YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sehari menjelang Milad Muhammadiyah ke-111, Pimpinan Pusat Muhammadiyah melangsungkan Global Forum for Climate Movement selama dua hari di Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Forum kali ini mengundang para ahli dari beberapa negara yang memiliki konsen pada perubahan iklim global yang semakin nyata. Sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, Muhammadiyah telah menaruh perhatian khusus pada isu pemanasan global sejak dua dekade terakhir, tepatnya pada Muktamar Muhammadiyah di Makassar.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan kondisi dimana ekosistem dunia yang termasuk di dalamnya temperatur bumi naik secara signifikan. Akibatnya bumi mendidih. Sehingga berdampak kepada perubahan ekosistem secara luas. Jika manusia tidak segera mengambil langkah konkrit untuk mengatasi permasalahan tersebut, tentu akan membawa mereka pada ancaman kematian dan kiamat di seluruh ekosistem kehidupan. Situasi ini membawa dampak kepada apa yang disebut dengan istilah pertaruhan peradaban masa depan umat manusia.
“Kita hidup di era antroposen. Di mana manusia modern melakukan segala aktivitas tanpa memiliki kesadaran untuk merawat alam dan ekosistem. Kerusakan pun terjadi di mana-mana. Hal ini merupakan akumulasi dari seluruh alam pikiran dan perilaku serta kebijakan ekonomi-politik setiap negara dan bangsa. Manusia berlomba-lomba melakukan eksploitasi terhadap alam,” ujarnya saat membuka Global Forum (17/11).
Dalam menghadapi problem semacam ini, bumi memerlukan manusia yang melihat perubahan iklim sebagai paradigma global yang perlu dicarikan solusi dalam upaya menyelamatkan kehidupan. Ketika manusia mengeksploitasi alam dengan kerakusan, tentu terdapat paradigma yang salah dalam kontruksi alam pikiran manusia modern yang hidup di era antroposentris.
Era antroposen adalah era di mana umat manusia begitu dominan dan berkuasa atas alam. Karena begitu dominannya manusia modern, Harari mengasumsikan bahwa akan ada suatu proses yang masif dimana manusia modern menjelma menjadi manusia setengah dewa. Manusia jenis ini bukan hanya mampu dan bisa mengeksploitasi alam dengan segala kerakusannya, tapi juga dapat melakukan eksploitasi kepada manusia yang lain karena ambisi politik dan ekonomi. Bahkan mereka tak ragu menciptakan hegemoni melalui perang dan agresi dengan tujuan mengeruk keuntungan materi sebesar-besarnya.
“Manusia jenis ini adalah manusia Homo Dies yang menciptakan paradigmanya sendiri. Ia merasa digdaya dan berkuasa, bahkan berani menihilkan peran Tuhan,” ujarnya.
Haedar menambahkan, Muhammadiyah sebagai bagian dari kekuatan yang ingin menyembuhkan semesta, akan terus berkomitmen melakukan usaha perubahan dan sekaligus melakukan langkah-langkah relevan untuk memecahkan masalah perubahan iklim. Dengan segala dampak ekosistem yang terjadi dewasa ini, menurutnya diperlukan perubahan paradigma dari antroposentrisme menjadi teoantroposentrisme. Atau bisa disebut paradigma profetik dimana agama hadir memberikan kerangka nilai dan etika kepada manusia dari tingkal lokal hingga global.
“Paradigma ini menjadikan agama sebagai kompas bagi manusia. Agar manausia memiliki pandangan, sikap, dan orientasi tindakan, bahwa ia tidak hidup sendiri. Bahwa ia hidup bersama orang lain. Bahwa alam semesta bernama bumi adalah satu-satunya planet tempat manusia tinggal yang harus dijaga,” tegasnya.
Menurutnya pandangan semacam ini hanya ada pada manusia dan bangsa yang bertuhan, apapun agamanya. Oleh karena itu Muhammadiyah melalui forum yang penting tersebut ingin mendeklarasikan pandangan yang bersifat profetik atau teoantroposentris. Pandangan yang melihat langit dan bumi berada dalam satu kesatuan, dan manusia diharapkan mampu menterjemahkannya dalam perspektifnya sebagai sang khalifah di bumi. (diko)