Perang dan Ragam Persepsi
Oleh : Ahsan Jamet Hamidi
Perang Bubat, adalah pertempuran antara prajurit Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Majapahit. Perang itu berawal dari keinginan Raja Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Raja Sunda bernama Diah Pitaloka Citraresmi. Konon, ada alasan politik di balik rencana pernikahan itu. Kebetulan, hanya wilayah Sunda yang belum dapat ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit.
Pada tahun 1357 M, rombongan keluarga Raja Sunda, lengkap dengan tentara pengawal bertolak ke Majapahit. Mereka hendak mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk, Raja Majapahit. Niat Hayam Wuruk yang ingin menyambut rombongan dari Pasundan di persinggahan Bubat ditentang oleh Patih Gajah Mada. Menurutnya, tidak pantas seorang Maha Raja dari kerajaan besar menyambut rombongan dari kerajaan yang dianggap lebih kecil. Itu bisa merendahkan martabat Majapahit.
Karena tidak kunjung disambut, rombongan Raja Sunda mengutus Patih Anepaken untuk menemui pihak Majapahit. Kedatangan Patih beserta rombongan disambut oleh patih Gajah Mada. Di sinilah konflik bermula. Gajah Mada meminta agar penyerahan Putri Diah Pitaloka Citraresmi, adalah pertanda ketaklukan kerajaan Sunda kepada Majapahit.
Patih Anepaken menolak permintaan itu. Ia kembali ke persinggahan Bubat. Tanpa sepengetahuan Hayam Wuruk, Gajah Mada beserta pasukan mendatangi rombongan kerajaan Sunda di persinggahan Bubat, sambil membawa surat permintaan agar kerajaan Sunda menyerah dan takluk terhadap Majapahit. Raja Sunda murka. Peperangan besar tak terelakkan. Raja Sunda gugur. Istri para prajurit melakukan aksi balapati (bunuh diri) tak terkecuali calon pengantin Putri Diah Pitaloka Citraresmi.
Hayam Wuruk tidak mengetahui tindakan Patihnya. Dia sangat sedih. Mengingat putri yang diidam-idamkan ikut gugur. Sejak saat itu, hubungan antara kerajaan Sunda dan Majapahit renggang. Hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada pun juga renggang. Persitiwa ini dipersepsi sebagai awal kemunduran Kerajaan Majapahit.
Menyikapi Cerita
Kisah yang yang dipercaya terjadi 666 tahun lalu ini saya kutip dari tulisan yang termuat di media mainstream. Seperti: Kompas.com dan Historia.id. Konon, peristiwa Perang Bubat ini tertuang dalam Naskah Kitab Sundayana, tetapi tidak disinggung dalam Nagarakertagama. Kitab sastra yang ditulis oleh Mpu Prapaca, yang dipercaya sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit.
Dalam sebuah obrolan santai usai makan siang di kantin, seorang teman yang bersimpati terhadap kebesaran kerajaan Majapahit, meyakini bahwa peristiwa itu benar terjadi. Dia pun mengklaim bahwa Majapahit adalah pemenang dalam perang itu. Terbukti Raja Sunda wafat. Sementara menurut seorang kawan yang pro dengan kerajaan Sunda meyakini bahwa peristiwa itu hanyalah cerita dongeng yang sama sekali tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Tidak ada bukti yang kuat mengenai peperangan ini yang ditulis seorang Kawi pada prasasti atau tertuang dalam kakawin.
Sekarang, di Kota Bandung, sudah ada Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk. Ada yang berpandangan bahwa penamaan jalan ini bukti rekonsiliasi antara suku Jawa-Sunda. Bukan hanya perkara penamaan jalan. Jika selama ini ada yang meyakini bahwa pernikahan seorang laki-laki Jawa dengan perempuan Sunda dianggap pamali, keyakinan itu luntur. Perang Bubat memang tidak pernah ada. Untuk itu, ada penamaan jalan dan pandangan pamali soal pernikahan antar kedua suku itu tidak punya pengaruh apa apa.
Membangun Persepsi
Obrolan di kantin siang itu seru. Saya tidak tertarik untuk menyimpulkan siapa yang menang atau kalah atas persitiwa Perang Bubat itu. Saya lebih tertarik melihat sudut tentang bagaimana sebuah persepsi manusia itu dibangun. Apa usaha untuk bisa mempengaruhi orang yang tidak pernah melihat atau terlibat dalam suatu peristiwa, akhirnya bisa menjadi tertarik, bahkan bisa membela salah satunya.
Saya sungguh penasaran dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh para kreator media. Ia mampu menggunakan segala macam wahana propaganda melalui media serta taktik hingga mampu mengubah persepsi orang lain. Dari tidak tertarik menjadi suka. Dari abai menjadi perhatian. Bahkan, dari benci menjadi cinta.
Kedua teman saya yang pro Majapahit maupun yang pro Kerajaan Sunda itu sebenarnya sama-sama kesulitan untuk bisa menyimpulkan dengan mudah peristiwa yang terjadi 666 tahun silam. Ada kendala waktu, jarak dan saksi sejarah. Semua orang yang terlibat dalam perang ataupun orang yang pernah melihat, pasti sudah meninggal dunia.
Salah satu instrumen yang bisa meyakinkan seseorang terhadap persitiwa itu adalah melalui catatan sejarah. Sementara sejarah, juga ditulis oleh beragam orang, dengan berbagai latar belakang dan kepentingan macam-macam. Mereka tidak berangkat dari ruang kosong
Andaikan
Seandainya perang bubat di Trowulan itu terjadi pada tahun 2023, maka perang itu tidak hanya terjadi antara segerombolan prajurit dari kedua Kerajaan (Sunda dan Majapahit). Perang juga terjadi antara mereka yang aktif dalam aksi propaganda. Perang antar media juga akan terjadi, tidak kalah serunya. Energi yang dikeluarkan tetaplah sama. Sangat melelahkan.
Para pegiat propaganda perang akan menggunakan media apa saja untuk menyuarakan kepentingannya. Media-media mainstream yang selama ini menjadi rujukan bagi pencari berita, bisa kalah oleh banjirnya informasi yang diproduksi melalui media sosial. Jepretan camera, rekaman video, narasi yang ditonjolkan akan dibuat sesuai kepentingan masing-masing. Prinsip imparsialitas dan cover both sides tidak lagi ada.
Tidak perlu heran, jika menemui sebuah konten media yang selalu memberitakan aksi heroik para prajurit yang telah mengklaim memenangkan pertarungan. Di sisi lain, ada juga yang selalu memberitakan konten tentang perilaku kejam para prajurit yang begitu menyengsarakan rakyat. Pemukiman, pasar, rumah sakit, tempat ibadah hancur luluh lantah akibat perang.
Ragam Sikap
Atas satu peristiwa perang yang terjadi, akan muncul beragam sikap dan persepsi dari para pengguna media.
Ada yang bersikap hati-hati, cermat dalam melihat semua informasi yang melintas. Mereka akan melihat latar belakang media hingga mempelajari profil pemiliknya. Membandingkan dengan informasi yang diberitakan oleh media lain, adalah cara lainnya. Untuk itu, sulit untuk mudah percaya. Apalagi jika informasi itu disebarkan oleh media sosial yang tidak jelas sumber datannya. Isinya tetap dibaca untuk pengetahuan pribadi, namun tidak mudah menyebarkannya.
Kedua, ada yang sedari awal sudah berpihak kepada salah satunya. Ia hanya menerima informasi bisa menebalkan keyakinan atas keberpihakannya. Tidak peduli sumber beritanya darimana. Apakah itu dari media mainstream atau media social. Membuang semua berita yang kontra, karena itu bisa menggoyah keyakinannya. Semua informasi yang ia dapat, segera disebarkan seluas-luasnya.
Usai makan siang, saya belum juga menemukan jawaban secara jernih dari peristiwa Perang Bubat itu. Apa sumber masalah dari peperangan itu? Karena sang Raja gagal menikahi putri cantik dari Kerajaan Sunda? atau karena politik penaklukan. Siapa yang menang dari perang itu? Pun sulit untuk menemukan jawaban pastinya. Banyak catatan sejarah dalam versi yang berbeda-beda atas satu peristiwa yang dikisahkan. Akhirnya akan kembali pada hati nurani.
Saya hanya bisa memprotes di dalam hati, bahwa dalam setiap peperangan, mereka yang menjadi korban adalah Rakyat. Padahal mereka tidak pernah terlibat dalam kepentingan dan perseturuan para petinggi kerajaan. Perang, seharusnya dilakukan dengan sikap gentle dan kesatria. Adu keberanian dipraktikkan dengan perang tanding antar para prajurit di tengah padang luas. Bukankah ketika seseorang memutuskan untuk menjadi prajurit itu berarti sudah siap mati demi keyakinan yang ia bela?
Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan