YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Saya termasuk orang yang percaya dengan kata-kata dari salah seorang presenter dan sekaligus jurnalis perempuan Indonesia, Najwa Shihab. Dalam beberapa kesempatan ia pernah mengatakan sesuatu yang intinya, jika sebuah gerakan atau organisasi tak lagi memiliki relevansi dengan dunia anak muda, yang perlu ditunggu hanyalah kehancurannya. Hukum ini berlaku untuk gerakan dan organisasi mana saja, tak terkecuali Muhammadiyah yang menyandang status sebagai ormas Islam terbesar dan sekaligus terkaya di dunia.
Merespon tentangan tersebut, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam penutupan Pengajian Ramadan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta menegaskan pentingnya proses kaderisasi dalam upaya menjaring kader-kader berkualitas. Kader yang dimaksud Haedar adalah mereka yang memiliki kualifikasi mumpuni dalam berbagai bidang. Mereka perlu dipersiapkan untuk merebut narasi dan sekaligus mengisi sektor-sektor strategis dalam kehidupan keumatan, berbangsa dan bernegara.
Menurutnya, kaderisasi memiliki peran yang sangat vital bagi masa depan Muhammadiyah. Mengambil contoh dari era keemasan Islam, peradaban-peradaban besar pada waktu itu digerakkan oleh mereka yang memiliki peran strategis. Mereka adalah para elit strategis yang berprofesi sebagai ilmuwan yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Tak hanya itu, dalam perjalannya sebagai sarjana Muslim yang disegani, mereka ditopang oleh pengaruh politik yang kuat dari penguasa yang memerintah saat itu.
“Jika kita ingin menguasai masa depan sebuah bangsa, kita harus melahirkan elit-elit strategis di berbagai bidang,” ujar Haedar (9/3).
Merujuk pada sejarah panjang tersebut, urgensi dari tema “Transformasi Kader Untuk Kemakmuran Bangsa” seperti menemukan kembali relevansinya. Tentang apa saja kualifikasi kader yang dibutuhkan oleh Muhammadiyah di masa mendatang dan bagaimana proses pembentukan kader berkemajuan, agar misi memakmurkan umat dan bangsa dapat segera terwujud.
Haedar menambahkan, mencetak kader bukan sesuatu yang bisa dilakukan dalam waktu singkat. Berkaca kepada Jepang. Sebagai negara yang kalah dalam Perang Dunia II, negeri para samurai itu melakukan dua hal agar bisa bangkit dari keterpurukan. Pertama, melakukan reformasi pendidikan. Mengumpulkan dan melatih para guru. Memastikan mereka mampu mengajar sesuai dengan standar baru. Kedua, memperkuat peran agama lokal di Jepang. Meskipun Jepang secara resmi menganut sekularisme pasca perang, agama lokal seperti Shinto tetap memainkan peran penting dalam budaya dan kehidupan masyarakat Jepang.
“Kita harus terbiasa berpikir dengan tradisi besar,” ujarnya, belajar kepada Jepang.
Bagi Haedar, transformasi dalam bidan perkaderan merupakan proses dinamis. Sehingga diperlukan sebuah rekontruksi ulang agar umat Islam yang selama ini bermental terjajah dapat keluar dari keterjajahan. Oleh sebab itu Muhammadiyah mendirikan sekolah modern yang menggabungkan antara sistem pesantren tradisional dengan sekolah umum ala Barat.
Melalui lembaga pendidikan yang terintegrasi inilah KH Ahmad Dahlan dan generasi awal Muhammadiyah mengkontruksi kembali ajaran Islam yang selama ini disalahpahami. Menurut KH Ahmad Dahlan, Islam bukan hanya sekedar hafalan, tapi juga menitipberatkan pada pemaknaan dan pengamalan.
“Kader-kader kita harus belajar ilmu secara khatam dan tidak berhenti belajar,” tegasnya.
Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY Arif Jamali Muis dalam hal ini menawarkan model baru perkaderan di Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah perlu menerapkan model kaderisasi yang bersifat egaliter, partisipatif dan horizontal. Bukan lagi model kaderisasi yang hierarkis dan vertikal. Kedua, pembinaan kader Muhammadiyah disesuaikan dengan ekosistem dan lingkungan sosial yang sudah ada. Misal, jika Muhammadiyah melakukan kaderisasi kepada peminat olahraga, maka nuansa kaderisasinya dibawa ke sana.
Ketiga, program kaderisasi Muhammadiyah harus berkelanjutan. Kaderisasi Muhammadiyah diproyeksikan bukan hanya untuk melahirkan pengurus, namun juga pemimpin. Dalam pola ini harus ada penjenjangan dalam kaderisasi Ortom. Keempat, program kaderisasi di Muhammadiyah sudah harus membangun sistem yang terintegrasi dengan dunia digital dan kecerdasan artifisial. Hal ini dibutuhkan untuk mengelola, memantau, dan mengoptimalkan proses kaderisasi. (diko)