Ungkap Fenomena Klientelisme di Pileg 2019
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Politik uang masih menjadi bayangan abadi dalam setiap pemilu di Indonesia. Salah satu bentuknya adalah praktik klientelisme, yaitu hubungan timbal balik antara pemilih dengan kandidat atau partai politik yang berbasis pada imbalan jasa. Di Kabupaten Kudus, fenomena ini menemukan ruang subur di kalangan buruh pabrik rokok yang jumlahnya mencapai hampir 80 ribu orang.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum PP KBPII (Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia), Nasrullah Larada, dalam disertasinya berjudul “Perilaku Memilih dan Klientelisme Buruh Muslim Pabrik Rokok di Kabupaten Kudus dalam Pemilu Legislatif 2019”. Penelitian ini ia paparkan saat Sidang Terbuka Promosi Doktor Program Studi Politik Islam–Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (22/8), di Ruang Sidang Utama Gedung AR Fachruddin A Lantai 5 Kampus Terpadu UMY.
“Praktik politik uang tidak hanya dilakukan secara langsung, tetapi juga melalui perantara. Di lingkungan pabrik, posisi mandor kerap menjadi jembatan antara kandidat dengan para buruh. Dengan basis massa yang besar, suara buruh rokok sangat menentukan hasil pemilihan,” ungkap Nasrullah.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa mayoritas buruh rokok tidak memiliki kedekatan dengan partai politik. Sebanyak 97 persen pemilih tidak merasa dekat dengan partai, melainkan memilih karena faktor figur serta politik transaksional.
“Bagi sebagian buruh, politik uang justru dipandang sebagai politik sedekah. Mereka menafsirkan uang yang diterima bukan sebagai pelanggaran agama, melainkan sedekah yang boleh diterima,” jelas Nasrullah, yang juga pernah menjabat Wakil Ketua Umum DPP PAN periode 2020–2024.
Dari hasil surveinya, sekitar 33,5 persen buruh mengaku pernah menerima uang dari caleg atau tim sukses. Jalur distribusinya bervariasi, mulai dari pengurus partai lokal (53,3%), tokoh masyarakat/RT-RW (26,7%), atasan di tempat kerja (4,1%), hingga kerabat dan caleg langsung (masing-masing 3,1%).
Ia juga menemukan faktor gender dalam praktik politik uang: Buruh laki-laki lebih banyak menerima dibanding perempuan. Menariknya, baik buruh religius maupun yang kurang religius sama-sama rentan terhadap praktik ini.
Meski menemukan fakta tersebut, Nasrullah menegaskan bahwa segala bentuk politik uang tetap tidak bisa dibenarkan. “Politik uang merusak demokrasi. Ini harus menjadi perhatian serius semua pihak,” tegasnya.
Sidang promosi doktor ini dipimpin oleh Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc. (Ketua Sidang) dengan tim promotor yang terdiri dari Dr. Haedar Nashir, M.Si. (Promotor), Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag. (Ko-promotor), dan Prof. Dr. Ulung Pribadi, M.Si. (Ko-promotor). Hadir pula penguji eksternal, yakni Prof. Dr. Suharko, M.Si. (UGM) dan Dr. Mochamad Sodik, M.Si. (UIN), serta Dr. Hasse Jubba, M.A. (UMY). Acara ini turut dihadiri tokoh nasional, antara lain Ahmad Muzani (Ketua MPR RI), Muhadjir Effendy (Menko PMK), serta Harda Kiswaya (Bupati Sleman).
Dalam sidang terbuka tersebut, Nasrullah dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Ia menjadi doktor ke-65 yang dilahirkan Program Doktor Politik Islam UMY sekaligus doktor ke-233 lulusan UMY. (NF)