Permohonan Maaf Dibalik Retakan
Cerpen Syakira Vita Sasmya
Didalam sebuah pesantren dipelosok Jawa, tempat para santrinya merajut mimpi, masa depan, dan membangun harapan indah.
Jia termasuk dalam santri-santri tersebut. Setelah merantau jauh dari Sumatera, langkahnya berhenti di Jawa. Kini, ia menjalani hari-hari sebagai seorang santriwati. Tak sendiri, ia bersama dua sahabatnya, Ana dan Sania. Bersama-sama, mereka mengarungi lautan ilmu dan menjelajahi dunia yang belum pernah mereka jamah.
Mentari pagi menyapa Jia, sinar hangat menyentuh lengannya. Namun, suasana hatinya sedang buruk, padahal hari ini adalah hari libur yang ditunggu-tunggunya. Ia meringkuk dipojok kamar, merengkuh kedua lututnya, mukanya diembuni air mata.
Ia teringat pada kejadian tadi subuh, ketika ia sedang menyetorkan hafalan Al-Qur’an nya. ‘Bunda, tadi Jia kena semprot sama Bu Dija, setoran setengah jam nggak lancar-lancar...’ batin Jia seakan sedang berkeluh kesah pada bundanya. Tangannya tak henti-henti mengusap pelupuk mata.
Tiba-tiba, seseorang tak sengaja menyenggol lengan Jia. “Eh- Ji? Kamu kenapa?” Tanpa pikir panjang, Sania segera duduk didekatnya, lalu mengelus punggungnya perlahan. “San.. kok aku nggak lancar-lancar ya..?” ujar Jia pelan. Sania langsung mengerti apa yang dirasakan Jia saat ini. Bukan pertama kalinya ia menemukan sahabatnya ini meringkuk di kamar, tidak ikut bergabung dengannya dan Ana.
“Ji, maaf ya, aku cuma bisa mendengarkan dan mungkin ngasih kamu motivasi aja. Kalau butuh sesuatu, ada aku sama Ana disini ya?” Mendengar Sania menyebut nama sahabatnya, Ana, membuat Jia terdiam seribu bahasa. Matanya menelusuri seisi kamar, lalu menemukan Ana sedang bersendau-gurau dengan teman-teman sekamarnya. Ana tampak tak berhenti tertawa. Rautnya menggambarkan kebahagiaan, dan senyumnya terus merekah.
Lalu, dipikiran Jia terbayang seseorang. Sosok itu adalah seorang gadis remaja, berkacamata, dan gadis itu tersenyum manis. Itu adalah Ana, gadis yatim-piatu yang tahun ini akan mengikuti khataman 30 juz. Tangis Jia semakin menjadi. Rasa kecewa dan iri berkecamuk dalam dirinya. “San.. kok aku nggak selancar Ana? Kok aku tertinggal sejauh itu? Kenapa…?” Sania memandang Jia dengan wajah kebingungan. Bingung bagaimana hendak menenangkan Jia.
“Jia, proses setiap orang itu berbeda-beda, pelan tapi pasti, kamu juga pasti bisa seperti Ana,” Jia lalu terdiam.
‘Krucuk krucuk krucuk’, suara perut Jia memecah hening diantara mereka berdua. “Nah kan, kamu tuh kebiasaan moodnya jelek karena lapar, makan dulu yuk?” Sania yang sudah beranjak mengulurkan tangannya. Mereka pun berjalan menuju kantin.
-
“Jia, tunggu disini ya, aku beli bakso dulu!” Sania berlari kearah kedai bakso. Sedangkan Jia menunggu di sebuah bangku dipojok kantin. Jia melamun sambil menopang dagu, mengamati riuhnya kantin di hari libur. Tak lama, seseorang menghampiri bangku yang disinggahi Jia. “Hai Ji! Aku duduk disini boleh kan?” Ana duduk diseberang Jia sambil tersenyum kearahnya. “Boleh kok,” jawab Jia sambil tersenyum tipis.
“Oh iya, tadi nangis kenapa? Kalau ada sesuatu cerita ya Ji, jangan dipendam sendiri..” Ana mengelus punggung tangan Jia. ‘Apasih, sok asik banget An- eh, istighfar Jia… ini Ana! Dia nggak pernah jahat sama kamu, jangan lancang gitu!’ Batin Jia memperingati dirinya sendiri.
“Ji? Melamun kah?” Ana melambaikan tangannya didepan wajah Jia. “Eh, enggak. Nggak papa kok,. Iya, Insya Allah aku usahain buat cerita ya,” Ujar Jia sembari beranjak dari duduknya.
“Mau kemana? Sania bentar lagi kayanya sampai loh?”, “Enggak papa, lagi nggak lapar. Duluan ya, Na,” Jia lalu berlalu melwati bangku-bangku yang ada dikantin. Ia berjalan kembali ke gedung asrama.
Di jalan, matanya tak berhenti memandangi langkah kakinya. Kepalanya terus menunduk bak daun layu. Tangannya meremas kuat ujung tunik merah mudanya. Langkahnya semakin cepat, melewati beberapa kamar.
Lalu tibalah Jia didepan pintu kamarnya. Ia mendorong pintunya agak keras, lalu berlari menuju ranjangnya. Tangannya meraih sebuah buku yang terselip diantara tumpukan bantal dan selimut. Itu adalah buku diarinya. Jia biasa menulis apa yang dirasakannya dalam sebuah buku berwarna hijau tua itu.
Ia meraih sebuah bolpion hitam dari nakas, lalu mulai mencoret buku diarinya. Bolpion itu menari diatas berlembar-lembar kertas, hingga tangan Jia mulai lelah. Perlahan, ia letakkan kembali barang-barang itu pada tempatnya, lalu tertidur nyenyak.
-
Tak sadar, Jia tertidur hingga waktu asar tiba. Batinnya yang kelelahan membuatnya tertidur sangat nyenyak, hingga tak sadar adzan sudah berkumandang dari masjid-masjid terdekat.
Ana memasuki kamar hendak mencari mukena. Matanya menangkap sosok Jia sedang meringkuk diatas ranjangnya. Ana segera mendekati Jia, hendak membangunkannya untuk melaksanakan salat asar.
“Ji, Jia? Bangun yuk, sudah asar. Salat dulu,” ujar Ana, tangannya menggoyang-goyangkan lengan Jia perlahan.
“Jia? Ji?” “Hmm.. bentar ah, Ana cerewet banget..” jawab Jia malas sambil menepis tangan Ana. Tak menyerah, Ana terus gigih membangunkan Jia. Hingga akhirnya ia kewalahan, lalu meninggalkannya. “Yasudah deh, Jia malas salat. Jangan lupa segera salat ya, keburu iqomah,” Ana lalu keluar dari kamar, segera menuju mushola.
Selang beberapa menit, Jia baru membuka matanya. Ia menggeliat diatas ranjangnya. Lalu ia mendudukkan dirinya, masih terbalut selimut. “Jam berapa sih ini?” Jia mengeluh kesal, lalu ia menengok kearah jam diatas pintu kamar. Jarum pendek sudah menunjuk ke angka 4. Mata Jia melotot lebar. Ia berlari kearah jendela, lalu menyibak tirainya. Tampak langit berwarna oranye keemasan.
“Astaghfirullah! Aku telat jamaah!” Jia segera berlari menuju mushola. Tampak mushola sudah tak berpenghuni. Saat ini, biasanya teman-temannya sedang jajan di kantin, lalu bermain di taman. Jia semakin panik menyadari tak ada temannya yang tersisa di mushola, lalu segera berlari kembali ke kamar, hendak melaksanakan salat asar di kamar saja.
Di jalan, ia tak sengaja berpapasan dengan salah satu pengurus asramanya, bu Dija. Jia berusaha bersikap tenang, lalu melewati beliau sambil tersenyum tipis.
“Jia? Kesini sebentar.” Panggil bu Dija yang berhenti tiba-tiba. Jia yang sudah bernafas lega, kembali berwajah pucat. “Iya.. bu?” Tanya Jia takut-takut. Ia sudah pasrah jika nanti ia dihukum karena melewatkan salat berjamaah.
“Kok saya tidak melihat kamu saat salat asar? Kamu bukannya sedang tidak berhalangan?” Bu Dija menghujani Jia dengan beberapa pertanyaan. Mau tak mau, ia mengaku dengan berat hati pada bu Dija. “Iya bu, maaf, saya tadi tidak berjamaah salat asar karena ketiduran,” jawab Jia pelan. Ia terus menunduk memperhatikan kedua sandalnya.
“Jia, Salatlah dulu dikamar, lalu silahkan sapu halaman depan asrama setelahnya,” ucap bu Dija. Jia pun mengangguk lemas. Sudah ia duga. Ia pun berpamitan pada bu Dija, lalu segera menuju kamar.
-
“Ji? Habis dari mana?” tanya Sania yang sedang duduk diatas ranjang Jia. Ia dan Ana menunggu Jia di kantin, namun batang hidungnya tak kunjung nampak. “Sudah salat asar?” tanya Ana sambil menyeruput sekotak susu, saat melihat Jia memasuki kamar. Jia yang sudah malas menanggapi, segera menuju tempat wudhu.
Tak lama, ia segera kembali dan melaksanakan salat asar sambil terus diperhatikan oleh sahabatnya, terutama Ana. Ia masih heran mengapa Jia tampaknya kesal saat dibangunkannya.
Usai salat asar, Jia langsung keluar kamar setelah melepas mukenanya dan melemparnya kearah lemari. Ia melangkah cepat kearah halaman.
-
Jia menarik nafas lega. Ia kini terduduk di depan asrama, dengan sapu ijuk disebelahnya. Ia baru selesai menyapu menjelang maghrib. ‘Ck, ini semua gara-gara Ana. Ana terus!’ batin Jia lebih kesal. Ia menyalahkan hukumannya pada Ana, tanpa teringat kejadian tadi siang saat Ana sudah berusaha membangunkannya. Sambil terus menggerutu, ia berjalan kembali ke kamar.
Saat sampai, ia tak menemukan teman-temannya dikamar. ‘Mungkin mereka lagi wudhu’ pikir Jia. Ia pun merehatkan dirinya sejenak sebelum mengambil wudhu.
Tak sengaja, ia melihat kacamata milik Ana yang diletakkan diatas nakas. Jia lalu mengalihkan pandangan. Kembali teringat bahwa seharian ini ia telah dibuat kesal oleh Ana.
Tiba-tiba, sebuah rencana keji terlintas di benaknya. Namun, ia mersa ragu, nuraninya berkata tidak. Ia menggeleng-geleng.
Sayangnya, ia tak kunjung beranjak untuk mengambil wudhu. Ia malah terus menimang-nimang, sebaiknya ia menjalankan rencana itu atau tidak.
‘Biarlah, toh, Ana sudah membuatku kesal seharian ini.’ Tangan Jia mengulur kearah nakas. Perlahan, ia meraih kacamata milik Ana. Ia meletakkan kacamata itu diatas ranjang Ana. Kemudian, ia menduduki ranjang tersebut. ‘Krek!’ Terdengar suara sesuatu yang retak. Ia bersorak dalam hati. Lalu segera meletakkan retakan kacamata itu kembali ke nakas seraya tersenyum puas..
-
Sania dan Ana sedang mengobrol di jeda antara waktu maghrib dan isya, saat mereka menyadari sedari tadi Jia tak ikut bersuara. Padahal, mereka sedang mendiskusikan destinasi liburan saat waktu perpulangan nanti.
“Jia, kamu nggak papa kan? Kenapa gelisah gitu?” tanya Sania. Jia terdiam , ia melihat kearah Ana, namun cepat-cepat menghindar. Ia teringat, apa yang baru saja dilakukannya tadi sore. “Ngg… nggak papa kok. Eh, itu imamnya sudah siap, ayo salat,” jawab Jia terbata-bata. Ia pergi meninggalkan kedua sahabatnya yang menatapnya penuh keheranan.
-
“Ini kenapa, Na?!” Teriak Sania setibanya di kamar. Ia menemukan sesuatu yang gawat bagi sahabatnya. “Kenapa San, kok kamu panik git- LOH?” mereka berdua menemukan kacamata milik Ana tergeletak diatas nakas, dalam kondisi rusak parah. Lensanya retak dan terlepas dari bingkai kacamatanya.
“Siapa yang berani berbuat setega ini?” ucap Sania tak habis pikir. Ia menenangkan Ana yang mulai berair mata. Sedangkan Jia, berada di dekat lemari pakaian. Ia berusaha menjauh dari Ana dan Sania. Dari ujung matanya, ia bisa meihat bahwa Sania dan Ana sedang berbisik-bisik.
-
Jia benar-benar tak berdaya sekarang. “Jadi, bagaimana Jia?” tanya bu Dija. Ia mengamati cara duduk Jia yang tampak tak nyaman. Diatas meja, ditengah-tengah mereka berempat, tergeletak kacamata milik Ana, yang sudah tak lagi layak pakai. Ruang kantor tiba-tiba terasa sangat sesak bagi Jia, ia terpojokkan. Ia melirik kedua sahabatnya, yang sedari tadi hanya memandang lantai.
“Iya bu, saya yang memecahkan kacamata Ana.” Ucap Jia pelan dan bergetar. Semua menatap Jia. “Kenapa Ji?” tanya Sania, ia mulai mengangkat suara.
Jia menggigit bibirnya.“Aku.. aku iri, San. Aku capek nggak bisa sebaik Ana. Maaf, Na, aku keterlaluan..” jawab Jia pelan. Ana terdiam. Perlahan, ia tersenyum. “Jia, aku juga ngerasain capek. Tapi Allah nggak pernah menuntut kita untuk cepat, cukup terus berusaha dan istiqomah” ujar Ana, ia tersenyum kearah Jia.
Air mata Jia jatuh lagi. Ia meraih tangan Ana sambil terisak. “Maafin aku, Na..”. Ana tersenyum, ia mengangguk kecil sambil menggengam tangan Jia dengan erat. “Sudah aku maafin Ji, kita mulai dari awal lagi ya?” ucap Ana.
Malamnya, saat semua sudah tenang, Jia mengambil Kembali buku diarinya. Ia menuliskan sebuah kalimat. ‘Retakan itu belum tentu tanda kehancuran, tapi bisa jadi jalan untuk cahaya masuk’.
-
Beberapa bulan kemudian, di acara khataman, Jia berdiri disamping Ana. Mulutnya melantunkan ayat terakhir surah An-Naas dengan suara bergetar.Lalu ia menangis. Kali ini bukan karena takut, tapi haru. Di akhir acara, Ana memeluk Jia. “Terimakasih ya Na.. sudah memaafkan retakan yang aku buat” bisik Jia. “Retakan itu, justru membuat kita lebih kuat, Ji”.

