Pesan Kakek untuk Sang Presiden
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Wakil Sekretaris LPCRPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Lebaran Idul Fitri 25 September 1976 adalah momen paling menyedihkan bagi eyang Margono. Ketika anak-anak dan cucu-cucu berkumpul dengan gembira di rumah sambil menikmati hidangan khas lebaran, ada satu cucunya yang absen. Ia sedang bertugas di medan juang, Timor Timur. Pagi itu, terasa ada yang mengganjal di hati. Ia membaca surat yang terkirim dari jarak yang cukup jauh. Berikut cuplikan surat itu;
“Eyang, pada hari raya Idul Fitri ini saya tidak ada di lingkungan keluarga. Maafkanlah segala kesalahan saya. Salam dari medan juang. Kami sudah lebih dari satu bulan berada di pegunungan. Tugas kami lumayan juga beratnya. Tiap jengkal tanah kami rebut dengan tetesan darah, keringat dan air mata……..”
Air mata eyang menetes, membasahi pipinnya. Hatinnya pilu, tubuhnya terasa lemas. Ia hanya bisa membayangkan betapa kontras antara kegembiraan yang tengah ia rasakan, dengan suasana batin cucunnya yang berada jauh di ujung Indonesia. Betapapun tegar batinnya, kesedihan itu tidak mampu ditutupi. Ia terpaksa pamit dari kerumunan keluarga, masuk kamar lalu menangis untuk menenangkan diri selama beberapa menit.
Apakah pembaca tahu siapa eyang Margono itu? Siapa pula cucu yang menulis surat permohonan maaf di hari raya idul Fitri? Ia adalah R. M. Margono Djojohadikoesoemo, (16 Mei 1894 – 25 Juli 1978), Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), di masa Kabinet Presidentil Soekarno dan Hatta. Adapun cucu yang membuatnya sangat sedih itu adalah Prabowo Subianto, Presiden Indonesia ke 8. Saat itu, ia adalah seorang perwira Kopassus yang sedang ditugaskan dalam operasi militer di Timor Timur.
Saya membaca kisah itu dalam tulisan Margono Djojohadikoesoemo di sebuah buku lawas berwarna kuning tipis berjudul MANUSIA INDONESIA (Sebuah Pertanggungjawaban), Ceramah Mochtar Lubis, 6 April 1977. Tulisan itu juga telah dimuat di Harian Kompas, 13 Mei 1977. Hal. IV/3-7;IX/1. Sejatinya tulisan tidak untuk mengisahkan cerita keluarga. Tema yang dibahas adalah tentang; Feodalisme, New Feodalisme, Aristokrasi, sebagai tanggapan atas ceramah Mochtar Lubis.
Nukilan surat cinta dari seorang cucu yang sedang tugas di medan juang itu disampaikan untuk menegaskan, bahwa tidak semua manusia Indonesia itu memiliki sifat seperti yang digambarkan oleh Mochtar Lubis; hipokritis/munafik, enggan bertanggungjawab, feodal, percaya takhayul, lemah, dan tidak hemat. Menurut Margono, ada manusia Indonesia yang tetap berusaha memegang teguh prinsip ”sepi ing pamrih, rame ing gawe” (sepi dari pamrih/keuntungan pribadi dan ramai dalam bekerja), seperti yang tengah dijalani oleh cucunya yang tengah ditugaskan di medan juang.
Watak Kestaria
Dalam tulisan itu, saya memiliki kesan bahwa eyang Margono juga sangat mengagumi kepribadian seorang prajurit bernama D’ Artagnan dalam cerita roman berjudul ”De drie Musketiers” (Tiga Prajurit yang Gagah Berani), karya pujangga Perancis Alexander Dumas, 1802-1870. Dia adalah pemuda keturunan bangsawan miskin dari Perancis Selatan. Ketika D’ Artagnan meminta izin dari orang tuannya untuk mengabdi pada Raja Lodewijk XIV dan bergabung dengan pasukan khusus ”Drie Musketiers”, ayahnya berpesan:
”Silahkan pergi melakukan kewajibanmu sebagai seorang bangsawan. Kamu tahu ayahmu miskin. Aku hanya memberi bekal kuda tua dan kata-kata untuk pegangan hidupmu, yaitu noblesse oblige”.
Noblesse Oblige arti kasarnya kira-kira adalah; ”sebuah kode etik orang mulia (berpengaruh dan apalagi berkuasa) terikat pada kewajiban moral untuk menggunakan posisi sosialnya untuk membantu orang lain”
Eyang Margono mengaku bahwa dirinnya juga seorang keturunan bangsawan miskin dari Banyumas. Ketika usiannya baru 13 tahun, ia harus meninggalkan kota kecil Banyumas untuk sekolah di Osvia Magelang. Ayahnya selalu memberi pesan lewat nyanyian dhandang gula. Sebuah sajak yang selalu dinyanyikan dengan suara merdu, baitnya seperti ini;
”Seorang Kesatria utama harus menjauhkan diri dari sifat congkak. Dalam kesukaran apapun tetap tabah menjunjung tinggi darmannya sebagai manusia utama”.
Margono memiliki seorang putra bersama Sumitro. Keduannya sama-sama bernama belakang Djojohadikoesoemo. Keduannya sudah lama wafat. Jika arwah keduannya bisa melihat dari atas langit, mereka pasti bangga menyaksikan prestasi cucu dan anaknya yang kini menjadi Presiden Indonesia ke 8. Cerita patriotik yang pernah ia tulis puluhan tahun silam itu kandungan pesannya tidak pernah lekang dimakan waktu.
Akhir Yang Baik
Terkait dengan kinerja presiden, saya belum akan mengkritiknya. Izinkan saya menyoroti tentang pola kerja yang telah dijalani oleh pemimpin-pemimpin Indonesia sebelumnya. Misalnya, untuk mengatasi masalah kemacetan di Indonesia, alih-alih menyelesaikan akarnya. Para penyelenggara negara lebih memilih untuk menggunakan jasa polisi dan tentara, menggunakan kendaraan bersirine, lalu rakyat disuruh minggir sehingga mereka bisa lewat dengan leluasa. Sementara kemacetan tetap diabaikan karena dirinnya merasa sudah merasa selamat dari dampaknya. Contoh masalah ini sudah puluhan tahun terjadi.
Ke depan, semoga saya tidak menjumpai lagi kejutan-kejutan yang pernah saya saksikan dalam kabinet-kabinet terdahulu. Mulai dari penggalakan program 100 hari, aksi masuk gorong-gorong, hingga aksi menteri yang lompat pagar rumah penampungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal di Jalan Asem Baris Raya. Mungkin, aksi-aksi itu diniatkan untuk memberikan kejutan awal. Apesnya, setelah 100 hari semua lupa. Ingatan publik teralihkan oleh propaganda lain yang lebih menarik perhatian. Akibatnya, kita selalu berkutat pada masalah yang itu-itu saja.
Sebagai warga, saya lebih berharap kabinet ini bekerja secara sebaliknya. Tetap konstan, istiqomah pada niat baik, aturan dan kebijakan yang sudah digariskan secara benar. Dalam peristiwa yang pernah saya lewati, kejutan-kejutan di awal pemerintahan itu pada akhirnya hanya menyisakan kekecewaan yang pedih menyakitkan.
Alangkah indahnya jika puncak kejutan baik itu terjadi di akhir masa pemerintahan. Akhir yang baik, tentu menjadi dambaan semua orang, baik rakyat ataupun (lumrahnya) para penyelenggara negara. Kenangan manis yang membahagiakan, akan terasa menjadi kejutan indah yang tak akan terlupakan.
Menjaga Marwah
Kakek-nenek, bapak-ibu Prabowo Subianto telah terbukti berhasil mendidik salah satu cucu dan anaknya hingga menjadi presiden. Sekarang, saatnya sang presiden memiliki tugas yang jauh lebih berat dari yang pernah diemban oleh para pendahulunya. Sebagai presiden, dia didaulat menjadi ”kakek dan bapak” dari ratusan juta anak-anak Indonesia. Dia harus berjuang tanpa kenal lelah untuk menjadikan anak-anak Indonesia mampu meraih kesuksesan seperti yang telah dicontohkan oleh bapak dan kakeknya dulu.
Saya berharap, presiden Prabowo Subianto tidak perlu berhasrat untuk membuat kejutan-kejutan semu di awal pemerintahannya. Menjaga konsistensi dan merawat kesetiaan pada niat baik dan kebijakan yang sudah ditetapkan, tetaplah utama. Menjaga marwah keluarga, berarti selalu mengingat dan menjalani nasehat para pendahulu dengan sepenuh hati. Menjadi seorang kesatria sejati, berarti harus rela berkorban untuk mendahulukan kepentingan banyak, selalu menepati janji, bersikap rendah hati dan selalu ingat bahwa kekuasaan itu berbatas.