Peran Strategis Dakwah Digital
Oleh: Agusliadi Massere
Ada banyak fungsi, tujuan, dan manfaat dakwah. Yang pasti, senantiasa menempati posisi yang sangat strategis dalam kehidupan. Apatah lagi, jika kita memahami dan menyadari bahwa satu di antara tiga misi mulia manusia adalah “berdakwah”. Dr. Asep Zaenal Ausop dalam bukunya Islamic Character Building: Membangun Insan Kamil, Cendekia Berakhlak Qurani, menegaskan bahwa “Dakwah adalah menanamkan nilai baru yang lebih dapat diyakini kebenarannya, terutama nilai-nilai din al-Islam yang jelas landasan ayat Al-Qur’an dan Sunnahnya”.
Dakwah adalah salah satu metode penanaman nilai dalam upaya membangun karakter yang positif, produktif dan konstruktif. Dakwah pun bisa menjadi jalan pencerahan dan penyadaran untuk kembali ke jalan kebenaran. Jalan kebenaran yang dimaksud bukan hanya jalan menuju surga untuk di akhirat kelak, tetapi termasuk pula untuk kembali menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, etika, dan akhlak dalam realitas empirik, sosial, politik, ekonomi, dan ruang tata kelola bangsa dan negara.
Kehidupan di mana ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik, terjadinya keberlimpahan informasi, begitu pun manusianya lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia virtual—bahkan dalam sebuah riset di Amerika (Mujiburrahman, 2021: 158) ditemukan fakta bahwa tiga per empat anak muda Amerika yang dikerjakan segera setelah bangun dari tidurnya adalah “langsung membuka ponselnya”—bisa dipastikan hal ini memengaruhi nalar. Hasil riset di Amerika ini, saya yakin tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia, bahkan bisa saja kondisinya lebih parah lagi.
Nalar sebagai sesuatu yang menentukan doing (cara bertindak), thinking (cara dan apa yang harus dipikirkan), meaning (cara memaknai dan memberikan makna terhadap kehidupan), relating (bagaimana dan dengan siapa menjalin hubungan), dan being (cara menjadi), sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di dunia digital sebagai konsekuensi logis dari era digital. Nalar pun bisa dimaknai akal budi yang akan menentukan nilai baik-buruknya sesuatu, benar-salah, termasuk patut atau tidak.
Dalam kehidupan hari ini, kita merasakan banyak hal paradoks. Modal besar kehidupan seringkali tidak berbanding lurus, tidak memberikan kontribusi positif, konstruktif, dan produktif terhadap dinamika kehidupan. Banyak hal tampak dalam realitas kehidupan yang tidak sesuai harapan.
Situasi di atas, seringkali memunculkan pertanyaan dan pernyataan yang berpotensi menggugat fungsi dakwah yang telah dilakukan secara maksimal tetapi hasilnya belum maksimal. Termasuk ketika ada riset Microsoft yang menempatkan netizen (warganet) Indonesia sebagai yang paling tidak sopan di Asia Tenggara, bahkan dari 32 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi urutan ke-29 dalam pengukuran tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang tahun 2020. Padahal, idealnya hal itu tidak terjadi karena sesungguhnya Indonesia adalah bangsa dan negara religious meskipun tidak menetapkan satu jenis agama tertentu sebagai agama resminya. Indonesia bukan negara sekuler, sebagaimana Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar negaranya, menempatkan “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai sila pertama.
Saya sebagai anak negeri sekaligus sebagai orang yang lahir dari rahim ideologis ormas keagamaan (baca: Muhammadiyah) merasa tergugat dengan hasil riset Microsoft tersebut, dan sekaligus tergugah untuk menawarkan satu langkah solutif, meskipun (mungkin) saya sendiri belum bisa memaksimalkannya dalam bentuk aksi. Apa yang terjadi dalam hal karakter atau sikap dan perilaku netizen (warganet) Indonesia, bukan hanya sebagai bentuk representatif dari realitas sosial atau empirik. Ini pun berpotensi sebaliknya bahwa apa yang terjadi di media sosial akan direpresentasikan (kembali) dalam realitas sosial. Begitulah kondisi dan fungsi media sosial relasinya dengan realitas kehidupan di era digital hari ini. Kita harus prihatin dan mencoba melakukan langkah solutif—meskipun sederhana—dimulai dari diri kita masing-masing.
Langkah strategis dan menjadi instrumen operasional yang bisa sangat efektif adalah memaksimalkan “dakwah digital”. Selama ini, tentunya dakwah yang dilakukan sudah sangat maksimal dalam perspektif dakwah konvensional, seperti dakwah dari mimbar masjid yang satu ke mimbar masjid yang lainnya. Termasuk pula dakwah dari majelis taklim yang satu ke yang lainnya, sudah sangat maksimal.
Dakwah digital di era digital hari ini, di mana manusia mengalami transformasi dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia (baca: kehidupan dengan salah satu cirinya malas tabayyun), perlu dimaksimalkan. Selain urusan media dan metode dakwah kontemporer ini, yang perlu dimaksimalkan pula adalah ruang lingkup atau cakupan materi pembahasannya, yang tidak hanya berkutat pada urusan surga-neraka dalam pengertian harfiah, bukan hanya seputar rukun shalat, melainkan bagaimana nilai shalat difungsionalisasikan atau dibumikan dalam realitas kehidupan sosial. Ini sebagai salah satu contoh saja.
Terinspirasi dari Dr. Sholihul Huda M. Fil.I. dalam bukunya Dakwah Digital Muhanmnadiyah: Pola Baru Dakwah Era Disrupsi, saya memahami untuk kita pahami bersama bahwa dakwah digital adalah “kerja-kerja komunikasi dakwah melalui media publik berbasis teknologi digital dengan mengembangkan soft skill dan kapabilitas teknologi”. Dakwah digital dalam hal metode bisa pula melampaui dari sekadar pemaknaan atau pendefenisian dari digitalisasi dakwah. Dakwah digital bisa terbangun dalam pola interaktif atau ada komunikasi dakwah dua arah atau lebih yang bisa terbangun. Bukan sekadar direkam dalam bentuk tulisan atau file PDF dan sejenisnya, tetapi bisa dalam bentuk life streaming melalui media sosial tertentu.
Ada peluang, potensi, dan kecenderungan yang bisa dimanfaatkan secara maksimal agar peran strategis dakwah digital bisa semakin terasa manfaatnya dalam kehidupan. Meskipun, peluang, potensi, dan kecenderungan ini, salah satunya membutuhkan langkah masif, sistematis, kolaboratif, dan kolektif.
Hari ini, di era yang oleh Yasraf Amir Piliang menyebutnya era pascaindustri, tetapi lebih lazim disebut era digital, manusia lebih banyak menghabiskan waktu di dunia virtual bahkan untuk hal ini teknologinya sudah ada dibalik genggaman dan ditentukan oleh sentuhan jari. Melalui dakwah digital dengan memaksimalkan penggunaan berbagai platform media sosial dan/atau media online, maka jangkauan dakwah yang kita lakukan tidak hanya terbatas pada ruang dan waktu tertentu, melainkan jangkauannya bisa lebih luas dan tidak terbatas.
Hari ini, sebagaimana pandangan yang dikutip oleh Yasraf Amir Piliang sekaligus terinspirasi dari Baudrillard, adanya atau sudah sampai pada tahap keempat terkait perkembangan nilai dalam masyarakat, yaitu tahapan yang disebut fraktal atau viral. Dari ini, saya mendapatkan pemahaman, dan bahkan setelah mencermati kehidupan, hal itu terkonfirmasi kebenarannya bahwa yang seringkali dipandang benar hari ini adalah apa yang viral. Hal ini, logika dan kecendrungan ini bisa dimanfaatkan dengan cara konten dakwah yang kita produksi disebarkan secara masif, sistematis dengan berkolaborasi multi pihak untuk memasifkan gerakan dakwah kolektif, agar konten itu menjadi viral sehingga mampu mengisi ruang nalar para netizen.
Hanya saja, untuk upaya memviralkan suatu konten dakwah minimal melalui like, belum maksimal karena memang belum dilakukan secara masif, sistematis, dan terstruktur oleh suatu komunitas tertentu. Hari ini, kita masih lebih sering menemukan realitas yang terjadi bahwa lebih sering viral konten yang lucu-lucu, yang sekadar guyonan, dan sindiran semata ketimbang konten yang nilai edukasinya lebih besar. Atau termasuk lebih sering direspon secara masif live streaming game online, daripada konten motivasi, inspirasi dan dakwah.
Pandangan yang dipertegas oleh Yasraf di atas, itu pun sesuai dengan logika dan mekanisme kerja algoritma yang ada dalam teknologi digital. Maksudnya jika suatu konten—harapannya di sini adalah konten dakwah—banyak dilike (disukai), dikomentari, dishare (dibagikan) maka algoritma akan bekerja untuk semakin merekomendasikan ke pengguna media sejenis yang digunakan untuk menonton konten dakwah tersebut. Jadi ibarat bola salju semakin banyak dilike, dishare, dan dikomentari maka algoritma teknologi semakin menyebarkan untuk direkomendasikan agar ditonton.
Peluang dan potensi selanjutnya, setelah dua atau tiga hal penting di atas, jika media sosial atau media online sudah didominasi secara algorimatik dengan konten-konten dakwah maka tentunya nalar pengguna media sosial akan lebih cenderung didominasi oleh hal positif, produktif, dan konstruktif. Setelah ini, maka proses algoritmik dan habits penggunanya dalam bersikap, bertindak, dan mengambil keputusan sudah sesuai dengan nilai-nilai dakwah tersebut. Bukan lagi berdasarkan hal dangkal, dan hanya sesuatu yang berpotensi menciptakan kondisi chaos.
Sama halnya ketika, terkesan hari ini di media sosial, para pengguna hanya berpotensi memaksimal mengikuti konten-konten yang hanya berdurasi tiga sampai lima menit, sebenarnya itu adalah lingkaran algoritmik (berdasarkan analisa media sosial tertentu) yang selama ini terlanjur terbangun, dan itu pun terbangun di media sosial dan terbangun pula dalam nalar dan alam bawah sadar pengguna. Kecenderungan itu bisa diubah meskipun butuh kerja keras, kerja sama dan kerja cerdas, untuk mengalahkan konten singkat itu dengan konten yang lebih lama, kemudian memaksimalkan pemanfaatan proses algoritmik untuk mengubah kecenderungan nalar pengguna.
Atas dasar kesadaran tersebut, saya pribadi dalam pemanfaatan media sosial, tidak sepenuhnya ingin mengikuti logika atau selera pasar (baca: pengguna media sosial). Artinya kita yang harus menawarkan ruang, peluang, dan kecenderungan alternatif. Ketika ada yang selalu berharap agar tulisan saya di media online dan tersebar di media sosial untuk tidak terlalu menggunakan bahasa yang sangat serius, dengan alasan tidak sesuai selera pasar, saya tidak mengikuti sepenuhnya, karena saya punya niat untuk menawarkan potensi dan kecendrungan lain. Seringkali selera pasar itu, terlalu rendah, mau yang biasa-biasa saja, terlalu instan, yang tidak terlalu menantang alam pikiran untuk meningkatkan daya analisa dan spirit rasa ingin tahu-nya. Kurang menantang.
Selain hal di atas, saya pun perlu menegasakan bahwa sebagaimana para pendakwah yang telah memaksimalkan dakwahnya secara digital atau diistilahkan dakwah digital, sebaiknya cakupan materi pembahasannya pun harus menyentuh tema-tema ideologi bangsa, nalar kebangsaa atau tema kebangsaan, tata kelola negara, korupsi dan kejujuran, integritas dan profesionalitas. Karena, semuanya ini sebenarnya landasan nilainya pun bisa ditemukan dalam ajaran agama. Hanya saja selama ini kurang maksimal karena kita fokus hanya membahasa ajaran agama itu dalam perspektif atau bingkai surga-neraka dalam pengertian harfiah semata. Agama terkadang hanya terkesan untuk kesalehan pribadi semata. Kurang sekali upaya untuk menyorot fungsionalisasi agama, atau dalam istilah Quraish Shihab “Membumikan Al-Qur’an” dalam istilah Amin Rais, salah satunya sebagai contoh ada yang disebut “Tauhid Sosial”.
Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng