Perempuan dan Konstruksi Sosial
Oleh: Dr. Amalia Irfani, M.Si, Sekretaris LPP PWM Kalbar/Dosen IAIN Pontianak
Diskursus mengenai perempuan selalu memunculkan pro kontra yang menarik untuk di kulik. Saat perempuan instan viral menjadi selebritas dadakan, emosi netizen ikut bermain dalam beranda komentar yang terkadang diluar nalar dalam saking pedasnya. Perempuan acapkali dijadikan objek relasi sosial karena posisi mereka dikonstruksi sebagai yang dinilai atau yang diatur oleh norma masyarakat.
Stigma tersebut tidak pernah surut. Jika sebelum era digitalisasi konstruksi sosial perempuan sangat kental dengan pembatasan ruang gerak, dominasi patriarki, stereotip domestik serta jarang diberi kesempatan untuk berperan aktif di ruang publik. Di era digitalisasi walau kesempatan untuk aktualisasi diri lebih terbuka lebar, namun masih rentan dimanipulasi dan mendapat tekanan sosial.
Di era digitalisasi opini publik terbentuk karena konten, atau gambar bergerak berpadu dengan audio dan alur penyampaian cerita. Anehnya tidak sedikit netizen "terbakar" dan akhirnya berperang dengan saling menyerang dan menyalahkan.
Misalnya kasus Inara Rusli selebgram yang lebih dikenal publik ketika ia membuka aib rumah tangganya dua tahun silam. Saat itu masyarakat dunia maya (mayantara) menaruh simpati bahkan banyak endorse produk yang menghampiri Inara. Penampilan serta tutur kata lembut menambah rapor baik sehingga dengan cepat ia memperoleh simpati netizen. Ia pun tidak lagi kesulitan mencari pundi rupiah untuk menghidupi ketiga anaknya. Sesaat figur perempuan lemah namun cerdas dalam memilih dengan tidak diam menunggu nasib baik, melekat erat pada sosok Inara. Bahkan tidak sedikit perempuan terprovokasi "melawan" kekerasan yang mereka hadapi di rumah tangga karena melihat keberanian Inara melawan arus dengan membuka tabir perselingkuhan suaminya Virgoun (dulu).
Lalu, menjelang akhir 2025, publik kembali tersentak dengan kasus serupa hanya terasa ganjil karena yang dulunya Inara adalah korban, sekarang ia sebagai pelaku. Ia di tuding sebagai orang ketiga dalam rumah tangga Insanul Fahmi dan Wardatina Mawa. Jagad maya pun dihebohkan dengan video dewasa berdurasi dua jam yang dijadikan bukti Wardatina Mawa melaporkan suaminya atas kasus perselingkuhan.
Dari perspektif sosiologi, kasus Inara sekarang dan sebelumnya adalah contoh nyata simbol agama, konflik rumah tangga akan berimbas atau memunculkan isu luas secara sosial. Kasus ini kemudian membangkitkan debat publik, bukan hanya soal kesetiaan atau moral, tetapi juga soal kejelasan legalitas, keadilan terhadap perempuan, dan hak privasi. Banyak yang menyalahkan, namun tidak sedikit yang menilai kasus Inara sebagai fenomena yang tidak boleh dianggap remeh oleh perempuan tentang pentingnya menjaga ruang privat.
Mengenal Kekerasan Digital Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dapat didefinisikan segala bentuk tindakan negatif berupa ancaman, perampasan kebebasan, yang menimbulkan sakit atau penderitaan secara fisik, psikologis, seksual, ekonomi yang terjadi di ranah domestik maupun ranah publik. Sejak kehidupan masyarakat dunia lebih didominasi interaksi dan komunikasi di mayantara, kekerasan pun terjadi di dua dunia, nyata dan mata. Misalnya penyebaran konten intim tanpa izin, cyberbullying, doxing atau pelecehan online berbasis gender.
Berbagai tindakan kekerasan tersebut faktanya banyak dialami oleh perempuan. Lalu muncullah persoalan mendasar yakni, bagaimana masyarakat memandang perempuan khususnya pada saat opini publik lebih cepat terbentuk sebelum uji faktual dapat dibuktikan.
Dari kasus Inara setidaknya ada beberapa hal menarik dan menjadi perhatian. Pertama, poligami versus persetujuan dan keadilan. Posisi ini perempuan seringkali dirugikan, baik sebagai korban atau pelaku. Stempel tidak dapat mengurus suami (korban) sehingga suami akhirnya punya wanita idaman lain (pelaku), akan melekat kuat dan acapkali menjadi bahan mempertanyakan sisi baik dan buruk perempuan di kehidupan mendatang. Ini pun biasanya akan berpengaruh pada kehidupan sosial anak.
Kedua, narasi publik dan penilaian sosial yang cepat namun seringkali rentan salah. Rendahnya literasi digital, mudah percaya hoax selain penggunaan judul clickbait dan pengaruh algoritma memperkuat bias berita adalah sebab mengapa isu seketika berubah fakta. Diperparah lagi kemudahan membuat akun palsu, yang menciptakan kepanikan, kesalahpahaman, dan kegaduhan di masyarakat.
Maka penting kita mengedukasi diri dan juga lingkungan terdekat agar lebih sering melakukan klarifikasi dan menahan diri saat berselancar di dunia maya.
Kasus seperti Inara Rusli, selintas mungkin dapat kita anggap drama selebritas, sinetron hidup yang memunculkan dua kubu penonton. Tetapi realitanya adalah konflik antara tradisi, norma agama, hukum, dan realitas modern, hak asasi, keadilan gender, dan tanggung jawab moral. Semoga tulisan ini bisa menjadi salah satu refleksi tentang menjaga diri dan cerdas menilai sebelum berkomentar saat berinteraksi di mayantara.


