Oleh: Bahrus Surur-Iyunk Penulis Buku Cendekiawan Melintas Batas, 70 Tahun Perjalanan Syafiq. A. Mughni. Tinggal di Sumenep Madura
Sebut saja Namanya Bahris. Ia adalah seorang anak muda (orang menyebutnya kader muda) Muhammadiyah di sebuah PCM. Ketika banyak anak muda Muhamamdiyah (AMM) tidak bisa berceramah, ia sudah bisa berceramah. Ketika banyak AMM tidak berani dan tidak bisa mengimami, ia sudah bisa menjadi imam dengan bacaan yang cukup bagus. Dengan kemampuan seperti itulah Bahris rajin ikut pengajian dan aktif mengikuti kegiatan bermuhammadiyah. Hingga akhirnya ia menjadi penceramah tetap dalam pengajian Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.
Tidak berselang lama, Bahris pun masuk jajaran PCM melalui Muusycab dan dipilih menjadi Ketua PCM. Ia semakin sering berceramah dari ranting ke ranting. Namun, yang menarik ia diam-diam menghidupkan tradisi kalangan tradisionalis di Muhammadiyah. Peringatan Maulid dan peringatan hari besar lainnya yang biasanya tidak ada mulai diadakan, meskipun dengan sedikit cara yang berbeda. Setelah berjalan 2-3 tahun, Bahris pun mendirikan Yayasan sendiri. Lalu, ia mendirikan Taman Kanak-kanak, sebagaimana yang dilakukan ibu-ibu PC ‘Aisyiyah. Saat ada PDM dan PDA berkunjung ke cabang tersebut, Bahris tidak menunjukkan TK ABA tetapi mengarahkan ke TK-nya sendiri dengan maksud agar diberi perhatian dan selanjutnya dibantu.
Bahkan, setelah itu, ada masjid Muhammadiyah yang sejak awal dibangun dan dimakmurkan Muhammadiyah mulai “dikuasai”. Menariknya, masjid yang belum disertifikasi atas nama Persyarikatan ini pun harus direlakan lepas dari tangan Muhammadiyah. Warga dan pimpinan Muhammadiyah pun tidak dapat berbuat apa-apa, karena tidak sadar jika AUM-nya sudah diserobot secara pelan-pelan. Menjelang Muscab berikutnya, pimpinan Muhammadiyah yang sejak awal merintis dan membangun Muhammadiyah pun sadar aka napa yang terjadi. Bahris pun dieliminir dan Ketua PCM akhirnya dikembalikan kepada sesepuh Muhammadiyah yang selama ini menjadi Ketua PCM.
Bahris sudah terlanjur memiliki pengikut. Beberapa AMM sudah mengikuti pemikiran dia. Ketika Bahris mengadakan Haul dan Maulid Nabi dengan ritual khusus dan tertentu di masjid (“bekas”) Muhammadiyah dan mengunggah foto-foto kegiatannya ke grup warga Muhammadiyah setempat, beberapa warga dan anak muda justru bangga dan memberi tanda jempol atas kegiatan tersebut. Padahal, hal itu bukanlah tradisi Muhammadiyah. Memang di Muhammadiyah juga ada tradisi perayaan/peringatan maulid Nabi, tapi bentuk peringatan/ perayaanya tanpa ritual tertentu.
Bukan hanya membawa tradisi dan ideologi lain ke dalam Muhammadiyah, Bahris juga mendirikan TK dengan yayasannya sendiri. Bahris sudah kenal dengan beberapa orang Muhammadiyah dan dia sendiri dikenal sebagai PCM. Ketika ia meminta bantuan kepada salah seorang anggota Dewan dengan membawa nama dan memalui orang Muhammadiyah, si anggota Dewan pun percaya dan memberikan bantuan nama melalui APBD ke TK-nya. Ibu-ibu Aisyiyah pun mengadu protes kepada PDM, “Mengapa justru TK Bahris yang dibantu bukan TK ABA?” Bahkan, salah seorang Pimpinan Pusat Muhammadiyah pun percaya saat dimintai bantuan dari TK Bahris dengan memberikan puluhan juta rupiah. PCM setempat pun akhirnya mengkonfirmasi ke Pusat bahwa Lembaga tersebut bukanlah amal usaha Muhammadiyah.
Tapi, apa mau dikata, bantuan terlanjur ditransfer ke rekening Bahris. Sekali lagi, jika saja hanya mengikuti atau menghadiri kegiatan tersebut, mungkin bisa dimaklumi. Tetapi, yang menjadi masalah adalah Bahrus justru mendegani dan menjadi penyelenggara kegiatan tersebut. Bahkan, masjid yang selama ini dibangun dan dididirikan Muhammadiyah pun “disandra” oleh Bahris. Itulah gambaran bagaimana pengikisan ideologis dalam Bermuhammadiyah terjadi, yang berdampak pada penyelewengan ideologis dan organisatoris. Bisa jadi, kisah (deskriptif) ini terjadi di beberapa Cabang dan Ranting. Atau, mungkin (semoga) tidak akan terjadi selamanya dalam kehidupan bermuhammadiyah. Bahkan mungkin terjadi dengan modus operandi (gaya) yang berbeda-beda.
Cerita di atas sekedar ingin mengingatkan betapa orang-orang Muhammadiyah itu kadangkala, kalau bukan seringkali, gampang gumunan (mudah kagum) kepada seseorang yang baru dikenal. Padahal masih belum jelas sampai di mana kadar kemuhammadiyahannya. Sama, ketika ada seorang ustadz yang baru masuk Muhammadiyah dengan bacaan Al-Quran bagus, maka si ustadz pun disanjung dan diundang untuk menjadi imam dan pengajar Tahsin di mana-mana. Ironisnya, setelah berjalan 2-3 tahun, si ustadz pun dieliminasi, tidak dipakai lagi, dan kekurangannya pun dirasani. Bukan hanya dalam hal keustadzan dan keulamaan, dalam hal organisasi pun sering mudah kagum (gumunan) terhadap ormas lain, lalu mencela Muhammadiyah-nya sendiri. Sangat mungkin, hal ini terjadi karena banyak warga dan pimpinan Muhammadiyah yang kurang memahami ideologi, manhaj tarjih dan konsep pemikiran Muhammadiyah. Mereka hanya aktif berorganisasi dan (bersedia) menjadi pimpinan, tetapi tidak mau belajar dan membaca pemikiran dan ketentuan Muhamamdiyah.
Pada saat ada masalah keislaman (terutama fikih dan keimanan), misalnya, mereka ini lebih mudah merujuk kepada google dan sumber lain yang bukan Muhammadiyah daripada referensi Muhammadiyah itu sendiri. Atau, lebih suka bertanya kepada ustadz non-Muhamamdiyah yang jelas-jelas berbeda dengan manhaj tarjih daripada Kembali ke dasar manhaj tarjih. Begitu juga dalam hal pengelolaan Amal Usaha Muhammadiyah. Mereka yang minim pemahaman ideologi Muhammadiyah akan cenderung mendahulukan orang lain yang dianggap lebih dipercaya dan disenangi menurut seleranya daripada kepada imam dan ustadz yang jelas-jelas Muhammadiyah. Bila perlu, imam dan ustadz Muhammadiyah disuruh mundur dan mengalah dulu dari yang tidak jelas itu.
Padahal, sering terjadi, lama-kelamaan amal usaha itu akan dikuasai. Kalau masjid, imam dan ustadznya akan diganti satu-persatu dan takmirnya pun akan dirombak secara perlahan namun pasti. Jika di sekolah, program dan kegiatannya pun akan diganti secara perlahan dengan alasan tidak syari dan sebagainya. Awalnya petugas pengajar ekstra-kurikuler yang diamsukkan ke sekolah tersebut. Namun, lama-lama guru pengajarnya akan diganti dengan alasan ini dan itu. Dan yang demikian tidak selalu dilakukan oleh kalangan Salafi atau kalangan lancing (celana cinkrang), tetapi juga kalangan lain. Semoga semua ini menjadi pelajaran bagi pimpinan dan warga Muhammadiyah. Akhirnya, belajar, baca dan bacalah sejarah, idelogi dan manhaj tarjih Muhammadiyah agar tetap lurus di jalan Muhammadiyah yang insyaallah jelas-jelas Islam. Wallahu a’lamu.