Pendidikan Karakter di Era Post-Truth

Publish

28 August 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
48
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Pendidikan Karakter di Era Post-Truth

Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta

Dalam kehidupan kontemporer, kita menyaksikan satu fase perubahan yang sangat tajam dalam cara manusia memperlakukan kebenaran. Kebenaran yang dahulu ditegakkan di atas pilar kokoh berupa fakta, data, dan bukti-bukti empiris, kini mulai digantikan oleh sesuatu yang lebih rapuh dan tidak menentu: asumsi, opini personal, dan bahkan manipulasi emosi. 

Era ini dikenal sebagai era post-truth, yaitu suatu zaman ketika emosi lebih dipercaya daripada informasi, ketika preferensi pribadi lebih menentukan keyakinan daripada realitas objektif.

Gejala ini bukan hanya menyentuh dunia politik dan media, tetapi telah menyusup pula ke dalam dunia pendidikan. Kebenaran tidak lagi menjadi sesuatu yang diraih melalui perenungan mendalam dan pencarian intelektual yang jujur, melainkan sering kali disusun dan dikonstruksi sesuai selera, kepentingan, bahkan sensasi. 

Maka, bukan hal yang mengherankan jika dalam dunia pendidikan hari ini, penguasaan pengetahuan teknis tidak lagi menjamin seseorang menjadi sosok yang bijak, jujur, dan berintegritas.

Pendidikan Karakter sebagai Jawaban

Dalam konteks inilah, urgensi pendidikan karakter menemukan momentumnya yang paling mendesak. Pendidikan bukan semata transmisi pengetahuan dari guru kepada murid, tetapi proses pembentukan manusia seutuhnya: jasmani, akal, dan hatinya. 

Pendidikan tidak hanya mendidik seseorang agar cerdas secara logika, tetapi juga membentuk kepekaan nurani dan keteguhan moral. Pendidikan sejati adalah pendidikan yang membangun manusia paripurna, yang tidak hanya tahu banyak hal, tetapi juga tahu batas dan arah.

Kita tidak sedang berbicara tentang pendidikan yang sekadar menghasilkan lulusan dengan indeks prestasi kumulatif tinggi, atau yang piawai dalam menyusun kode algoritma, atau yang fasih dalam menggunakan perangkat teknologi canggih. Kita sedang membicarakan pendidikan yang melahirkan manusia yang bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang lurus dan mana yang menyimpang, mana yang baik dan mana yang buruk, dalam suasana kebebasan berpikir yang bertanggung jawab.

Maka, pertanyaan fundamental yang perlu diajukan adalah: pendidikan seperti apa yang kita butuhkan di era post-truth ini? Jawabannya tidak lain adalah pendidikan yang kembali ke akar nilai-nilai moral dan spiritual, pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter, bukan semata penguasaan pengetahuan teknis.

Dalam Al-Qur’an, pendidikan bukan hanya tugas intelektual, melainkan juga panggilan rohani. Ketika Allah mengajarkan Adam nama-nama benda (al-asmaa’ kullaha), itu bukan sekadar pelajaran kognitif, tetapi penanaman tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Pendidikan pertama dalam sejarah manusia adalah pelajaran yang sarat nilai dan misi, bukan sekadar pelatihan teknis.

Jika pendidikan kita hari ini ingin menjadi solusi bagi dekadensi moral dan kekacauan nilai yang merajalela, maka pendidikan itu harus kembali menjadi medan perjuangan bagi penanaman akhlak yang mulia. Dalam perspektif ini, pendidikan adalah laku spiritual, bukan sekadar transmisi kurikulum.

Guru sebagai Penjaga Nurani Zaman

Namun pertanyaan berikutnya muncul: jika pendidikan harus kembali kepada karakter, maka guru macam apa yang layak hadir di zaman ini? Guru dalam era post-truth bukan sekadar pengajar (mu’allim), bukan pula sekadar fasilitator, tetapi lebih dari itu: ia adalah penjaga nurani zaman, pembawa cahaya di tengah kabut ketidakpastian, pengawal nilai dalam pusaran informasi yang simpang siur.

Guru bukan lagi sosok tunggal pemilik ilmu, karena di zaman digital ini, ilmu berserakan di mana-mana. Seseorang bisa belajar tentang teori kuantum dari YouTube, bisa memahami filsafat Yunani dari podcast, bisa menguasai bahasa asing dari aplikasi. 

Maka, posisi guru sebagai satu-satunya sumber ilmu telah berubah. Yang tidak tergantikan dari guru adalah integritasnya, keteladanannya, dan keistiqamahannya dalam menanamkan nilai.

Guru adalah teladan hidup. Sebagaimana Rasulullah SAW adalah uswatun hasanah bagi umatnya, maka guru adalah uswah bagi murid-muridnya. Guru bukan hanya mengajarkan ayat-ayat, tetapi mewujudkan makna ayat-ayat itu dalam perilaku. 

Guru bukan hanya menyampaikan tentang kejujuran, tetapi menjadi cermin kejujuran itu sendiri. Guru bukan hanya menganjurkan kerja keras dan ketekunan, tetapi memperlihatkannya dalam keseharian. Dalam bahasa Imam al-Ghazali, guru adalah petunjuk jalan yang telah lebih dulu menempuh jalannya.

Guru yang demikian bukan hanya membentuk akal, tetapi membimbing hati. Ia tahu kapan harus menyampaikan ilmu dan kapan harus menyentuh jiwa. Ia memahami bahwa murid bukan hanya kepala yang harus diisi, tetapi jiwa yang harus ditumbuhkan. Ia sadar bahwa di tengah arus deras post-truth, murid-muridnya tidak hanya butuh pengetahuan, tetapi juga pegangan hidup.

Di sinilah pentingnya memperkuat dimensi spiritualitas dalam pendidikan. Guru yang ideal bukan hanya yang ahli dalam bidangnya, tetapi juga yang dekat dengan Tuhan, yang menyandarkan ilmunya pada nilai-nilai ilahiyah. Sebab pendidikan yang hanya mengandalkan rasio tanpa iman akan melahirkan manusia cerdas tetapi manipulatif, pintar tetapi culas, tangkas tetapi tanpa belas kasih. 

Maka, iman dan ilmu harus berjalan beriringan, sebagaimana dalam Al-Qur’an yang selalu memadukan antara ‘ilm dan huda, antara pengetahuan dan petunjuk.

Tugas guru hari ini semakin berat, sebab ia tidak hanya berhadapan dengan murid di dalam kelas, tetapi juga bersaing dengan narasi-narasi di luar kelas yang kadang lebih menarik namun menyesatkan. Di media sosial, para murid bisa menemukan ribuan opini dalam satu hari, tetapi tidak semuanya bermutu. Di sinilah peran guru sebagai penyaring informasi, sebagai penjaga kualitas wacana, sebagai pengarah akal sehat.

Di zaman ketika algoritma menentukan apa yang kita lihat, guru harus menjadi benteng nalar kritis. Di zaman ketika popularitas sering lebih dipercaya daripada kompetensi, guru harus mengajarkan pentingnya integritas. Di zaman ketika setiap orang merasa berhak bicara atas nama kebenaran, guru harus menunjukkan bagaimana cara bicara yang benar.

Karenanya, guru hari ini bukan sekadar tenaga pengajar yang menyampaikan silabus, melainkan pemimpin moral yang menghidupkan nilai dalam setiap pengajaran. Ia bukan hanya pengisi kelas, tetapi penuntun jalan. Bukan hanya pelaksana kurikulum, tetapi penafsir makna. Bukan hanya ahli mata pelajaran, tetapi pelayan umat yang dengan penuh cinta membimbing generasi.

Membangun Peradaban Melalui Sekolah

Sudah saatnya kita mendesain ulang pendidikan kita: bukan hanya berdasarkan capaian akademik, tetapi juga jejak moral. Sekolah bukan hanya tempat pencetak ijazah, tetapi ruang penumbuhan jiwa. Kurikulum bukan hanya dokumen administrasi, tetapi sarana menuju pembentukan manusia seutuhnya. Dan guru bukan hanya profesi, tetapi misi suci untuk membangun peradaban.

Jika kita ingin masa depan bangsa ini dituntun oleh nurani, bukan oleh nafsu; oleh kebijaksanaan, bukan oleh kebisingan; maka kita harus mulai dari pendidikan yang memuliakan karakter. Dan itu hanya bisa terjadi jika para guru tidak hanya diajarkan cara mengajar, tetapi juga dibina untuk menjadi penjaga nilai. Sebab guru sejati bukan hanya yang menjawab soal, tetapi yang mengajarkan arah.

Inilah wajah pendidikan yang kita dambakan di era post-truth: pendidikan yang tidak silau oleh gemerlap teknologi, tetapi tetap setia pada cahaya kebenaran. Pendidikan yang tidak terseret oleh arus pragmatisme, tetapi kokoh berdiri di atas prinsip. Pendidikan yang tidak hanya mencetak pekerja cakap, tetapi melahirkan manusia yang bijak. Dan semua itu, bermula dari satu titik penting: guru yang berkarakter, yang menjadi mata air kebijaksanaan di tengah gurun informasi yang gersang.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh Mustofa SH Bulan November dikenal sebagai bulan peringatan Hari Guru Nasional di Indonesia,yan....

Suara Muhammadiyah

25 November 2024

Wawasan

Implementasi Zakat untuk Pendidikan: Aktualisasi Nilai Agama yang Sesungguhnya Oleh: Muhammad Zakki....

Suara Muhammadiyah

14 February 2025

Wawasan

Homo Muhammadiyahicus Oleh: Hilma Fanniar Rohman, Dosen Perbankan Syariah, Universitas Ahmad Dahlan....

Suara Muhammadiyah

26 June 2024

Wawasan

Cinta dalam Lensa Ibnu Hazm: Perjalanan Melalui Hati dan Pikiran Oleh: Dwi Kurniadi, Kader IMM Pond....

Suara Muhammadiyah

11 April 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Sekarang kita akan membahas tig....

Suara Muhammadiyah

25 May 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah