Pemerintahan Bukan Tempat untuk Memamerkan Kekuasaan
Oleh: Immawan Wahyudi, Dosen FH UAD
Salah satu pemimpin Turki Ottoman (Turki Usmani) yang termasyhur adalah Sultan Muhammad Al Fatih atau Mehmed II. Al Fatih merupakan pemimpin Turki yang berkuasa dalam 2 periode memerintah. Periode pemerintahan pertama Agustus 1444 - September 1446. Periode pemerintahan kedua, Februari 1451-Mei 1481. Membicarakan kehebatan al-Fatih orang lebih sering mengaitkannya dengan kesuksesannya menaklukkan Konstantinopel, penaklukan ini memang sangat menyejarah yakni menjadi penanda berakhirnya Kekaisaran Romawi Timur.
Tulisan sederhana ini lebih menekankan pada pemikiran, keberanian dan kecerdasan seorang pemimpin sehingga sukses sebagaimana telah dicontohkan Sultan al-Fatih. Selebihnya adalah renungan-renungan filosofis dari para pemikir teori kenegaraan yang bermartabat karena seorang pemimpin negara yang tidak memiliki bekal filosofis –bahasa spiritualnya: hikmah-- akan cenderung menjadi seorang despot atau tiran karena akan gagal memahami apa hakikat memimpin itu. Kemudian, fokusnya bergeser dan terjerumus dalam kekuasan dan keuntungan, serta lawan politik yang harus ditiadakan.
Judul tulisan ini berkaitan dengan pernyataan Sultan al Fatih yang sangat patut untuk diperhatikan. Peristiwa itu terjadi ketika Al Fatih membuat kejutan terhadap para perwiranya. Dalam pertemuan para petinggi negara al-Fatih mengangkat Halil Pasha sebagai Perdana Menteri. Padahal Halil Pasha adalah orang yang pernah menggulingkan al Fatih pada masa kepemimpinan pertamanya. Ada dua orang perwiranya (Zaganos dan Dahabetin) memprotes keputusan besar ini. Alasannya adalah pengangkatan ini akan menjadikan al-Fatih dianggap sebagai pemimpin yang lemah oleh musuh bahkan oleh pendukungnya.
Al-Fatih pun menjawab kekhawatiran dan protes itu, dan dengan tegas ia mengatakan: “Pemerintahan bukanlah tempat untuk memamerkan kekuasaan, tetapi untuk menyejahterakan mereka (masyarakat) dan membangun masa depan untuk mereka.” Jika kita menonton video tentang penaklukan Konstantinopel, kita baru memahami bahwa etika politik Al-Fatih membawa sukses besar dengan memerintahkan Halil Pasha --yang agak miring alias pro Konstantinopel-- akhirnya harus menuruti perintah pemimpinnya yakni Sultan Muhammad al-Fatih. Pada sisi lain Halil Pasha tidak lagi jadi duri dalam daging.
Pemimpin yang hormat dan mempunyai nurani yang bersih akan dapat menghargai harkat martabat pemimpin lain. Al-Fatih misalnya oleh para perwira kekaisaran Romawi dipandang lemah. Namun tidak demikian dengan pemimpin Roma sendiri ia berpandangan bahwa al Fatih jauh lebih berani dan lebih pintar dari pada ayahnya. Nyatanya memang demikian. Disamping memiliki pemikiran yang bijak al-Fatih juga pemimpin yang jenius, juga belajar dan menguasai ilmu mesin, bahkan belajar bahasa Roma. Namun perwira tinggi Roma cenderung membuka front dengan Turki.
Lahirnya Kekuasaan Despotik
Imam al-Ghazali, yang hidup tiga abad sebelum Niccolo Machiavelli (1469 – 1527 M), mengemukakan pemikiran sebagai nasihat bagi para penguasa sebagaimana ditulis oleh Nadirsyah Hosen (https://nu.or.id/syariah/nasihat-imam-al-ghazali-untuk-penguasa). Pertama, dikutip dari Ihya’ Juz 2 halaman 238 al-Ghazali mengatakan yang artinya: "Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama."
Kedua, Ihya’ Juz 2 halaman 357 yang artinya: "Maka kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Dan rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Sesiapa yang terpedaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar? Semoga Allah menolong kita dalam semua hal."
Ketiga, Imam al-Ghazali juga melakukan introspeksi diri dan para sejawatnya: Dalam kitab al-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk, terhadap penguasa Imam Ghazali menasihati dengan mengutip sejumlah hadits Nabi Saw Imam al-Ghazali mengatakan: "Keadilan penguasa meski hanya satu hari lebih aku senangi ketimbang beribadah selama 70 tahun". Imam al-Ghazali mengutip sejumlah hadits Nabi soal keadilan penguasa hingga tibalah beliau menulis sesuatu yang sangat mengejutkan (hal.44). https://nu.or.id/syariah/nasihat-imam-al-ghazali-untuk-penguasa-
Negara Bermoral Konteks Dewasa ini
KH Zainal Abidin Ahmad adalah seorang ‘Ulama yang produktif menerbitkan buku-buku ilmiah terutama politik Islam. Satu diantara adalah buku orisinalnya berjudul Negara Bermoral Menurut Imam al-Ghazali (Bulan Bintang, 1975).
Buku ini sarat dengan teori-teori yang pada satu sisi lurus pada sisi lain melahirkan berbagai teori yang laku di abad-abad kemudian. Buku ini bahkan layak untuk berdampingan dengan teori-teori modern tentang kenegaraan. Ambillah contoh teori saling bergantung, ilmu pengetahuan - agama - akhlak, moral politik, kepala negara yang berakhlak dan akhlaq dalam hubungannya dengan kehidupan internasional. Adalah wajar jika ada sementara ilmuwan yang beranggapan buku-buku semacam ini kurang mewakili kecenderungan teori politik kenegaraan modern. Ini semestinya tidak perlu terjadi.
Karena modern tidaklah dikaitkan dengan suatu masa atau zaman saja, tetapi terkait dengan substansi yang kuat dan lestari. Misalnya Piagam Madinah yang menjadi kajian ilmuwan dari berbagai negara yang pada intinya berpandangan bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi pertama karena pada masa Nabi Saw Bersama warga Yahudi dan warga masyarakat yang menganut paganisme bersepakat membentuk piagam itu, belum ada teori tentang konstitusi secara komprehensif.
Adapun moralitas politik dalam konteks saat ini dan dalam konteks jejak moralitas politik Muhammadiyah adalah apa yang telah dirumuskan sebagai penegasan kehidupan beradab dalam negara Pancasila. Rizal Fadilah mengatakan; “Darul Ahdi atau negara kesepakatan tidak cukup bila tidak dibarengi dengan al-Syahadah atau persaksian. Al-Syahadah merupakan keterlibatan langsung dalam mengatasi berbagai masalah, bekerja keras dalam mewujudkan kemaslahatan, dan aksi partisipatoris dari kaum muslim dalam proses pembangunan sumber daya manusia.
“Beberapa aktualisasi yang bisa dilakukan ialah Pancasila sebagai alat pemersatu, menjadi negara bermoral dan religius yang sarat nilai ketuhanan dan kemanusiaan, nilai kebersamaan sebagai warga negara, nilai kerakyatan seperti demokrasi, hikmah, dan nilai keadilan dalam hukum maupun ekonomi,” ujarRizal.https://muhammadiyah.or.id/2022/03/darul-ahdi-wa-syahadah-tema-muhammadiyah-mengenai-indonesia/
Dengan tidak bermaksud meninggalkan khazanah pemikiran lama yang bagus (shalih) kita seharusnya beranjak ke pemikiran baru yang lebih bagus (aslah). Jangan sampai terbalik, saking sulitnya menemukan praktik kehidupan politik kenegaraan yang bagus, lalu terpaksa kita menengok hazanah lama yang jauh lebih bagus.*