Nyadran, Sadranan dan Ziarah

Publish

14 February 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
756
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Nyadran, Sadranan dan Ziarah

Oleh: Khafid Sirotudin, LP UMKM PWM Jawa Tengah

Selasa pagi, 11 Februari 2025, istri saya meminta ijin dua hari melawat ke Yogyakarta untuk dua keperluan. Pertama nyadran dan kedua tilik putri kami yang sedang menyelesaikan studi profesi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Istri pergi ditemani putra mbarep (sulung) dan Caca, cucu pertama kami. Saya pribadi tidak bisa menemani karena ada kegiatan persyarikatan dan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.

Nyadran merupakan salah satu tradisi atau budaya keagamaan yang masih banyak dilakukan masyarakat Jawa. Sebuah akulturasi budaya Jawa dan Islam. Khususnya warga Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. Istilah yang dipakai setiap wilayah pun beragam : sadran, nyadran, manganan dan sedekah bumi.

Pada umumnya nyadran dilaksanakan wulan Ruwah, bulan ke Delapan penanggalan Jawa. Ruwah berasal dari kata Arwah (ruh). Sehingga salah satu rangkaian tradisi Nyadran adalah ziarah kubur. Sebuah ritual keagamaan untuk mengenang berbagai kebaikan (amal shalih) serta mendoakan ruh para leluhur, orang tua dan anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Menurut kalender Hijriyah, bulan Ruwah bertepatan dengan bulan Sya’ban. Sebagian kecil masyarakat Jawa di beberapa daerah, ada yang melaksanakan sadranan pada bulan Rajab (Jawa, Rejeb), sesuai kearifan lokal wilayah setempat.

Ziarah kubur dianjurkan dalam ajaran agama Islam. Status hukumnya sunah bilamana dilakukan sesuai maqashid syariah dan tidak bertentangan dengan kaidah fiqhiyah. Dimana penetapan norma atau hukum agama (fiqih) tentang ziarah kubur tergantung pada niat, cara dan tujuan dari suatu perkara (sikap, tindakan, laku sosial) ketika dilaksanakan. Maknanya, status hukum ziarah kubur bisa sunah, mubah bahkan haram (syirik) tergantung pada ‘illat-nya.

Salah satu dalil yang biasa dipakai yaitu hadits “kafa bil mauti wa idza (cukuplah satu kematian sebagai pengingat)”. Sebagaimana disampaikan UJANG (Ustadz Jumari Al-Ngluwari) pada satu konten pengajian virtual Unimma channel (Universitas Muhammadiyah Magelang). Sejalan dengan apa yang diterangkan kyai Abidin, imam mushola Nurul Jadid di sebelah barat rumah kami, saat takliman Nisfu Sya’ban atau Laylatul Bara’ah malam ini.

Tujuan nyadran diantaranya membina silaturahmi, merekatkan persaudaraan dan saling gotong royong; wujud ungkapan berbakti kepada orang tua; mendoakan para leluhur dan pepunden; mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa kematian merupakan sebuah kepastian yang bakal terjadi. Tradisi nyadran juga sebagai wujud rasa syukur dan memohon ampunan kepada Allah Swt; “pasrah keluputan” (saling memberi dan meminta maaf); berbagi rejeki, informasi, peluang pekerjaan dan memberikan infaq sedekah kepada sanak keluarga, fakir miskin, anak yatim yang membutuhkan; serta menyiapkan mental spiritual untuk menjalankan ibadah selama ramadhan.

Keluarga besar dari trah Bapak di Semarang biasanya nyadran pada pekan ketiga Sya’ban, sedangkan keluarga besar dari jalur Ibu di Klaten nyadran di pekan terakhir wulan Ruwah. Setiap trah (bani, dzuriyah) memiliki kesepakatan waktu nyadran yang berbeda. Biasanya jauh hari sebelumnya telah dipersiapkan. Khususnya bagi anggota keluarga yang berprofesi sebagai PNS/ASN, aparat keamanan dan karyawan swasta yang membutuhkan ijin cuti dari atasan.

Meski terdapat cuti bersama Idul Fitri dan Halal bi Halal atau Syawalan, sejak berkeluarga tahun 1991 kami lebih memilih bergantian waktunya. Tahun genap lebaran di Yogyakarta, tahun ganjil berlebaran di Weleri atau Semarang. Setelah Bapak saya wafat serta dimakamkan di Weleri tahun 1999, setiap lebaran kami lebih banyak mendampingi Ibu (86 tahun) untuk disowani anak, cucu, cicit, keponakan dan sedulur dari berbagai daerah. Baik saudara yang berasal dari bani Suwargi (almarhum, Allahuyarham) Bapak maupun trah Ibu kami yang usianya paling tua dan masih sugeng (hidup).

Kepaten Obor

Pada saat nyadran, sanak saudara dari berbagai daerah berkumpul di “omah tabon” (rumah induk) peninggalan simbah atau orang tua yang paling luas. Nyadran juga menjadi wahana silaturahmi keluarga besar agar tidak “kepaten obor” (obornya padam, obornya termatikan). Yaitu terputusnya sanad nasab atau garis keturunan (silsilah) akibat terputusnya komunikasi antar anggota keluarga besar. Anggota keluarga yang kehilangan jejak atau relasi keturunan.

Kepaten obor bisa saja terjadi disebabkan adanya keluarga inti yang semakin berkembang dan bercabang; merantau tersebar ke luar pulau atau luar negeri; jarang sekali bertatap muka atau abstain menghadiri pertemuan keluarga yang melibatkan anak, cucu, menantu dikala punya hajatan (khitanan, pernikahan); maupun masyarakat yang tidak mempunyai marga (trah, bani, dzuriyah). Sekarang ini kita patut bersyukur dengan hadirnya teknologi digital, sehingga segala informasi dan komunikasi anggota keluarga besar menjadi lebih cepat, mudah dan murah.

Saya pernah menjumpai seorang kawan yang berkenalan dan menjalin hubungan baik via satu platform media sosial. Cukup intensif dan relatif lama (2 tahun) dia menjalin komunikasi melalui dunia maya. Dia tinggal dan bekerja di Indonesia, sementara teman wanita kenalannya bekerja dan tinggal di luar negeri. Singkat cerita, teman diaspora wanita PMI (Pekerja Migran Indonesia) berencana pulang ke Jawa. Mereka pun janjian untuk bertemu di dunia nyata dan berkunjung ke rumah orang tuanya.

Hari yang telah ditentukan pun terlewati dengan penuh suka cita. Tetapi kawan saya itu tidak membayangkan sebelumnya, bahwa wanita yang dikunjunginya itu masih ada hubungan famili. Masih satu kerabat, satu trah serta memiliki silsilah hubungan DNA dengan simbah buyutnya. Informasi sahih baru dia peroleh setelah ngobrol “ngalor ngidul” (panjang lebar, utara sampai selatan) dengan orang tuanya.

Menurut silsilah yang dituturkan orang tua dari teman yang dikenalnya melalui facebook itu, status dia adalah putu (cucu) dari ibunya. Sedangkan status teman wanita itu adalah bulik (tante)-nya.

“Horotoyoh….kapokmu kapan”, komentar saya sambil tertawa saat ngopi berdua.

“Coba kamu bayangkan, jika menikah dengannya, aku pantasnya memanggil mertua dengan Bapak/Ibu atau Mbah Kakung/Putri”, ungkapnya sambil tersenyum.

”Tetapi kan tidak masalah jika kamu sudah terlanjur cinta”, kata saya.

“Terus kupanggil istriku dengan sebutan Bulik/Tante. Piye jal..”, katanya sambil tertawa.

Akhirnya kawan saya lebih memilih tetap menjalin hubungan baik sebagai keluarga besar dan masing-masing menikah dengan orang lain yang tidak memiliki hubungan trah. Ada falsafah Jawa yang menyatakan : “Jika menikahi wanita yang masih satu keluarga, maka kita telah kehilangan satu saudara. Dan jika menikahi wanita lain, kita akan mendapat satu saudara baru”.

Pesan moralnya, bahwa nyadran atau sadranan setahun sekali menjelang bulan ramadhan itu baik dan perlu dilakukan sebagai wahana “silaturahmi dunia nyata” (bukan dunia maya) agar tidak kepaten obor. Agar supaya sanad nasab kita terjaga dan “jelas arane” (jelas nama-nya).


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Salah satu aspek ibadah haji ad....

Suara Muhammadiyah

31 January 2024

Wawasan

Oleh: Ahmad Azharuddin  Dalam kehidupan, setiap individu pasti pernah menghadapi momen-momen k....

Suara Muhammadiyah

8 July 2024

Wawasan

Ibrah dari Perang Badar (1) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Sa....

Suara Muhammadiyah

2 September 2024

Wawasan

Membangun Badan Usaha Koperasi  Oleh Dr.Ir. Armen Mara, M.Si, Ketua Majlis Ekonomi dan Bisnis ....

Suara Muhammadiyah

9 July 2024

Wawasan

Muhammadiyah Aset Bangsa Oleh: Saidun Derani Dalam perjalanan pulang dari Kota Serang menuju Ciput....

Suara Muhammadiyah

20 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah