Naik Kelas dalam Bicara: Belajar Berbicara dari Socrates dan Nilai Islam

Publish

6 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
179
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Naik Kelas dalam Bicara: Belajar Berbicara dari Socrates dan Nilai Islam

Oleh: Furqan Mawardi, Penulis Akar Rumput

Ada satu hal yang sering luput dari perhatian kita, yaitu cara kita berbicara menentukan derajat kita sebagai manusia. Dari lisan yang bergerak, terlukis isi hati, luasnya wawasan, dan kedalaman jiwa seseorang. Socrates, sang filsuf besar Yunani kuno, pernah membagi manusia ke dalam tiga kelas berdasarkan isi bicaranya. Pembagian ini bukan sekadar klasifikasi intelektual, tetapi juga cermin batin yang menyingkap sejauh mana seseorang telah matang dalam berpikir dan berjiwa.

Menurut Socrates, kelas pertama adalah mereka yang berbicara tentang gagasan besar dan masa depan. Mereka ketika berkumpul, materi yang mereka bahas dan dibicarakan adalah rencana, solusi, gagasan, visi kemajuan, dan kontribusi bagi kemanusiaan hingga alam semesta. Mereka tidak terjebak pada hal-hal remeh, karena pikirannya melampaui dirinya sendiri. Golongan ini adalah para pembangun peradaban, mereka yang dengan pikiran dan ucapannya menyalakan obor harapan bagi dunia.

Kelas kedua, kata Socrates, adalah orang-orang yang sibuk membicarakan masa lalu. Mereka lebih banyak menoleh ke belakang, pada kenangan, kisah, dan sejarah. Tidak salah memang—sejarah adalah guru kehidupan—namun bila seseorang hanya terhanyut di dalamnya tanpa menjadikannya bahan pelajaran untuk melangkah ke depan, maka ia akan berhenti di tempat yang sama, sementara dunia terus berjalan meninggalkannya.

Adapun kelas ketiga, dan ini yang paling rendah, adalah mereka yang ketika berbicara hanya membahas keburukan orang lain. Hidupnya dihabiskan dalam ruang gosip dan prasangka. Mereka menggunjing, menambah-nambahi cerita, dan menebar keburukan yang bahkan bukan urusan mereka. Socrates menyebut mereka sebagai golongan yang kehilangan martabat akal dan moral.

Menariknya, Islam jauh sebelum Socrates dikenal di dunia Barat, sudah menegaskan prinsip yang sama. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

 “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini seolah menjadi kaidah emas dalam etika berbicara. Dalam pandangan Islam, kualitas iman seseorang tercermin dari kualitas lisannya. Lisan merupakan cerminan hati. Bila hati bersih, maka kata-kata yang keluar pun akan jernih. Bila hati keruh, maka ucapannya pun menjadi racun yang menyesakkan orang lain.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis, “Lisan adalah pena hati. Bila pena itu menulis kebaikan, maka hati sedang hidup. Tapi bila ia menulis keburukan, maka hati sedang sakit.” Betapa dalam maknanya. Al-Ghazali ingin mengingatkan bahwa cara kita berbicara bukan sekadar kebiasaan sosial, melainkan barometer spiritual.

Dalam konteks kehidupan modern, terutama di era digital, tiga level manusia dalam bicara ini bisa kita lihat nyata setiap hari. Media sosial kita menjadi laboratorium terbuka, ada yang menggunakan lisannya (atau jarinya) untuk menyebar ide, ilmu, dan inspirasi. Mereka inilah kelas pertama. Adapula yang sibuk mengenang masa lalu, dan ada pula yang menjadikan platformnya sebagai tempat menggunjing, mencaci, atau menyebar kebencian, golongan mereka inilah yang masuk ketegori kelas ketiga.

Padahal, sebagaimana diingatkan Buya Hamka, “Ketinggian budi seseorang dapat diukur dari apa yang ia bicarakan.” Orang besar membicarakan ide, orang biasa membicarakan peristiwa, dan orang kecil membicarakan orang lain. Maka, jika kita ingin naik derajat dalam pandangan Allah dan manusia, naiklah kelas dalam berbicara—dari sekadar pembicara menjadi pembangun makna.

Nilai Islam juga menegaskan pentingnya tathhīr al-lisān (penyucian lisan). Al-Qur’an memberi pesan tegas dalam Surah Qaf ayat 18:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

 “Tiada satu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada malaikat pengawas yang selalu hadir.”

Ayat ini membuat setiap Muslim sadar bahwa setiap kata bukanlah sekadar getaran suara, tetapi catatan amal. Karena itu, dalam Islam, menjaga lisan adalah bagian dari menjaga kehormatan diri. Bahkan Ibn Qayyim al-Jauziyyah menulis, “Kebanyakan manusia masuk neraka bukan karena perut atau syahwatnya, tapi karena lisannya.”

Socrates pernah berkata, “Kata-kata adalah cermin pikiran.” Tapi Islam menambahkan lapisan makna yang lebih dalam yaitu kata-kata bukan hanya mencerminkan pikiran, tetapi juga menentukan nasib akhirat. Dari lisanlah seseorang bisa mulia, dan dari lisan pula seseorang bisa binasa.

Kini, saat dunia kita semakin bising dengan berita palsu, ujaran kebencian, dan obrolan tak bermakna, mungkin sudah saatnya kita mengambil waktu untuk diam dan merenung. Mungkin sudah saatnya kita bertanya, “Saya berada di kelas yang mana dalam bicara?”

Apakah saya bagian dari mereka yang membangun masa depan, yang mengenang masa lalu, atau yang merusak martabat dengan gosip dan prasangka?

Mari kita naik kelas dalam berbicara. Jadikan lisan sebagai alat membangun, bukan menghancurkan. Jadikan kata-kata kita sebagai cahaya, bukan bara. Karena pada akhirnya, nilai kita tidak diukur dari seberapa banyak kita bicara, tapi seberapa bermakna kata yang kita ucapkan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh : Drh H Baskoro Tri Caroko National Poultry Technical Consultant, LPCRPM PP Muhammadiyah Bidan....

Suara Muhammadiyah

26 March 2024

Wawasan

Refleksi Filosofis Candu Judi Online: Kenikmatan Perbuatan Maksiat Oleh: Muzdakir Muhlisin, M.Phil.....

Suara Muhammadiyah

29 July 2024

Wawasan

Oleh: Drh H Baskoro Tri Caroko. PP Muhammadiyah, LPCRPM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Seni Dan Budaya.....

Suara Muhammadiyah

6 November 2024

Wawasan

Peran Strategis Dakwah Digital Oleh: Agusliadi Massere Ada banyak fungsi, tujuan, dan manfaat dakw....

Suara Muhammadiyah

18 November 2023

Wawasan

Anak Saleh (13) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

17 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah