YOGYAKARTA, Suara Muhamamdiyah – Persoalan hal ihwal radikalisme menjadi salah satu kompleksitas yang menantang saat ini. Persoalan tersebut merasuk ke jantung kehidupan bangsa, khususnya di lembaga pendidikan yang sangat rentan terpapar. Hal itu tidak dapat dinafikan karena terdapat berbagai paradigma radikalisme yang menggelayut dalam lembaga pendidikan.
Di antara paradigma radikalisme tersebut meliputi radikalisme beragama, radikalisme pendidikan liberal, dan radikalisme pendidikan ultranasionalis. Paradigma radikalisme di atas tidak berjalin berkelindan dengan dasar pendidikan Indonesia. Di mana dasar pendidikan itu sesuai dengan tarikan napas pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu, dalam Seminar Kebangsaan dan Bedah Buku yang digelar Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Djazman Al Kindi Kota Yogyakarta, Selasa (5/12) di Aula Kantor DPD RI DIY, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Irwan Akib, MPd menawarkan sebuah paradigma pendidikan holistik-transformatif. Tawaran ini sebagai upaya mengurai sekaligus menyelesaikan persoalan radikalisme di lembaga pendidikan.
Menurut Irwan, Pendidikan holistik memandang peserta didik tidak sebagai objek, tetapi sebagai subjek. Di mana memandangnya secara utuh yang meliputi jiwa, fisik, rohani, dan jasmani. “Kalau ini dikelola dengan baik, maka menurut saya tidak akan muncul perundungan (bullying). Perundungan itu sebagai cikal bakal melahirkan kekerasan-kekerasan yang kemudian bisa menimbulkan ekstrimisme dan sebagainya,” ujarnya.
Pendidikan holistik meniscayakan peserta didik jauh dari pengaruh buruk yang berpotensi meremukkan masa depannya. Di mana model pendidikan ini melihat secara utuh peserta didik dengan mendidik dengan percikan nilai-nilai pendidikan progresif. Sehingga, jika model tersebut diejawantahkan secara serius, Irwan menyebut kasus perundungan yang beberapa belakangan meledak di ruang pendidikan tidak sampai terjadi.
“Kalau kita melihat anak secara utuh dengan mendidik mereka dengan pendekatan-pendekatan yang utuh juga, melihatnya dari sisi jasmani, rohani, kognitif, kita olah sedemikian rupa, maka perundungan yang menimbulkan kekerasan tidak sampai terjadi di dunia pendidikan,” jelasnya.
Kemudian, pendidikan transformatif. Guru Besar Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan ini menjelaskan pendidikan transformatif bukan saja menekankan peserta didik menguasai pengetahuan untuk dirinya sendiri, akan tetapi pada saat bersamaan pengetahuan itu harus dapat terimplementasi secara nyata di dalam lapangan kehidupan sosial-kemasyarakatan.
“Sehingga dia (peserta didik) akan mencoba berada di tengah masyarakat dengan pola-pola hidup yang menghargai setiap perbedaan yang ada. Anak harus tahu bahwa di lingkungan masyarakat itu ada orang lain, kaya dan miskin. Dengan itu, mereka nanti akan ada rasa saling menghargai antarsesama,” tegasnya. (Cris)