Profit atau Pengabdian dalam Lembaga Bantuan Hukum
Oleh: Haekal Abdatamma Ramadhan, Direktur Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum Ikatan (LKBHI) DPD IMM Jateng
Jauh sebelum lahirnya Bantuan Hukum (LBH) di Indonesia sempat terdengar istilah Pokrol Bambu yang terkenal di era penjajahan belanda, ketika banyaknya masyarakat yang sedang mengalami persoalan hukum atau hanya sekedar berkonsultasi saja namun tak mampu menjangkau advokat yang pastinya harus merogok kocek dalam-dalam, masyarakat memilih Pokrol bambu sebagai jalan tengahnya. Meskipun pokrol bambu ini tidak berlatar belakang sekolah hukum namun mereka benar-benar mengetahui prosedur hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pokrol bambu memang seringkali dicap sebagai makelar kasus namun nyatanya pada era tersebut mereka dianggap telah menolong masyarakat dalam menghadapi persoalan hukum. Hingga pada tahun 1970 muncul Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang di inisiasi oleh Prof. Dr. H. Adnan Buyung Nasution, S.H. yang didukung oleh tokoh-tokoh yang salahsatunya adalah Ali Sadikin Gubernur DKI Jakarta. YLBHI menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan bagi rakyat miskin struktural yang kesulitan mendapatkan akses hukum.
Sudah berumur setengah abad ini apakah citra Lembaga Bantuan Hukum sebagai pembela ketidakadilan hukum bagi masyarakat marginal dengan Cuma-Cuma sudah terkikis.? Bukan karena misi utamanya hilang, tetapi karena munculnya praktik-praktik yang bertolak belakang dengan Khittah awal lahirnya lembaga bantuan hukum yakni memberikan pendampingan hukum secara Cuma-cuma kepada klien miskin yang seharusnya mendapat bantuan gratis atau murah justru kasus digarap dengan setengah hati mengingat karena tidak dibayar.
Di lapangan, nyatanya tak sedikit rakyat miskin yang membutuhkan bantuan hukum gratis harus bersabar menunggu kepastian hukum karena penyelesaian perkaranya digarap setengah hati oleh oknum LBH. Memang benar lembaga bantuan hukum tidak memungut biaya sepeserpun dari kliennya namun nyatanya Oknum LBH seolah setengah hati menerima kasus klien marginal yang bayarannya dirasa kurang cukup didapatkan OBH dari Kementrian Hukum. Hal tersebut menjadi catatan penting bagi LBH maupun Pemerintah berwenang apakah anggaran yang diturunkan sudah tidak riil dengan kebutuhan biaya yang harus dikeluarkan oleh LBH untuk mendampingi persoalan hukum masyarakat yang membutuhkan.
Ada pula kasus di mana LBH menerima dana hibah besar dari NGO ataupun organisasi lain untuk memberikan program bantuan hukum bagi masyarakat miskin, tetapi dana tersebut tidak dipergunakan sebagaimana mestinya yang tentunya tidak sesuai dengan khittah perjuangan didirikannya LBH, Sementara itu rakyat miskin yang menjadi klien LBH justru tetap mendapat pendampingan seadanya dari LBH.
Yang lebih tragisnya lagi, tak sedikit LBH yang kini secara diam-diam ataupun terang-terangan berafiliasi dengan partai politik atau kelompok kepentingan tertentu. Mereka hanya mau mendampingi kasus yang “menguntungkan” guna menunjang eksistensi partai politik atau kepentingan golongan tertentu. Tak sedikit menjual tangisan kliennya yang menjadi Korban ketidakadilan kemudian dijadikan isu “seksi” dan LBH bersama kelompok tertentu hadir untuk memberikan pendampingan hukum.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi persoalan tersebut:
1. Banyak LBH yang nyatanya kurang mendapatkan dukungan memadai dari negara dan yayasan tertentu, panjangnya birokrasi permohonan dana operasional untuk pengolahan perkara klien, belum lagi godaan untuk “meminta uang transport” dari klien.
2. Advokat di LBH sering kali sudah terbiasa dengan gaya hidup mewah dari penghasilan Firma Hukum, sehingga banyak yang setengah hati menjalankan perintah pengabdian dalam LBH karena jasanya diberikan secara Cuma-Cuma. Padahal seharusnya para advokat yang sudah berpenghasilan dari kantor Firma Hukum dapat menjadikan LBH sebagai ladang beramal dengan memberikan bantuan hukum gratis.
3. Budaya formalitas yang melemahkan pengawasan internal menyebabkan tidak ada prosedur yang jelas dalam proses laporan keuangan LBH sehingga menjadi tanda tanya besar apakah anggaran dari negara dan donatur sudah tidak relevan dengan kondisi lapangan atau sebenarnya hanya persoalan pengelolaan keuangan yang digarap serampangan.
4. Budaya peradilan yang mengharuskan advokat LBH “bermain” mengakibatkan LBH meminta uang dari klien untuk “lobby-lobby” perkaranya. Padahal seharusnya mereka menjadi advokat pelopor yang melawan praktik-praktik menyesatkan dalam peradilan tersebut.
Sebagaimana diatur dalam Kode Etik Advokat Indonesia yang pada intinya:
1. Advokat berkewajiban memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma (Prodeo) bagi orang yang tidak mampu.
2. Advokat dilarang menolak perkara hanya karena klien tidak mampu membayarnya
3. Advokat harus mempertimbangkan kemampuan kliennya dalam pembayarannya
4. Advokat harus bersikap professional dalam mengurus perkara prodeo sama halnya ketika mengurus perkara yang dia diberikan uang jasa
5. Advokat dilarang membebankan klien dengan biaya-biaya yang tidak semestinya.
Syukurnya tak sedikit juga LBH yang masih memegang teguh prinsip khittah perjuangan LBH seperti yang di inisiasi oleh Prof. Dr. H. Adnan Buyung Nasution, S.H. dengan tetap mendampingi tanpa memungut biaya sepeser pun. Mereka bertahan dengan dana hibah yang dikelola secara akuntabel dan dukungan relawan yang tulus. Karena perlu di ingat bahwa rakyat miskin tidak boleh menjadi sapi perah bagi siapa pun, terutama lembaga yang mengatasnamakan pemberi bantuan hukum bagi mereka. LBH harus dapat menjadi patron dalam membebaskan penindasan bagi rakyat miskin yang membutuhkan bantuan hukum.
Opini ini bukan untuk menghakimi seluruh LBH, tetapi untuk merefleksikan diri bahwa bantuan hukum bagi yang lemah adalah ibadah kemanusiaan, bukan ladang bisnis. Semoga obor idealisme yang pernah menyala terang di tahun 1970-an oleh Prof. Dr. H. Adnan Buyung Nasution, S.H. bisa tetap membara menjadi besar. Jangan sampai benar-benar padam dalam gelapnya kepentingan semata dan tentunya menjadi refleksi bagi pemangku kebijakan apakah kebijakan pemberian anggaran untuk bantuan hukum sudah relevan dengan kebutuhan yang riil terjadi di lapangan.


