Oleh:
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Bantul, dan Dosen FK-UAD
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Widiastuti, Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah DIY
Rabbi zidni ‘ilman
Tuhanku tambahlah untukku ilmu
(QS Thaha [20] : 114)
Manusia adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam Al-Qur’an melalui wahyu pertama. Bukan saja karena ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya atau karena segala sesuatu dalam alam raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demi kepentingannya, tetapi juga karena Kita Suci Al-Qur’an ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya (Shihab, 2012).
Perintah Tuhan yang pertama kali kepada umat manusia lewat Nabi Muhammad Saw. adalah, Bacalah. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta. Yang telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yang belum diketahui(nya)” (QS Al-“Alaq [96] : 1 – 5).
Kata iqra’ terambil dari kata kerja qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila kita merangkai huruf atau kata kemudian mengucapkan rangkaian itu, maka kita telah menghimpunnya, yakni membacanya. Ayat di atas tidak menyebutkan obyek bacaan - dan Malaikat Jibril ketika itu tidak juga membaca satu teks tertulis - dan karena itu dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Nabi Muhammad bertanya: ma aqra’ apakah yang saya harus baca?
Dengan demikian, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai obyek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut. Antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya yang kesemuanya bermuara pada arti menghimpun.
Menurut Quraish Shihab (2012), dalam “Tafsir Al-Mishbah”, Nabi Muhammad diperintahkan membaca tidak hanya wahyu-wahyu Ilahi, beliau juga agar membaca alam dan masyarakatnya. Perintah membaca itu agar Sang Nabi membekali dirinya dengan kekuatan pengetahuan. Bacalah semua itu tetapi dengan syarat hal tersebut dilakukan dengan atau demi nama Tuhan Yang selalu memelihara dan membimbing manusia dan Yang mencipta semua makhluk kapan dan di mana pun.
Kaidah kebahasaan menyatakan, “Apabila suatu kata kerja yang membutuhkan obyek tetapi tidak disebutkan obyeknya, obyek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut”. Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata iqra’ digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan, dan sebagainya, dan karena obyeknya bersifat umum, obyek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Alhasil, perintah iqra’ mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak.
Mengaitkan pekerjaan membaca dengan nama Allah mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukannya kecuali karena Allah dan hal ini akan menghasilkan keabadian karena hanya Allah Yang Kekal Abadi dan hanya aktivitas yang dilakukan secara ikhlas yang akan diterima-Nya. Tanpa keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan dan kepunahan (baca QS Al-Furqan [25] : 23).
Shihab (2012), mengutip Syaikh ‘Abdul Halim Mahmud (mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar, Mesir) menulis dalam bukunya , Al-Qur’an Fi Syahr Al-Qur’an, bahwa “Dengan kalimat iqra’ bismi Rabbik, Al-Qur’an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi ‘membaca’ adalah lambang dari segala apa yang dilakukan manusia, baik yang bersifat aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangat ingin menyatakan ‘Bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu’. Demikian juga apabila anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktivitas, hendaklah hal tersebut juga didasarkan pada bismi Rabbik sehingga pada akhirnya ayat tersebut berarti ‘Jadilah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi karena Allah”.
Setelah memerintahkan membaca dengan meningkatkan motivasinya, yakni dengan nama Allah, kini ayat 3 “Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah” memerintahkan membaca dengan menyampaikan janji Allah atas manfaat membaca itu. Allah berfirman Bacalah berulang-ulang (suatu pelajaran baru dapat diingat dengan baik, minimal dibaca enam kali) dan Tuhan Pemelihara dan Pendidik-mu Maha Pemurah sehigga akan melimpahkan aneka karunia.
Syaikh Muhammad ‘Abduh (dalam Shihab, 2012), mengemukakan bahwa kemampuan membaca dengan lancar dan baik tidak dapat diperoleh tanpa mengulang-ulangi atau melatih diri secara teratur. Adapun perintah membaca yang kedua kepada Sang Nabi menurut Shihab (2012), agar beliau lebih banyak membaca, menelaah, memperhatikan alam raya serta membaca kitab tertulis dan tidak tertulis dalam rangka mempersiapkan diri terjun ke masyarakat.
“Bacalah, wahai Nabi Muhammad, Tuhanmu akan menganugerahkan dengan sifat kemurahan-Nya pengetahuan tentang apa yang tidak engkau ketahui. Bacalah dan ulangi bacaan tersebut walaupun obyek bacaannya sama, niscaya Tuhanmu akan memberikan pandangan serta pengertian baru yang tadinya engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam obyek tersebut”.
Kegiatan “membaca” ayat Al-Qur’an menimbulkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan dari pendapat-pendapat yang telah ada. Demikian juga, kegiatan “membaca” alam raya ini telah menimbulkan penemuan-penemuan baru yang memberikan rahasia-rahasia alam, walaupun obyek bacaannya itu-itu juga. Ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh generasi terdahulu dan alam raya yang mereka huni, adalah sama tidak berbeda, namun pemahaman mereka serta penemuan rahasianya terus berkembang.
Allah menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah Swt, dalam mengajar manusia. Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah ‘Ilm Ladunniy.
Membaca dan Kesehatan Nafsani
“Dengan ilmu hidup menjadi mudah. Dengan agama hidup menjadi terarah. Dengan seni hidup menjadi indah”, demikian kata HA Mukti Ali.
Menurut Quraish Shihab (2022), dalam bukunya “Doa dalam Al-Qur’an dan Sunnah”, doa meraih ilmu tersebut di atas, kemudian dapat dilanjutkan, Allahumma infa’na bima ‘allamtana wa ‘allimna ma yanfa’una wa zidna ‘ilman. Allahumma iftah li abwab hikmatik wa unsyur ‘alayya min rahmatik wa umnun ‘alayya bi al-hifzh wa al-fahm. Subhanaka la ‘ilm lana illa ma ‘allamtana. Innaka anta al-‘alim al-hakim, Ya Allah, anugerahilah kami manfaat melalui apa yang ajarkan kepada kami dan ajarkanlah kami apa yang bermanfaat bagi kami dan tambahlah ilmu buat kami. Ya Allah, bukankanlah buatku pintu-pintu rahmat-Mu dan sebarkan pula bagi kami rahmat-Mu dan anugerahilah aku kemampuan menghafal dan daya pemahaman. Mahasuci Engkau, kami tidak memiliki pengetahuan kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Doa lainnya, Allahumma urzuqna min al-uqul awfaraha wa min al-adzhan ashfaha wa min al-a’mal azkaha wa min al-akhlaq athyabaha wa min al-arzaq ajzalaha wa min al-‘afiyah akmalaha wa min ad-dunya khayraha wa min al-akhirah na’imaha, Ya Allah anugerahilah kami akal yang sebanyak-banyaknya, kejernihan pikiran yang sebening-beningnya, aneka kegiatan yang sesuci-sucinya, akhlak yang seluhur-luhurnya, rezeki yang sebanyak-banyaknya, kesehatan sesempurna-sempurnanya, dunia yang baik darinya dan akhirat dengan kenikmatannya.
Kesehatan dan kesejahteraan adalah anugerah terbaik dari Allah kepada manusia, demikian tulis Hilmi al-Khuli dalam bukunya “Ash-shalatu wa Shihhatul Insan”, yang diterjemahkan dengan judul “Mukjizat Waktu & Gerakan Shalat” (2007), Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang hari itu ia diberi kesehatan dalam tubuhnya, ketentraman dalam hatinya, mempunyai makanan untuk setiap harinya, maka seakan-akan dunia telah diserahkan kepadanya” (HR Al-Bukhari dan Ibnu Majah)
Dalam periwayatan Imam Al-Turmudzi disebutkan “Rasulullah tidak pernah memohon sesuatu kepada Allah yang lebih disukai selain permohonan agar diberi kesehatan”.
Abdurrahman bin Abi Laila menceritakan (sebuah peristiwa yang didapatnya) dari Abu Darda’ (yang mengatakan), “ Saya berkata (kepada Rasulullah), ‘Wahai Rasulullah ! Sungguh bila aku sehat dan bersyukur lebih aku sukai daripada aku sakit dan bersabar”. Rasulullah bersabda, “Dan Rasulullah lebih suka apabila kesehatan selalu menyertaimu”.
Seorang Arab (dari kampung pinggiran) datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan bertanya, “Apakah yang penting aku mohon kepada Allah, setelah melaksanakan shalat lima waktu ?”. Rasulullah Saw. menjawab : “Mintalah kesehatan”. Kemudian Rasulullah mengulanginya dan berkata yang ketiga kalinya, “Mintalah kesehatan di dunia dan akhirat !”.
Sementara itu Abu Bakar Ash-Shidiq menyatakan : Rasulullah bersabda, “Mintalah keyakinan dan kesehatan kepada Allah. Tidaklah seseorang diberikan sesuatu yang lebih baik setelah keyakinan kecuali kesehatan”.
Kemaslahatan dan kehidupan seorang manusia tidak akan sempurna di dunia dan akhirat, kecuali dengan keyakinan yang bisa menghindarkan siksa akhirat dan kesehatan yang bisa menghalangi penyakit-penyakit di dunia l
Memang, “Kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak bermakna, health is not everything but without it everything is nothing”, demikian ujar Schopenhauer.
Kata pepatah, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Sayang, bahasa Indonesia kita miskin, hanya mengenal dua kosa kata yang berkaitan dengan kesehatan, yaitu sehat jasmani dan sehat rohani. Mestinya, sehat atau kesehatan meliputi, sehat jasmani (fisik), sehat nafsani (jiwa atau mental), sehat rohani (spiritual atau maknawi, berkaitan dengan etik, moral, akhlak), dan sehat mujtama’i (sosial).
Dampak hanya mengenal dua kosa kata itu, akibatnya pasien gangguan jiwa (gangguan nafsani) mendapat stigma (cap buruk) dan perlakuan diskriminatif, dilecehkan, diolok-olok, direndahkan, bahkan dibuang maupun dipasung karena dianggap memalukan keluarga. Perilaku yang bertentangan dengan sila ke-2 Pancasila, Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Menurut Kusumanto Setyonegoro, Guru Besar Psikiatri FK-UI, gangguan jiwa identik dengan penderitaan manusia (human suffering). Maka, gangguan jiwa berat (psikosis/ gila) merupakan puncak penderitaan manusia, mereka tidak bisa membela diri dan memperjuangkan nasibnya. Oleh karena itu, membela dan memperjuangkan nasib para pasien gangguan jiwa baik yang ringan apalagi berat, dalam bahasa agama adalah amal shaleh. Sebaliknya, melecehkan apalagi membuang atau tidak mengobatkan mereka merupakan amal salah !
Adapun penyebab gangguan jiwa adalah multifaktorial, faktor-faktornya : organobiologik, psikoedukatif, dan sosiokultural. Maka, imunisasi untuk mencegah gangguan jiwa hingga saat ini belum ditemukan. Oleh karena itu, gangguan jiwa bisa menimpa siapa saja, kapan saja, di mana saja. Gangguan jiwa bisa menimpa dari sinden sampai presiden, dari dekan sampai dukun, dari selebriti sampai politisi.
Adapun sakit rohani, seperti korupsi dianggap biasa-biasa saja. Bahkan ada koruptor dimakamkan di taman pahlawan. Ironis, itulah kenyataan yang terjadi. Bung Karno mengatakan tantangan yang dihadapi generasi beliau lebih mudah dihadapi karena musuhnya jelas, yaitu penjajah baik Belanda maupun Jepang. Tantangan yang dihadapi oleh generasi sesudah beliau lebih susah dihadapi, karena musuhnya bangsa sendiri, yaitu para koruptor !. Kata Lord Acton, “Kekuasaan itu cenderung korup, semakain absolut kekuasaannya semakin absolut pula korupsinya”.
Ada hal yang menarik, tampaknya ada kesamaan antara sakit nafsani taraf berat dengan sakit rohani taraf berat, yaitu mereka tidak mampu mawas diri atau insight (tilikan diri) jelek. Pasien gangguan psikotik tidak merasa dirinya sakit, bahkan mengatakan orang lain (dokter atau perawat) yang sakit. Demikian pula para koruptor, merasa baik-baik saja. Mereka manusia yang gagal menggunakan akal budi, akalnya hanya digunakan untuk mengakali dan akal-akalan. Maka, yang didapatnya hati zhulmani, hatinya tidak nurani, hatinya menjadi gelap. Jadilah manusia “gelap” !
Para nabi utusan Tuhan, dalam bahasa kesehatan, mendapat tugas untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan rohani umatnya. Para nabi adalah contoh konkret manusia yang tidak hanya sehat rohani. Para nabi telah mencapai taraf bugar rohani atau bugar spiritual yang dalam bahasa Inggrisnya, moral fitness (Madjid, 2015).
Contoh lain penyakit rohani. Merekayasa aturan-hukum agar lolos jadi caleg, cawapres, cabup atau cawalkot. Yang penting nekat dan konsisten, demi mengejar harkat “martabak”. Sedih. Kata Bung Hatta, “ Kurang pandai dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat diperbaiki dengan latihan. Kurang jujur susah diperbaiki !”.
Kedua Proklamator itu dikenal rakyat sebagai orang yang banyak membaca buku dan pembaca buku yang tekun. Bahwa membaca buku mendukung kesehatan mental atau kesehatan nafsani. Membaca buku saat anak-anak tidak sekedar meningkatkan kognisi yang meliputi proses menyerap pengetahuan, memahami, dan menganalisis. Hal ini juga membentuk pengalaman menyenangkan bagi anak yang yang mendukung kesehatan nafsani saat mereka remaja dan dewasa (Lestari, 2023).
Menurut Hesti Lestari (2023), Anggota Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI (ikatan Dokter Anak Indonesia), bahwa menumbuhkan minat baca pada anak pelu dilakukan sejak dini. Anak mulai belajar bahasa lisan ketika mendengar orang-orang di dekatnya berbicara, tertawa, dan bernyanyi.
Anak kemudian memahami bahasa tertulis saat mendengar orang dewasa membaca buku, koran, dan majalah. Pengalaman itu membangun memori menyenangkan yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Bahwa “Kebiasaan membaca saat anak-anak menjadi salah satu hal yang mempengaruhi kesehatan mental di masa depan”, katanya.
Lanjut Lestari, agar orang tua sebaiknya meluangkan waktu membacakan buku kepada anak. Setelah itu, membiasakan membaca bersama anak. Sebab, anak cenderung meniru kebiasaan orang-orang di dekatnya.
Aktivitas ini juga memperkuat ikatan emosional antara orangtua dan anak. Jadi, upaya menumbuhkan minat baca sejalan dengan membangun interaksi berkualitas dengan anak. Ujar Lestari, “Saat mendongeng, misalnya, anak merasakan itu sebagai pengalaman menyenangkan. Apalagi, kalau ceritanya memuat pesan-pesan moral, akan lebih baik lagi”.
Bahwa membacakan buku pada anak-anak sejak dini dapat meningkatkan skor kecerdasan atau IQ sebanyak enam poin. Sementara anak yang tidak diajak membaca cenderung mengalami keterlambatan pembelajaran di kelas.
Selain itu, kebiasaan membaca meningkatkan pengetahuan, empati, dan daya konsentrasi anak. Kemampuan membaca juga berkaitan dengan tingkat pendidikan suatu negara. Bahwa membacakan buku sejak dini bisa meningkatkan skill literatur dasar, perkembangan bahasa, dan keberhasilan akademis.
Upaya menumbuhkan minat baca memiliki sejumlah tahapan berdasarkan rentang usia anak. Anak usia 0-18 bulan, misalnya, diajak untuk meniru ucapan dan mencoba membalik halaman buku. Setelah itu, pada usia 18 bulan sampai 3 tahun, anak mengulang kalimat dari buku favorit atau yang disukai.
Saat anak berusia 3-5 tahun, orangtua mulai membacakan buku untuk anak. Kemudian mengajak anak untuk mencoba menulis huruf. Lestari menambahkan, keluarga merupakan panutan bagi anak dalam menanamkan kebiasaan membaca. Apalagi, anak usia 4-5 tahun menghabiskan 89 persen waktunya di rumah.
Menurut Piprim Basarah Yanuarso (2023), Ketua Umum IDAI, terdapat dua “kutub” orangtua di Indonesia dalam menumbuhkan minat baca. Pertama, tidak membudayakan membaca pada anak dan cenderung mendekatkan anak dengan gawai.
Kutub kedua, orangtua yang mengajarkan membaca pada anak terlalu dini. Padahal, sebaiknya dimulai dengan membacakan buku untuk anak sebelum mengajak anak membaca bersama. “Oleh karena itu, kita perlu pertengahan, bagaimana menumbuhkan minat baca dengan tahapan yang tepat, sehingga kemampuan literasinya meningkat”, ucapnya.
Membaca dan Refleksi Hasil PISA 2022
Abad XXI dikenal sebagai “Abad Otak, The Century of The Brain”. Hukum otak, gunakan atau hilang, use it or lose it. Jadi, perintah iqra’ sesungguhnya adalah cara atau jalan yang dianugerahkan Tuhan agar manusia terpelihara otaknya. Pada dasarnya potensi otak manusia di seluruh dunia itu relatif sama, sebagai wujud keadilan Tuhan. Otak suatu bangsa itu lebih unggul dari bangsa lain tergantung pada pembinaan SDM-nya. Dalam arti SDM adalah Sumber Daya Manusia, bukan dalam arti Selamatkan Diri Masing_masing.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia selalu mengatakan: “yang penting hatinya”, sambil jarinya menunjuk ke dadanya (padahal hati letaknya di rongga perut, rongga dada isinya jantung). Jarang atau sama sekali tidak pernah mengatakan: “Yang penting akalnya” atau “Yang penting nalarnya”. Kadang lupa ungkapan bijak: “Hati boleh panas, kepala tetap dingin”. Lupa, bahwa rumah sakit itu dapat berjalan dengan baik karena dipimpin oleh kepala rumah sakit, bukan hati rumah sakit. Demikian pula sekolah, dipimpin oleh kepala sekolah, bukan hati sekolah.
Bahkan, orang asing kadang ngeledek bangsa kita Indonesia, dengan mengatakan: “Mengapa bangsa Indonesia sulit maju? Karena mereka tidak pernah menghargai kepala”. Buktinya, ketika menyebut jumlah binatang yang disebut justru ekornya (misal, lima ekor kambing), bukan jumlah kepala binatang (mestinya lima kepala kambing).
Ironinya, baru ingat kepala ketika marah lalu memaki: “Ooo ndasmu”. Lupa petunjuk Tuhan, jika ingin disebut orang yang takwa, mampu menahan rasa dongkol dan suka memberi maaf (QS Ali Imran [3] : 134). Jadi, Tuhan memberi pesan agar menggunakan otak berpikir untuk mengendalikan otak emosi ! Reaksi otak emosi muncul seperempat detik, reaktif, spontan, tanpa mikir. Kalau berani hadapi (fight) atau lari (flight). Sedangkan reaksi otak nalar munculnya dua detik, orang akan membuat pilihan-pilihan, antara baik atau buruk, buruk atau lebih buruk, baik atau lebih baik.
Nabi berpesan, jika engkau marah segera berwudhulah. Waktu untuk berwudhu lebih dari dua detik, maka nalarnya pun akan dipakai. Kata orang bijak, musuh yang susah dikalahkan adalah diri sendiri.
Kesuksesan dengan ilmu pengetahuan, belum tentu membawa kita pada kebahagiaan abadi secara spiritual. Karenanya, sukses kita harus dilakukan dengan pertimbangan akhlak dan moral supaya meraih Rahmat Allah sebagai Ar-Rahim (sifat Allah yang Maha Kasih di Akhirat). Jangan mengulangi kesalahan kakek-nenek manusia, Adam dan Hawa, setelah diberi ilmu pengetahuan, mereka lupa batas, akhirnya terjatuh secara tidak terhormat. Ilmu pengetahuan tidak menjamin kebahagiaan abadi. Tetapi dengan iman saja, kita tidak bisa unggul di dunia ini. Harus ada iman dan ilmu (Madjid, 2015).
Lewat Kitab Suci, Allah melakukan pengajaran (transfer of knowlegde) dan pendidikan (transfer of values) kepada umat manusia. Slogan yang sudah lama dicanangkan kepada masyarakat kita, yakni seruan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sayang, selama ini kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah hanya menyangkut Fiqih. Sementara hal-hal yang prinsipiil yang langsung mempengaruhi masyarakat yang langsung menentukan bagaimana menampilkan kehidupan sosial dan politik tidak pernah dibicarakan (Madjid, 2015).
Menurut Harun Nasution (2001), dalam bukunya “Islam ditinjau dari berbagai aspeknya”, di kalangan masyarakat Indonesia terdapat kesan bahwa Islam bersifat sempit. Kesan itu timbul dari salah pengertian tentang hakikat Islam. Kekeliruan paham ini terdapat bukan hanya di kalangan umat bukan Islam, tetapi juga di kalangan umat Islam sendiri, bahkan juga di kalangan sebagian agamawan-agamawan Islam.
Kekeliruan paham itu terjadi, karena kurikulum pendidikan agama Islam yang banyak dipakai di Indonesia ditekankan pada pengajaran ibadah, fikih, tauhid, tafsir, hadis dan bahasa Arab. Oleh karena itu Islam di Indonesia banyak dikenal hanya dari aspek ibadah, fikih, dan tauhid saja. Dan itupun, ibadah, fiqih, dan tauhid biasanya diajarkan hanya menurut satu mazhab dan aliran saja. Hal ini memberi pengetahuan yang sempit tentang Islam.
Dalam Islam sebenarnya terdapat aspek-aspek selain dari yang tersebut di atas, seperti aspek teologi, aspek pengajaran spiritual dan moral, aspek sejarah, aspek kebudayaan, aspek politik, aspek hukum, aspek lembaga-lembaga kemasyarakatan, aspek misticisme dan tarekat, aspek falsafah, aspek ilmu pengetahuan, dan aspek pemikiran serta usaha-usaha pembaharuan dalam Islam.
Guru Besar Cairo University, Syaih Thanthawi menulis dalam tafsirnya, Al Jawahir, di dalam kitab Al-Qur’an terdapat 750 ayat Kauniyah, ayat tentang alam semesta dan hanya sekitar 150 ayat Fiqih. Anehnya, para ulama telah menulis ribuan kitab Fiqih. Tetapi nyaris tidak memperhatikan serta menulis kitab tentang alam raya dan isinya (Purwanto, 2017).
Lebih lanjut Agus Purwanto (2017), menulis dalam bukunya “Ayat-ayat Semesta, Sisi-sisi Al-Qur’an yang terlupakan”, selain disibukkan urusan Fiqih, pengalaman dan pengamalan keagamaan cenderung esoteris (sangat tidak biasa dan dipahami atau disukai oleh segelintir orang) dan meremehkan akal. Padahal secara emperis, akal sangat powerful. Al-Qur’an sendiri tidak kurang dari 43 kali menggunakan kata “akal” dan bentuk verba seperti afala ta’qilun “Apakah engkau tak berpikir ?”. Sepuluh ayat lainnya menggunakan verba “pikir”, la’allakum tafakkarun, “Agar engkau memikirkannya”. Teguran agar manusia menggunakan akalnya seoptimal mungkin. Menurut Madjid (2015), usaha harus dimulai dengan kesadaran tentang siapakah diri kita. Dengan penyadaran diri dahulu, kemudian kita maju ke depan ke kesadaran baru.
PISA atau Programme for International Student Assessment ini diselenggarakan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Secara berkala mengevaluasi ketrampilan dan pengetahuan siswa berusia 15 tahun di berbagai negara di seluruh dunia. PISA mengukur kemampuan siswa dalam membaca, matematika, dan sains. Tujuan utamanya adalah untuk mengevaluasi efektivitas sistem pendidikan nasional dan memberikan wawasan tentang perbandingan antara sistem pendidikan di berbagai negara. PISA yang dilakukan OECD tersebut sudah memasuki siklus ke delapan (pertama tahun 2006), guna menentukan apa yang penting untuk diketahui dan dapat dilakukan oleh warga negara.
Berdasarkan lembar fakta hasil PISA 2022, Indonesia masih rendah dalam pencapaian skor kecakapan membaca, matematika, dan sains. Menurut Indra Charismiadji (2023), praktisi pendidikan, penurunan skor PISA mencerminkan krisis pembelajaran di Indonesia parah. Hal ini harus diatasi secara serius dan berkelanjutan.
Mengacu pada hasil survei PISA yang diumumkan 5 Desember 2023, secara global skor kemampuan membaca, matematika, dan siswa berumur 15 tahun di 81 negara turun, termasuk Indonesia.
Jika melihat pencapaian skor PISA Indonesia sejak ikut pertama kali tahun 2000 hingga 2022, skor PISA 2022 terendah, terutama dalam hal membaca (359), pernah terendah pada tahun 2000 dan 2018 (371). Demikian juga skor matematika (366), terendah tahun 2022 (360). Adapun sains (383) relatif stabil.
Menurut Iwan Pranoto (2023), Guru Besar Institut Teknologi Bandung, dalam mereflesikan hasil PISA , bukan peringkat yang penting, melainkan skor Indonesia. Dari PISA 2022, baru 18 persen siswa Indonesia mencapai level dua dalam matematika, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara OECD, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, sekitar 69 persen.
Untuk Singapura yang ada di urutan pertama PISA 2022 bisa mencapai 85 persen, level 5 atau 6 mencapai 41 persen. Hampir tak ada siswa Indonesia terbaik dalam matematika atau level 5 atau 6. Rata-rata OECD 9 persen.
Menurut Sutrisna Wibawa (2023), Ketua Dewan Pendidikan DIY. Guru Besar UST dan UNY, untuk tingkat DIY,warga DIY masih boleh berbangga, karena penurunannya tidak sedrastis rata-rata nasional. Kemampuan membaca dari hasil 2018 sebesar 411 turun menjadi 401, kemampuan matematika dari hasil 2018 sebesar 422 turun menjadi 408, dan kemampuan sains darei hasil 2018 sebesar 434 turun menjadi 420. Hasil DIY ini merupakan nilai tertinggi se-Indonesia, saingan ketatnya adalah DKI dengan hasil kemampuan membaca 394, kemampuan matematika 396, dan kemampuan sains 409.
Pandemi ternyata berkorelasi negatif pada perolehan nilai PISA di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, baik dalam bidang membaca, matematika, maupun sains. Pandemi memang datangnya tiba-tiba tanpa ada persiapan sama sekali, dan kita merasakan hilangnya pembelajaran pada tahun 2021, saat terjadinya pandemi hebat. Tahun 2022 baru bisa menemukan bentuk pembelajaran daring dan campuran daring dan luring. Akhirnya tahun akademi 2022/2023 telah berlangsung pembelajaran secara luring penuh.
Kata pepatah “Tidak ada gading yang tak retak”. Menurut Andreas Schleicher (2023), Direktur Directorate of Education and Skills OECD, meski secara akademik siswa Indonesia tertinggal, dukungan bagi siswa untuk belajar dinilai positif. Siswa indonesia menunjukkan rasa memiliki kuat di sekolah. Sekitar 87 persen siswa di Indonesia mudah berteman di sekolah (rata-rata OECD 76 persen) dan 86 persen merasa diterima di sekolah (rata-rata OECD 75 persen).
Ketika banyak siswa di negara OECD mengaku tak puas dengan kehidupan mereka, sebaliknya di Indonesia merasa puas. Di Indonesia, 4 persen siswa merasa tidak aman di sekolah, sedangkan banyak di negara lain hampir dua kali lipat.
Keterlibatan orangtua dalam pembelajaran di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain. Pada 2022, ada 43 persen siswa di Indonesia berada di sekolah yang kepala sekolahnya melaporkan pada tahun ajaran sebelumnya setengah dari seluruh keluarga mendiskusikan kemajuan anak mereka dengan guru atas inisiatif mereka (49 pesen atas inisiatif guru). Ujar Andreas, “Siswa Indonesia mendapat banyak dukungan dari guru selama pandemi. Ini penting. Teknologi tak bisa menggantikan perhatian guru. Pembelajaran bukan transaksional tapi pengalaman relasional sosial”.
Menurut Nurcholish Madjid (2015), sekalipun dari segi batin, segi rohani, umat Islam masih berhak menyatakan diri mereka adalah paling unggul di muka bumi karena potensi ajarannya yang sangat konsisten, sangat fitri, sangat alami, dan sangat cocok dengan pembawaan asli kemanusiaan termasuk rasionalitas. Kalau kita menyadari hal itu, maka kita menyadari hidup harus ditempuh dengan kesungguhan, penuh tanggung jawab sebab hidup ini tidak hanya ada asal dan tujuannya. Beriman kepada Hari Kemudian merupakan penegasan tentang tujuan hidup ini, di mana ada pertanggungjawaban, dan bersifat pribadi, dan tidak ada pertanggungjawaban kolektif.
Ketika kita merasa telah menjadi orang-orang yang beriman dan melakukan kewajiban-kewajiban formal, namun janji Allah tidak datang, maka berarti ada sesuatu dari unsur Sunnatullah yang tidak kita penuhi. Itulah yang harus kita cari sehingga kita akan memperolah Rahmat dari Allah yang tidak hanya sebagai Rahim, tetapi sebagai Rahman (Maha Kasih tanpa pilih kasih, biarpun hamba-Nya kafir, Allah tetap kasih kepada mereka). Ini sesuatu yang penting kita renungkan dengan baik dan tentunya hal itu tidak mudah kita capai. Namun demikian, kita diperintahkan oleh Allah untuk selalu berusaha atau Mujahadah (berusaha sungguh-sungguh).
Apabila kita berusaha sungguh-sungguh maka Allah akan menunjukkan berbagai jalan yang tidak hanya satu. Tidak satu jalan keselamatan, tetapi banyak. Tidak sabil tetapi subul. Inilah yang harus kita cari, sekaligus inilah yang harus kita usahakan setiap hari dengan mencurahkan seluruh dana dan daya kita. Umumnya umat Islam hanya sampai pada beribadah, tetapi tidak berpikir. Oleh karena itu, banyak sekali kehilangan unsur-unsur Sunnatullah yang membuat mereka kehilangan realisasi dan janji-janji Allah yang telah disebutkan dalam Kitab Suci.
Akhirnya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum (perubahan sosial bukan perubahan individu) sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS Ar-Ra’ad [13] : 11).