Dua Tahun Kepergian Sang Guru Bangsa
Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon
"Kemerdekaan itu mahal, jangan disia-siakan. Bangsa ini harus lebih keras lagi, jangan larut dalam ketidakpastian. Ya, pokoknya bangun budaya kearifan. Kearifan itu penting, pakai bahasa hati." ~ Buya Syafii Maarif ~
Tepat dua tahun yang lalu, 27 Mei 2022, sosok pribadi yang bernama Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif meninggal dunia menghadap keharibaan Allah SWT pada hari Jumat. Bagi umat Islam, Persyarikatan Muhammadiyah, dan bangsa Indonesia, kehilangan pribadi yang dikenal sangat tegas, berilmu tinggi, namun begitu bersahaja.
Buya Syafii lahir di Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935. Putra dari Marifah Rauf Datuk Rajo Malayu ini dikenal cerdas, tegas, pemberani, dan bersahaja. Hal ini tidak lepas dari didikan orang tuanya yang kuat dalam pendidikan agama sehingga terbentuklah karakter pribadi yang bagus. Buya Syafii juga ditempa di Mu'allimin Yogyakarta.
Anak Kampung Menjadi Tokoh Besar
Dari kampung Sumpur Kudus inilah Buya menghabiskan masa kecilnya berinteraksi seperti anak-anak seusianya, namun dengan mimpi besar bagaimana menjadi sosok yang bisa membanggakan kedua orang tuanya. Setelah lulus dari Mu'allimin Yogyakarta, beliau melanjutkan pendidikan di IKIP Negeri Yogyakarta, yang kemudian menjadi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Setelah itu, beliau melanjutkan menimba ilmu di Amerika Serikat. Dari situlah pergulatan pemikiran Buya menjadi luas, dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman. Di Amerika, Buya banyak berdiskusi untuk mengasah pemikirannya. Bersama Prof. Amien Rais dan Prof. Nurcholish Madjid, mereka dijuluki "tiga pendekar dari Chicago, AS."
Dari pergulatan yang luas itulah, sosok Buya menjadi pribadi yang begitu disegani karena pemikiran-pemikirannya yang menentang ketidakadilan, kemanusiaan, serta mendorong pentingnya perilaku yang seirama antara pikiran dan tindakan, yang disebut profetik. Ilmu dan pemikirannya mendapatkan pengakuan dari luar negeri sehingga beliau mendapat penghargaan di bidang peradaban, kemanusiaan, dan perdamaian.
Penghargaan dan Pengakuan
Penghargaan datang dari berbagai instansi dan lembaga, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk dari negara. Di antaranya: Hamengku Buwono 2004, Magsaysay Award 2008, Mpu Parada 2009, dan Bintang Mahaputera Utama 2015. Akan tetapi, Buya tetaplah Buya, walaupun banyak pujian, cacian, dan makian, beliau menjalani semuanya dengan perangai yang zuhud dan tetap berlaku baik terhadap siapa pun. Tidak aneh jika banyak kalangan di Persyarikatan Muhammadiyah, terutama generasi mudanya, terinspirasi oleh beliau, seperti Rizal Sukma, Raja Juli Antoni, Ghazali Abdulrahim, Andar Nubowo, dan lainnya. Maka, di dekade tahun 2000-an, dibentuklah Ma'arif Institut yang bergerak dalam bidang pendidikan dan lain sebagainya.
Di Pusaran Buya
Bagi penulis, memang belum pernah bertemu langsung, namun melalui beberapa literatur baik di Majalah SM maupun media lain, penulis mengenal beliau dan sangat meneladani karena keilmuan serta akhlaknya. Kebetulan sehari sebelum menjelang dua tahun kepergian Buya, pada Ahad, 26 Mei 2024, penulis diberi kesempatan untuk ziarah ke makam beliau, seorang ulama, cendekiawan muslim, dan ketua umum PP Muhammadiyah (1998-2005), di pemakaman Husnul Khatimah Nanggulan, Kulon Progo, bersama istri dan anak serta keluarga. Di situ, penulis bersimpuh memanjatkan doa agar amal kebajikan beliau diterima oleh Allah, segala salah khilaf diampuni, dan semoga kita sebagai warga Persyarikatan, umat Islam, serta bangsa Indonesia bisa mengambil pesan beliau: "Muhammadiyah-NU mesti bergandengan tangan untuk menjaga keutuhan Indonesia dari segala macam perusak, termasuk dari mereka yang memakai bendera agama." Aamiin.