kita pada nilai-nilai Islam yang mengajarkan keutamaan mendahulukan saudara dalam kesusahan. Rasulullah mencontohkan bahwa bentuk terbaik dari kebaikan adalah ketika seseorang memberi tanpa pamrih dan tanpa berharap balasan. Nilai ihsan seperti itulah yang ditunjukkan oleh warga ini di tengah bencana yang sedang melanda. Kebaikan seperti ini adalah bukti bahwa iman dan adab dapat hidup berdampingan dengan sangat indah.
Dalam adat budaya Sipirok yang berpegang pada prinsip Dalihan Na Tolu, tindakan mulia seperti ini sangat dijunjung tinggi. Kita diajarkan untuk saling menghormati, saling membantu, dan saling menjaga dalam suka maupun duka. Etika sosial dan hukum nasional juga mengakui pentingnya keadilan sosial serta kepedulian terhadap sesama warga negara, terutama saat terjadi bencana. Sikap mengutamakan kepentingan orang lain adalah salah bentuk kearifan lokal masyarakat Sipirok yang sudah turun temuruan.
Mutiara kedua datang dari seorang nenek berusia hampir delapan puluh tahun. Ketika mendengar bahwa banyak warga mengungsi di sebuah madrasah, sekitar 4 km dari rumahnya, membuat hatinya menjadi gelisah, merasa tidak tenang dan tidak sanggup berdiam diri. Ia ingin merasakan secara langsung apa yang dirasakan para pengungsi itu untuk memahami penderitaan mereka. Meskipun usianya sudah sangat lanjut, semangatnya untuk berbuat baik tetap menyala.
Ia kemudian menghubungi anak-anaknya yang ada di perantauan untuk meminta agar mereka mengumpulkan sedikit dana. Setelah dana terkumpul, ia membeli bahan makanan untuk dibagikan kepada para pengungsi yang sedang bertahan dalam kondisi serba terbatas. Bersama menantu dan cucunya, mereka membawa bantuan yang tidak seberapa itu ke lokasi pengungsian. Baginya, langkah kecil itu jauh lebih berarti karena dilakukan dengan hati yang tulus.
Setelah pulang, ia mengaku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia memikirkan saudara-saudaranya yang tidur beralaskan tikar di ruangan madrasah yang sederhana sambil menunggu kondisi membaik. Ia merasa tidak pantas tidur nyaman di kamarnya sementara mereka harus menahan dingin dan ketakutan malam hari. Dari kegelisahan itu, tampak betapa besar kepedulian yang ia miliki terhadap orang lain.
Sikap nenek ini adalah teladan yang sangat berharga bagi seluruh generasi. Dalam adat, orang tua adalah penjaga nilai moral dan sumber kebijaksanaan bagi keluarga dan masyarakat. Ia menunjukkan bahwa usia bukannya halangan untuk menolong sesama, dan bahwa hati yang baik tidak pernah melemah sedikitpun meski sudah bertongkat dan badan sudah renta. Ketulusan seperti inilah yang membuat masyarakat tetap kuat menghadapi musibah.
Dua kisah ini membuktikan bahwa di balik bencana besar, selalu ada cahaya kebaikan yang muncul. Air bah mungkin merusak rumah, kebun, dan sawah, tetapi tidak dapat merusak hati-hati yang penuh kasih. Mutiara-mutiara ini muncul justru ketika keadaan sedang paling sulit dan paling menyakitkan. Mereka menjadi bukti bahwa kebaikan masih hidup kuat di Sipirok.
Semoga kisah mereka menjadi penguat bagi kita semua untuk terus saling membantu. Nilai-nilai agama, adat, dan kemanusiaan yang mereka tunjukkan adalah pelajaran berharga. Dalam setiap musibah, selalu ada harapan yang tumbuh dari ketulusan hati manusia, dan dari sanalah cahaya kehidupan kembali menyala. Itulah mutiara dalam ari yang sesungguhnya.*


