SUMBAWA, Suara Muhammadiyah - Pondok pesantren Muhammadiyah terus meningkat jumlahnya. Dalam Rapat Koordinasi Nasional Khusus (Rakornasus) Lembaga Pengembangan Pesantren Muhammadiyah (LP2M), dibahas terkait SDM dan pengembangan pesantren, termasuk bidang sains dan teknologi. Acara ini dihadiri oleh 110 orang, terdiri dari 13 orang LP2PPM, 23 orang LP2PPM PWM, dan 69 orang Mudir.
Rakornasus ini juga mengkaji manajemen risiko atas Pondok Pesantren Dea Malela, yang akan diserahkan kepada Muhammadiyah melalui Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Sebagai contoh, pesantren Tursina di Malang pernah menerapkan manajemen risiko dengan baik.
Dengan menerapkan manajemen risiko, tiga tahun sebelum menjadi santri, sudah ada calon santri yang menyetor uang deposit sebesar 50 juta rupiah. Selain itu, keluarga santri diberikan kesempatan untuk menikmati suasana pesantren (nyantri) selama 3 hari 2 malam.
Setelahnya, dilakukan kajian manajemen risiko terkait penyimpangan oleh Mudir pada salah satu pesantren.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, M. Saad IH, mengatakan bahwa dibanding membangun budaya kemiskinan, menerapkan manajemen risiko menunjukkan sikap berikhtiar. Menurutnya, lebih baik belajar dari kegagalan daripada hanya berfokus pada keberhasilan.
“Saya menyarankan terkait kepemimpinan agar memiliki dua hal, yaitu tafaqquh fiddin dan siasatun dunya dengan periodesasi yang jelas, serta dibedakan antara kiai dan pemilik pesantren (Muhammadiyah). Dengan catatan, jika tidak melakukan penyimpangan baik secara moral maupun keuangan/korupsi, maka kepemimpinannya tetap dilanjutkan,” pungkasnya.
Menurutnya, dengan menambahkan ikhtiar yang terukur, penguatan sains dan teknologi, serta skema yang tepat dalam manajemen risiko, harapannya konsep ini dapat dipanelkan saat Muktamar nanti.
Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2PPM), Maskuri, dalam sambutannya menyampaikan bahwa jumlah pondok pesantren terus meningkat, dengan catatan terakhir berjumlah sekitar 450, meski masih ada yang belum terdata. Namun, meningkatnya jumlah pondok pesantren juga terkendala pada permasalahan SDM, khususnya permintaan akan ustaz dan ustazah.
Pendidikan Ulama Pesantren Muhammadiyah (PUPM) di tahun ke-3 memiliki 85 orang anggota yang berkuliah di beberapa kampus serta telah menjalin MoU dengan Mudir dan Pondok Pesantren. Tahun ini, program tersebut juga dimulai di UMSIDA, UM Purwokerto, dan UM Bandung.
Rakornasus juga membahas beberapa hal penting lainnya, seperti memberikan peluang beasiswa bagi kader persyarikatan, menyusun draft pesantren tafaqquh fiddin (Muaddalah atau Ma’had Ali) yang sesuai dengan konsep standar mutu, melakukan pengembangan pesantren dalam bidang sains dan teknologi, serta membahas kurikulum untuk meningkatkan kemampuan bahasa Arab di pesantren.
“Pesantren Muhammadiyah tidak harus seragam, tetapi harus mempunyai keunggulan masing-masing sesuai pesan Prof. Din Syamsuddin,” ungkapnya. (Tia/Nad)