Kesehatan Otak, Para Pemimpin Indonesia Antara “Leadership” dan “Dealership”
Oleh: Wildan, Nucholid Umam Kurniawan dan Widiastuti
Tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia :
Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Imdonesia,
Memajukan kesejahteraan umum,
Mencerdaskan kehidupan bangsa,
Dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
(Pembukaan Undang-Undang Dasar RI 1945)
Menjelang tahun 2024, Tahun Pemllu, Tahun Politik, suhu politik mulai meningkat dan memanas, mesin politik mulai bekerja. Lalu, apa bedanya antara seorang politisi dengan seorang negarawan? Menurut James Freeman Clarke, teorang teolog dan penulis AS, seorang politisi berpikir tentang pemilu yang akan datang. Sedangkan seorang negarawan berpikir tentang generasi yang akan datang. A politician thinks of the next election. A stateman thinks of the next generation.
Negara AS yang dijuluki sebagai negara kampiun dalam berdemokrasi, dari 42 Presiden AS, sejak Presiden pertama George Washington sampai dengan Presiden Joe Biden, mereka yang berhasil menduduki kursi kepresidenan adalah mantan Wapres, mantan Gubernur, mantan Jenderal, mantan Senator atau anggota DPR AS, dan mantan Pengusaha. Dari ke-42 Presiden AS, terdapat 23 merupakan anak pertama dalam keluarganya, 9 anak tunggal. Sedangkan sisanya memiliki saudara kandung lebih dari satu.
Bagaimana memilih pemimpin lewat Pemilu? Pilihlah pemimpin yang kapabel mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana kutipan tersebut diatas, dalam bentuk ide, gagasan. dan program kerja yang reasonable (beralasan) akan dilakukannya dalam lima tahun ke depan. Berikutnya pemimpin yang aseptebel, syukur-syukur kantongnya tebel, jangan yang mukanya tebel, karena membuat rakyat jadi sebel. Pesta demokrasi, bukan demo-crazy, demokrasi wani piro?.
Muncul sejumlah ancaman tehadap demokrasi, misalnya, dari sempat munculnya ide perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode dan penundaan Pemilu ! Demokrasi sering dirampok kaum sipil populis yang menang dalam Pemilu. Mereka membajak demokrasi secara pelan-pelan dengan mengakali konstitusi agar bisa berkuasa lebih lama. Jaga dan rawat demokrasi pascareformasi, agar Pemilu yang merupakan akronim Pemilihan Umum tidak berubah menjadi Pegel mikirin lu !
Menurut Prof. Miriam Budiardjo (1986), Guru Besar Ilmu Politik, Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial UI, dalam bukunya “Dasar-
Dasar Ilmu Politik”, pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public polities) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat membujuk, meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai-bagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang-seorang (individu).
Menurut Budiman Tanurejo (2023), dalam tulisannya yang berjudul : “Reformasi, Demokrasi, dan Korupsi”, dalam situasi seperti sekarang ini, bangsa ini membutuhkan servant leadership, pemimpin yang melayani orang lemah, orang yang miskin. Bukan pemimpin feodal, primordial, dan tamak. Pendiri bangsa, Agus Salim, mengajarkan, jalan menjadi pemimpin bukan jalan mudah, tetapi jalan penderitaan.
Naun, apakah tidak utopis kita berharap lahirnya pemimpin yang berani meneruskan gerakan reformasi, berani melanjutkan gerakan pemberantasa korupsi, berani menjaga demokrasi ketika bangsa ini sudah terperangkap dalam jebakan demokrasi dol tinuku atau jual beli. Tentunya harus dijawab. Bisa. Karena harapan selalu diupayakan.
Dalam dua periode pemerintahan Presiden Jokowi, sudah lima menteri masuk penjara. Ada Idrus Marham (Mensos, Partai Golkar), Imam Nahrowi (Menpora, PKB), Juliari Batubara (Mensos, PDI-P), dan Edhy Prabowo (Menteri Kelautan, Partai Gerindra). Mereka dijerat KPK. Baru Johnny G Plate (Menteri Komunikasi & Informatika, Partai Nasdem) yang dijerat Kejaksaan Agung. Pada era sebelumnya, ada juga menteri partai lain yang juga masuk penjara karena korupsi.
Boleh jadi ini pekerjaan rumah besar negeri ini. Gerakan reformasi telah dikorupsi. Korupsi merajalela. Seperti kata Mahfud MD, di darat, di laut, dan di udara ada korupsi. Demokrasi belum sepenuhnya bisa menghasilkan pemimpin antikorupsi. Demokrasi memang bisa menghasilkan pemimpin populis, tetapi belum tentu bisa melahirkan pemimpin yang punya komitmen kuat merawat demokrasi.
Menurut Haedar Nashir (2002), dalam tulisannya yang berjudul “Dunia, dan Amanah Sebuah Jabatan” yang terdapat dalam bukunya yang berjudul “Islam & Perilaku Umat di Tengah Perubahan”, manusia adalah makhluk Allah yang paling besar kecintaannya kepada dunia. Dunia – berasal dari bahasa Arab ad-dun-ya -, menurut Imam Al-Ghazali ialah segala sesuatu yang konkret, yang manusia memperoleh kenikmatan darinya, dan pengolahan-pengolahan manusia atasnya untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya.
Karena watak dunia yang begitu memikat, tak heran bila kebanyakan manusia sangat berambisi untuk meraih sebesar-besarnya dengan segala kekuatan. Dunia menjadi ladang perburuan dan perebutan. Bahkan tidak sedikit manusia yang tak mau berhenti mengejarnya kecuali kematian yang menghentikannya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur” (QS at-Takatsur [102} : 1 – 2). Ambisi mengejar dunia bermegah-ria itu seringkali menggelicirkan anak manusia. Hingga dia lupa kepada dirinya, kepada sesamanya, bahkan lupa kepada Tuhan yang menciptakan dan memberinya kehidupan.
Dunia yang indah bagai hiasan atau permata kehidupan itu tentu tidak untuk dinafikan dan dijauhi manusia. Sebab manusia ditakdirkan hidup di alam konkret seperti itu. Manusia diberi kewenangan oleh Allah sebagai khalifah di bumi ini untuk mengolah dunia ini dengan sebaik-baiknya sebagai jalan untuk beribadah kepada-Nya. Dengan tugas ibadah dan fungsi kekhalifahan itulah manusia diberi hak dan kewajiban mengolah dunia untuk membawa kepada keselamatan hidup di Dunia dan di Akhirat. Suatu hidup yang luhur, jelas arahnya, dan jelas pedomannya. Bukan hidup yang asal hidup, dan diperbudak dunia. Allah mengingatkan “Sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi sebagai perhiasan bagi manusia, supaya Kami menguji siapakah di antara mereka yang paling baik amalannya” (QS al-Kahfi [18} : 7).
Salah satu wujud dari dunia yang konkret dan menyenangkan, ialah jabatan, tahta, atau kedudukan. Tahta sering dipandang sebagai sesuatu yang menyenangkan , tempat menyenangkan diri, dan dianggap bernilai tinggi. Semakin tinggi tingkat atau derajat suatu jabatan, semakin tinggi pula nilainya di mata manusia untuk meraihnya, sehingga semakin tinggi pula ambisi manusia untuk meraihnya. Perjuangan untuk meraih jabatan tinggi itu juga semakin keras dan melelahkan, sehingga tidak sedikit orang yang kandas di tengah jalan. Akibatnya, tidak jarang orang menempuh berbagai cara, asalkan jabatan tinggi itu dapat digapai. Muaranya, banyak orang yang bergembira-ria setengah mati jika jabatan yang tinggi itu telah diraihnya. Lebih-lebih bagi orang yang merasa “ketiban pulung”!
Jika suatu ketika memperoleh tahta, tak perlu bersuka-ria, apalagi secara berlebihan. Lebih-lebih jika jabatan itu berkaitan langsung dengan kepentingan orang banyak atau rakyat. Jabatan semacam itu, bagi orang yang menyadari makna dibaliknya, justru diterima dengan penuh was-was, apakah ia mampu memikulnya dan menunaikannya, tanpa lari dari tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Boleh jadi ada secercah kegembiraan atau kebahagiaan tertentu yang sempat muncul ketika jabatan itu diberikan orang kepadanya, namun ia tidak lebih dari ekspresi bahwa dirinya telah dipercaya orang banyak untuk memikul jabatan itu. Bukan luapan kegembiraan karena memperoleh jabatan semata-mata, yang terkait dengan status sosial dan fasilitas yang tinggi.
Bagi orang yang beriman atau beragama, suatu jabatan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak, jika dipahami dan dihayati makna spiritual yang ada dibaliknya, akan diletakkan sebagai amanat yang harus ditunaikan oleh si pemikulnya. Bukan sebagai prestise sosial. Amanat itu berkaitan langsung dengan tanggungjawab dirinya kepada orang banyak dan bahkan kepada Tuhan. Lebih-lebih jika amanat atas jabatan yang diemban itu diterima dengan sumpah jabatan. Pertanggungjawaban moralnya jauh lebih tinggi, baik kepada rakyat atau orang banyak, maupun kepada Tuhan. Lebih dari itu, jika jabatan itu tinggi, maka semakin tinggi pula tingkat godaan duniawinya, bukan saja datang dari dalam diri sendiri si pemegang amanat jabatan itu, juga dari keluarga terdekatnya. Sehingga siapa pun yang memikul jabatan itu, ia (bersama keluarganya) akan senantiasa berusaha menunaikannya seoptimal mungkin, dan tidak mengkhianatinya dalam bentuk apa pun.
Pemimpin dan Kepemimpinan
Salah satu tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia sebagaimana kutipan tersebut di atas adalah Memajukan Kesejahteraan Umum. Guna Memajukan Kesejahteraan Umum, maka dibentuklah antara lain Kementerian Kesehatan RI, karena tidak ada kesejahteraan tanpa kesehatan. Sebaliknya, tidak ada kesehatan tanpa kesejahteraan. Memang, kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak bermakna, health is not everything but without it everything is nothing, demikian menurut Scopenhauer (1788 – 1860). Menurut Kirschner,
Kita korbankan kesehatan
Untuk mendapat kekayaan,
Kita berencana, bekerja, dan menumpuk simpanan.
Kemudian kita korbankan kekayaan
Untuk memperolah kembali kesehatan,
Dan sering yang kita dapat hanyalah kuburan.
Kita hidup dan bangga atas harta simpanan,
Kita mati, dan hanya mendapatkan batu nisan.
Abad XXI adalah abad otak, the century of the brain. Dengan demikian, pentingnya kesehatan seorang pemimpin, terutama kesehatan otaknya, baik pemimpin yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kata pepatah, “rakyat sehat, negara kuat”. Maka, “pemimpin bejat, negara kiamat” ! Dan kelak di akhirat tidak akan selamat !
Ada ungkapan yang cukup tersohor bahwa mencegah penyakit itu lebih baik daripada mengobati. Adapun status kesehatan seseorang itu, menurut Blum, ditentukan oleh empat faktor, yaitu : 1) Faktor keturunan (10%), 2) Faktor pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, rumah Sakit (10%), 3) Faktor lingkungan, bencana alam, seperti gempa bumi, maupun akibat ulah manusia, seperti : banjir, longsor, polusi udara, (25%), dan 4) Faktor perilaku (55%).
Brain – Mind – Behaviour, Otak – Jiwa (Pikiran & Perasaan) – Perilaku. Maka, pola pikir sehat (healthy mindset) akan menghasilkan perilaku sehat (healthy behaviour). Oleh karena itu,
Berhati-hatilah dengan pikiranmu,
sebab akan menjadi kata-kata
Berhati-hatilah dengan kata-katamu,
sebab akan menjadi perbuatan
Berhati-hatilah dengan perbuatanmu,
sebab akan menjadi kebiasaan
Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu,
sebab akan jadi watak
Dan berhati-hatilah dengan watakmu,
Sebab akan menentukan nasibmu !
Siapakah pemimpin itu? Dalam bahasa Inggris pemimpin disebut leader. Akar katanya to lead. Dalam kata itu terkandung beberapa arti yang saling berhubungan : bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya. Maka, seorang pemimpin adalah orang yang bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain melalui pengaruhnya. Tidak mengherankanlah bahwa pemimpin disebut dengan berbagai nama : penghulu, pemuka, pelopor, pengarah, pembimbing, penuntun, penggerak (Mangunhardjana, 1993).
Kepemimpinan apa pun bentuk atau nama dan cirinya, dan ditinjau dari sudut pandang mana pun selalu harus berlandaskan kebajikan dan kemaslahatan, serta mengantar kepada kemajuan. Kepemimpinan, antara lain, harus dapat menentukan arah, menciptakan peluang, dan melahirkan hal-hal baru melalui inovasi pemimpin yang kesemuanya menuntut kemampuan berinisiatif, kreativitas, dan dinamika berpikir. Seorang pemimpin berbeda dengan seorang manajer. Manajer, antara lain, bersifat reaktif dan responsif terhadap perubahan dan masalah yang dihadapinya, sedang pemimpin bersifat proaktif dan visioner, prediktif, menciptakan dan membentuk perubahan. Manajer sangat peduli untuk mengerjakan sesuatu dengan benar (do thing right), sementara pemimpin lebih peduli untuk mengerjakan sesuatu yang benar (do the right thing). Karena itu, manajer melibatkan hal-hal yang sudah “mapan” sesuai aturan agar implementasinya efisien dan efektif, sedangkan pemimpin melibatkan aktivitas baru yang relevan untuk kebutuhan dan kesempatan yang akan datang, serta mengerjakan sesuatu berdasarkan nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial (Shihab, 2006).
Menurut Quraish Shihab (2006), dalam tulisannya yang berjudul “Kepemimpinan Spiritual” yang terdapat di dalam bukunya yang berjudul “Menabur Pesan Ilahi, Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat”, bahwa paling tidak kita menemukan tiga kata yang digunakan kitab suci al-Qur’an ketika berbicara tentang kepemimpinan.
Pertama, khalifah/khulafa’/khala’if antara lain, QS al-Baqarah [2] : 30; Shad [38] : 26, al-A’raf [7] : 69 – 74, dan Yunus [10] : 14. Kata khalifah berakar dari kata yang pada mulanya berarti di belakang, dari sini kata tersebut sering kali diartikan pengganti karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang/ sesudah yang digantikannya. Dari satu sisi kata ini menegaskan kedudukan pemimpin yang hendaknya berada di belakang, untuk mengawasi dan membimbing yang dipimpinnya bagaikan pengembala. Tujuan pengawasan dan bimbingan itu adalah memelihara serta mengantar gembalaanya menuju arah dan tujuan penciptaannya.
Kedua, imam/ a’immah antara lain, QS al-Baqarah [2] : 124, an-Anbiya’ [21] : 73, dan as-Sajadah [32] : 24. Kata imam terambil dari akar kata amma – yaummu dalam arti menuju, menumpu, dan meneladani. Ibu, dinamai umm karena anak selalu menuju kepadanya; depan dinamai amam karena mata tertuju kepadanya sebab dia berada di depan. Seorang iman dalam shalat adalah dia yang diteladani gerak-geriknya oleh para makmum, sedang imam dalam arti pemimpin (secara umum) adalah yang diteladani oleh masyarakatnya sekaligus selalu berada di depan. Dengan demikian, seorang pemimpin bukan saja harus mampu menunjukkan jalan meraih cita-cita masyarakatnya, tetapi juga yang dapat mengantar mereka ke pintu gerbang kebahagiaan; seorang pemimpin tidak sekedar menunjukkan, tetapi juga mampu memberi contoh aktualisasi, sama halnya imam dalam shalat memberi contoh agar diteladani oleh makmumnya. Dalam konteks ini Allah berpesan kepada Rasul, Muhammad Saw. : “Maka berperanglah engkau pada jalan Allah, tidaklah engkau dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri”. Setelah meletakkan kewajiban pada pundak Rasul Saw. barulah berikutnya beliau ditugaskan melibatkan masyarakat yang dipimpin dengan firman-Nya : “Kobarkanlah semangat orang-orang Mukmin. Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya)” (QS an-Nias’ [4] : 84).
Dengan kedua kata di atas tergambar ciri seorang pemimpin, sekali di depan menjadi panutan, Ing ngarso sung tulodo, dan pada kali lain di belakang untuk mendorong sekaligus menuntun ke arah yang dituju oleh yang dipimpinnya, atau Tut wuri handayani. Adapun keberadaan seorang pemimpin di tengah kaumnya, Ing madya mbangun karsa, dilukiskan antara lain oleh firman Allah dalam QS al-Hujurat [49] : 7, yang menyatakan bahwa : “Ketahuilah bahwa di tengah kamu ada Rasulullah. Seandainyua ia menurut kamu dalam banyak urusan, niscaya benar-benarlah kamu akan mendapat kesulitan”.
Sedangkan kata ketiga adalah ulil amr seperti pada QS an-Nisa’ [4] : 59, yang sering kali ditunjuk bentuk tunggalnya oleh hadis-hadis Nabi Saw. dengan kata amir. Kata amir menggunakan patron kata yang dapat berarti subjek dan juga objek. Ini berarti amir/ pemimpin dalam kedudukannya sebagai subjek adalah pemilik wewenang memerintah, sedangkan dalam kedudukannya sebagai objek, maka dia adalah yang diperintah, dalam hal ini oleh siapa yang dipimpinnya. Ini mengisyaratkan bahwa amir, tidak boleh bertindak sewenang-wenang, tetapi harus memperhatikan “perintah”, yakni kehendak dan aspirasi siapa yang dipimpinnya.
Menurut Mangunhardjana (1993), dalam bukunya “Kepemimpinan”, dengan menjadi pemimpin, seseorang mendapat kedudukan tertinggi di lingkungannya, berikut kekuasaan, fasilitas hidup, alat kerja dan keuntungan yang melekat pada jabatan kepemimpinan itu. Namun inti kepemimpinan bukan pertama-tama terletak pada kedudukan yang ditempati. Inti kepemimpinan adalah fungsi atau tugas. Dia ada demi sesuatu yang lain. Bukan demi dirinya sendiri. Titik perhatiannya adalah tujuan dan cita-cita yang mau dicapai. Bukan kepentingannya sendiri. Dan tujuan serta cita-cita itu harus dicapai karena berguna, bermanfaat dan penting bagi kesejahteraan kehidupan banyak orang. Tugas kepemimpinan adalah tugas pengabdian. Dia dipanggil demi penyelesaian masalah, demi tujuan dan cita-cita bersama. Tujuan dan cita-cita merupakan unsur yang pertama dan paling pokok dalam kepemimpinan.
Sadar bahwa tujuan dan cita-cita itu baik demi kesejahteraan orang banyak, seorang pemimpin berusaha mempengaruhi, mengajak, mengumpulkan dan menggerakkan banyak orang untuk bersama-sama bekerja mencapai tujuan dan cita-cita itu. Dalam lembaga atau kegiatan-kegiatan di mana tujuan dan cita-cita itu sudah jelas dirumuskan, seperti misalnya dalam lembaga pendidikan, tugas pemimpin tinggal memperingatkan kembali, memperdalam pengertian bersama, atau menggali lebih jauh lagi tujuan dan cita-cita itu bersama-sama mereka yang dipimpinnya, lalu menyusun rencana kerja dan mengatur mereka menjadi kesatuan kerja yang efektif demi tercapainya tujuan dan cita-cita bersama itu. Tetapi dalam lembaga atau kegiatan-kegiatan yang tujuan dan cita-citanya belum dilihat bersama, sebelum mulai bergerak bekerja, pemimpin harus lebih dulu menanamkan keinsyafan akan pentingnya tujuan dan cita-cita itu dalam hati mereka yang dipimpinnya.
Kalau pemimpin beserta seluruh orang yang ada di bawah kepemimpinannya sudah yakin akan kebaikan tujuan dan cita-cita itu bagi kehidupan bersama, mereka dapat membentuk suatu organisasi kerja. Dalam bentuk organisasi, kegiatan anggota yang sepakat mengenai kepentingan tujuan dan cita-cita itu dipersatukan. Penyatuan kegiatan itu dicapai dengan membagi-bagi pekerjaan, tugas, kekuasaan dan tanggung jawab di kalangan mereka. Melalui organisasi kerja mereka yang bersedia ikut serta bekerja mencapai tujuan dan cita=cita yang dilihat bersama dipersatukan. Kesediaan pemimpin untuk rela bekerja dan berjoang bersama dengan mereka yang dipimpinnya menjadi bukti ketulusan hatinya. Melalui kesediaannya untuk turun tangan bersama mereka yang dipimpinnya demi terraihnya tujuan dan cita-cita itu, dedikasi.dan pengabdian seorang pemimpin diuji dan dibuktikan kemurniannya. Organisasi kerja merupakan unsur penting kedua dalam masalah kepemimpinan.
Tentu saja untuk dapat mengumpulkan dan menggerakkan orang yang ada di bawah kepemimpinan itu seorang pemimpin harus memiliki kepribadian dan keahlian tetentu.
Pada pokoknya, sifat-sifat kepribadian dan macam-macam keahlian dituntut agar dalam diri mereka yang dipimpinnya tumbuh kepercayaan. Kepercayaan itu baik berhubungan dengan tujuan dan cita-cita maupun dengan pemimpin sendiri. Pemimpin yang mempunyai kepribadian yang baik dan keahlian yang unggul menciptakan kepercayaan dalam hati mereka yang dipimpinnya. Berkat mutu kepribadian dan keahlian pemimpin itu mereka yang dipimpinnya menjadi yakin bahwa tujuan dan cita-cita yang mau dicapai baik dan bahwa pemimpin ini mampu membawa mereka ke tujuan dan cita-cita yang mau dicapai. Kepercayaan mereka yang dipimpin terhadap dia yang memimpin dapat semakin kuat dan besar apabila mereka itu dengan mata kepala sendiri dapat menyaksikan betapa besar dedikasi dan pengabdiannya dalam memimpin mereka menuju ke tujuan dan cita-cita bersama itu. Dengan dedikasi dan pengabdiannya itu seorang pemimpin menyatakan diri kepada mereka yang dipimpinnya bahwa dia bukan saja pandai menggetarkan mereka dengan kata-kata yang muluk-muluk, melainkan dengan tindakan yang nyata. Kepribadian dan keahlian unsur ketiga dalam kepemimpinan.
Jadi seorang pemimpin adalah petugas yang bersedia bekerja demi tujuan dan cita-cita bersama dengan berusaha mencapai tujuan dan cita-cita bersama mereka yang dipimpinnya melalui suatu organisasi kerja yang teratur.
Pemimpin pada intinya adalah tugas pengabdian. Dia ada bukan demi dirinya sendiri, melainkan demi orang lain. Dia dipanggil bukan untuk memuaskan hobby pribadi, melainkan demi tercapainya tujuan dan cita-cita bersama. Dia ada bukan demi kepentingan sendiri melainkan demi kepentingan umum. Pemimpin adalah orang yang tahu apa yang mau dicapai, mengerti jalan menuju ke sana, dapat menunjukkan tujuan dan jalan yang harus ditempuh itu kepada orang lain dan bersedia menempuh jalan itu bersama-sama mereka yang dipimpinnya.
Pemimpin dibebani tugas membawa mereka yang dipimpin menuju ke tujuan dan cita-cita bersama. Maka tersesatlah pemimpin yang mempergunakan kedudukan, kekuasaan, dan fasilitas yang diberikan kepadanya, bukan untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama melainkan demi perutnya sendiri. Pemimpin macam begini lupa akan panggilan pokoknya. Dan akibatnya pun bisa luas, seluas kedudukan dan kekuasaan yang ada padanya.
Leadership diterjemahkan kepemimpinan. Lalu, apa itu dealership? Akar katanya, to deal, membagi . Arti kata dealer adalah : 1) Saudagar pembagi barang-barang; 2) Pembagi kartu (pada permainan kartu). Dealership adalah plesetan dari kata leadership. Guyon plesetan ini muncul karena publik menyaksikan fenomena para pemimpin melakukan “jual beli jabatan” atau “jual beli kebijakan, pembuatan undang-undang maupun peraturan antara penguasa dan pengusaha”, singkat kata, politik transaksional, biar lebih “sip”. Dalam bahasa gampangnya politik dagang sapi ! Negara tak lebih menjadi seperti perseroan terbatas alias PT, statesmanship jadi tradership, negara dijadikan toko kelontong !
Pemikir politik Harold Lassell (1902 – 1978), pernah mengatakan, dalam politik siapa dapat apa, kapan dan bagaimana mendapatkannya. Di dalam dunia politik ada adagium, tidak ada musuh yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi !
Akibatnya, muncul juga guyonan, jika rakyat hari ini makan apa, bahkan ada rakyat hari ini apa bisa makan? Maka, para pemimpin politik hari ini makan siapa? Meskipun hal ini menyakitkan rakyat, namun guna memelihara kesehatan jiwa, mereka membuat joke. Salah satu ciri sehat jiwa adalah membuat humor daripada stres ! Dalam kitab suci al-Qur’an, Tuhan berfirman : “Kami tidak pernah mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya” (QS Ibrahim [14] : 4). Ini karena sukses seorang pemimpin berkaitan erat dengan kaum yang dipimpinnya. Karena itu jangankan pemimpin biasa, para rasul yang langsung mendapat bimbingan Tuhan pun tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa lisan dan pikiran umatnya. Dari sini, dapat dipahami pula sabda Nabi Muhammad Saw. : “Sebagaimana keadaan kalian, demikian pula terangkat pimpinan kalian”, dalam arti pemimpin adalah cermin masyarakatnya. Pemimpin yang baik adalah yang memahami aspirasi masyarakatnya. Di sisi lain, sabda ini mengandung makna bahwa pemimpin adalah hasil kehendak/ pilihan masyarakat, karena itu masyarakat harus menerimanya atau sekurang-kurangnya tidak membencinya, karena mereka adalah produk masyarakat sendiri yang memilihnya. Kalau pemimpin baik, maka itu karena masyarakatnya baik, dan kalau sebaliknya, maka itu cermin keadaan dan sifat mereka (Shihab, 2006).
Menurut Harun Nasution (2001), dalam bukunya “Islam ditinjau dari berbagai aspeknya”, bahwa di kalangan masyarakat Indonesia terdapat kesan bahwa Islam bersifat sempit. Kesan itu timbul dari salah pengertian tentang hakikat Islam. Kekeliruan paham ini terdapat bukan hanya di kalangan umat bukan Islam, tetapi juga di kalangan umat Islam sendiri, bahkan juga di kalangan sebagian agamawan-agamawan Islam.
Kekeliruan paham itu terjadi, karena kurikulum pendidikan agama Islam yang banyak dipakai di Indonesia ditekankan pada pengajaran ibadah, fikih, tauhid, tafsir, hadis dan bahasa Arab. Oleh karena itu Islam di Indonesia banyak dikenal hanya dari aspek ibadah, fikih, dan tauhid saja. Dan itupun, ibadan, fikih dan tauhid biasanya diajarkan hanya menurut satu mazhab dan aliran saja. Hal ini memberi pengetahuan yang sempit tentang Islam.
Dalam Islam sebenarnya terdapat aspek-aspek selain dari yang tersebut di atas, seperti aspek teologi, aspek ajaran spiritual dan moral, aspek sejarah, aspek kebudayaan, aspek politik, aspek hukum, aspek lembaga-lembaga kemasyarakatan, aspek mistikisme dan tarekat, aspek falsafah, aspek ilmu pengetahuan dan aspek pemikiran serta usaha-usaha pembaruan dalam Islam.
Sudah barang tentu bahwa mengenal Islam hanya dari tiga di antara aspek-aspek yang demikian berbagainya menimbulkan pengertian yang tidak lengkap tentang Islam. Hal ini dapat membawa kepada paham dan sikap yang sempit.
Islam Ditinjau dari Aspek Politik
Buya Hamka (2016), seorang ulama fenomenal, dalam bukunya “Sejarah Umat Islam, Pra-kenabian hingga Islam di Nusantara”, menulis falsafat seruan Nabi Muhammad, tentang pelajaran politik, bahwa pandangan kebangsaan yang sempit atau memandang golongan sendiri lebih mulia daripada golongan yang lain sangatlah ditentang oleh Islam. Islam sebagai agama tidak memiliki tingkatan tinggi atau rendah. Orang yang dipandang tinggi, hanyalah orang yang bertakwa kepada Allah. Kebangsaan diakui, tetapi bukan untuk bermusuh-musuhan, melainkan agar saling kenal-mengenal. Setelah kenal-mengenal hendaklah seluruh bangsa mengingat pada satu tujuan semula, yaitu seluruh manusia adalah satu bangsa.
Ditetapkan dasar pemerintahan ialah atas syura (musyawarah). Pemerintahan yang sewenang-wenang dan menurut kehendak yang berkuasa saja akan menjauhkan hati rakyat.
Jika pada zaman itu belum ada parlemen atau perancang, pengelola dan lain-lain seperti yang terdapat dalam pemerintahan sekarang adalah karena tingkat kemajuan dunia pada saat itu belum sampai ke hal ini. Oleh sebab itu, pintu kemajuan tetap dibuka lebar oleh Nabi Saw. untuk umatnya yang datang kemudian. “Urusan keagamaan serahkan kepadaku. Namun, untuk urusan dunia, kamu lebih mengetahuinya”. Dasar-dasarnya telah Nabi Saw. tinggalkan. Selanjutnya, dapat dikembangkan menurut zaman dan tempat.
Diwajibkan untuk taat kepada Allah, Rasulullah Saw., dan ulil amri (orang yang menjalankan pemerintahan). Selama ulil amri itu masih menjalankan aturan Allah. “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil amri darimu”
Dalam kata darimu dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintahan yang berdiri atas kehendak rakyat, untuk rakyat, dan dengan rakyat. Kewajiban atas seseorang (untuk taat), baik pada perkara yang disukai maupun yang dirasa berat selama tidak diperintahkan berbuat maksiat. Kalau diperintahkan berbuat maksiat, tidak ada kewajiban mendengar dan menaati. Di sini ada hak untuk menyatakan pikiran dan menentang.
“Kalau Allah menghendaki kebaikan bagi seorang kepala pemerintahan, dijadikan baginya seorang wazir (perdana menteri) yang jujur. Apabila ia lupa diingatkannya (wazir), dan kalau ia ingat dibantunya. Dan jika Allah menghendaki yang lain dari itu, dijadikan baginya wazir yang jahat. Jika ia lupa tidak diingatkannya, dan jika ia ingat tidak dibantunya”.
“Apabila seorang hamba Allah, yang diserahi Allah tanggung jawab untuk menjaga rakyat, wafat, padahal kala hidupnya ia selalu berlaku curang kepoda rakyatnya akan Allah haramkan baginya untuk memasuki surga”.
“Barangsiapa yang kamu angkat untuk mengerjakan suatu pekerjaan,dan Kami tentukan pula rezekinya. Jika ada yang diambilnya, itulah yang disebut ghulul (penipuan, korupsi)”.
Nabi Muhammad berpesan, apabila manusia telah meninggal agar segera dimakamkan. Nabi sendiri baru dimakamkan setelah tiga hari beliau wafat. Hal ini bisa terjadi karena para sahabat “sibuk” dalam perebutan kekuasan untuk menggantikan posisi Nabi sebagai kepala negara (Madjid, 2015). Fatimah, puteri Nabi, sampai marah kepada para sahabat Nabi karena jenazah ayahnya tidak segera dimakamkan (Audah, 2003). Jadi Nabi adalah korban pertama politik perebutan kekuasaan, pasca-Nabi wafat.
Menurut Harun Nasution (2001), bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan malahan persoalan politik.
Sewaktu Nabi mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah, beliau belum dapat membentuk suatu masyarakat yang kuat lagi berdiri sendiri. Umat Islam di waktu itu baru dalam kedudukan lemah, tidak sanggup menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi bersama Sahabat dan umat Islam lainnya, seperti diketahui, terpaksa meninggalkan kota ini dan pindah ke Yasrib, yang kemudian terkenal dengan nama Medinah, yaitu Kota Nabi.
Di kota ini keadaan Nabi dan umat Islam mengalami perubahan yang besar. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupakan umat lemah yang tertindas, di Medinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu negara, suatu negara yang daerah kekuasaannya diakhir zaman Nabi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Dengan kata lain di Medinah Nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat Kepala Negara.
Jadi sesudah beliau wafat, beliau mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Dalam kedudukan beliau sebagai Rasul, beliau tentu tak dapat diganti. Sebagai diketahui dari sejarah pengganti beliau yang pertama ialah Abu Bakar. Abu Bakar menjadi kepala negara yang ada pada waktu itu dengan memakai gelar khalifah, yang arti lazimnya ialah pengganti (Inggris : successor).
Kemudian setelah Abu Bakar wafat, Umar Ibn Al-Khattab menggantikan beliau sebagai khalifah yang kedua. Usman Ibn Affan selanjutnya menjadi khalifah yang ketiga dan pada pemerintahannyalah mulai timbul persoalan-persoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang lemah dan tak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat Arab pada waktu itu. Ia mengangkati mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah-daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar, khalifah yang dikenal sebagai orang kuat dan tidak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman. Politik nepotisme ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi kedudukan Usman sebagai khalifah. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, akhrinya berpaling. Orang-orang yang ingin menjadi khalifah atau orang-orang yang ingin calonnya menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul itu. Di daerah-daerah timbul perasaan tidak senang. Di Mesir Amr Ibn Al-Aas dijatuhkan sebagai gubernur dan diganti dengan Ibn Abi Sarh, salah seorang dari anggota keluarga Usman. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus pemberontak bergerak dari Mesir menuju Medinah. Perkembangan suasana di Medinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir itu.
Setalah Usman wafat, Ali Ibn Abi Talib, sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segara ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Dalam peperangan yang terjadi Talhah dan Zubeir mati terbunuh, sedang Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Mu’awiah, Gubernus Damaskus dan anggota keluarga yang terdekat dengan Usman Ibn Affan. Mu’awiah juga tidak mengakui Ali sebagai khalifah bahkan ia menuduh Ali turut campur tangan dalam soal pembunuhan Usman, karena salah satu dari pemuka pemberontak, Muhammad, adalah anak angkat Ali. Antara kedua golongan akhirnya terjadi peperangan di Siffin, Irak. Tentara Ali dapat mendesak tentara Mu’awiah sehingga yang tersebut akhir ini telah bersedia untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu’awiah, Amr Ibn Al-Aas, yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an ke atas. Imam-imam yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan hakam, yaitu arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang : Amr Ibn Al-Aas dari pihak Mu’awiah dan Abu Musa Al-Asy’aru dari pihak Ali.
Dalam pertemuan mereka berdua, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa antara keduanya terdapat permufakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiah. Dan tradisi menyebut bahwa Abu Musa sebagai yang tertua, berbicara lebih dahulu dan mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Tetapi Amr, yang berbicara kemudian mengumumkan hanya menyetujui untuk menjatuhkan Ali sebagai telah dijelaskan Abu Musa dan menolak untuk menjatuhkan Mu’awiah. Peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiah. Mu’awiah yang pada mulanya hanya berkedudukan gubernur kini naik derajatnya menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini tidak diterima Ali dan tak mau meletakkan jabatan sehingga ia mati terbunuh di tahun 661 M. Tetapi ia tidak dapat lagi melawan Mu’awiah, bukan hanya karena telah mempunyai saingan dalam kedudukannya sebagai khalifah, tetapi juga karena kekuatan militernya telah pula menjadi lemah.
Keadaan Ali menerima tipu muslihat Amr mengadakan arbitrase sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagaian dari tentaranya. Tentara ini mengasingkan diri dan ke luar dari barisan Ali. Mereka terkenal dalam sejarah dengan nama Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar. Mereka mengatur barisan mereka dan selanjutnya menentang Ali. Antara Ali dan mereka terjadi peperangan. Dalam peperangan itu kaum Khawarij kalah, tetapi tentara Ali telah terlalu lemah untuk dapat meneruskan peperangan melawan Mu’awiah. Mu’awiah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah wafatnya Ali ia dengan mudah dapat memperkuat kedudukannya sebagai khalifah di tahun 661 M.
Dari sejarah ringkas di atas dapat dilihat bahwa pada waktu itu telah timbul tiga golongan politik, gologan Ali yang kemudian dikenal dengan nama Syi’ah, golongan yang ke luar dari barisan Ali yaitu kaum Khawarij, dan golongan Mu’awiah, yang kemudian membentuk Dinasti Bani Umayyah dan membawa sistem kerajaan dalam Islam.
Perlu dijelaskan bahwa khalifah (pemerintahan), yang timbul sesudah wafatnya Nabi Muhammad Saw., tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat merupakan republik, dalam arti, kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Sebagai diketahui khalifah pertama adalah Abu Bakar dan beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad Saw. Khalifah kedua, Umar Ibn Al-Khattab, juga tidak mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar, demikian pula khalifah ketiga Usman Ibn Affan dan khalifah keempat Ali Ibn Talib, satu sama lain tidak mempunyai hubungan darah. Mereka adalah sahabat Nabi dan dengan demikian hubungan mereka sesama mereka merupakan hubungan persahabatan.
Abu Bakar diangkat menjadi khalifah bukan atas tunjukan Nabi Muhammad Saw., karena beliau wafat dengan tidak meninggalkan perintah ataupun pesan tentang pengganti beliau sebagai kepala negara. Abu Bakar diangkat atas dasar permufakatan pemuka-pemuka Ansar dan Muhajirin dalam Rapat Saqifah di Medinah. Pengangkatan itu kemudian mendapat persetujuan dan pengakuan umat, yang dalam istilah Arabnya disebut bay’ah.
Umar menjadi khalifah kedua atas pencalonan Abu Bakar yang juga segera juga mendapat persetujuan umat. Penentuan Usman pengganti Umar dirundingkan dalam rapat Enam Sahabat. Usman juga segera mendapat bay’ah dari umat. Setelah Usman mati terbunuh, Alilah merupakan calon terkuat untuk menjadi khalifah ke empat. Tetapi bay’ah yang diterima Ali tidak lagi sebulat bay’ah yang diberikan umat kepada khalfifah-khalifah sebelumnya. Khalifah Ali, sebagai dilihat di atas, mendapat tantangan dari Mu’awiah di Damaskus dan dari Talhah, Zubeir dan Aisyah di Mekkah.
Demikianlah ungkapan sejarah tentang pengangkatan sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. itu menjadi khalifah. Jelas bahwa cara pengangkatan kepala negara sebagai yang diungkapkan sejarah ini, bukanlah cara yang dipakai dalam sistem kerajaan. Cara itu lebih sesuai untuk dimasukkan ke dalam sistem pengangkatan kepala negara dalam pemerintahan demokrasi.
Menurut Sumanto Al Qurtuby (2023), Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals, dalam tulisannya yang berjudul “Prahara Sudan”, Sudan untuk kesekian kali kembali dilanda kekerasan dan krisis kemanusiaan hebat. Antarfaksi kembali berperang dan saling berebut kekuasaan.
Kali ini, terhitung sejak 23 April 2023, yang berperang adalah faksi militer Abdel Fattah al-Burhan yang berkuasa sejak 2021 melalui kudeta militer, versus rivalnya, Mohammad Hamdan Dagalo, Komandan Rapid Support Forcess/ RSF (quwwat ad-da’m as-sari’). Tak pelak, akibat perang dan kekerasan itu, ratusan nyawa kembali melayang sia-sia. Harta benda kembali sirna. Ribuan lain menderita luka-luka. Khartum dan sejumlah kota lain kembali porak poranda.
Entah sudah berapa kali Sudan yang lebih dari 90 persen berpenduduk Muslim ini dilanda perang sipil dan kekerasan brutal yang memilukan.
Sejak merdeka dari Inggris dan Mesir tahun 1956, Sudan berkali-kali mengalami kudeta militer berbuntut perang dan kekerasan, yang memakan jutaan korban. Para penguasa Sudan bisa dipastikan tampil di panggung kekuasaan melalui kudeta berdarah. Jafar Numeiri, Omar al-Bashir, Ahmed Awad ibn Auf, dan Abdel Fattah al-Burhan, memimpin lewat kudeta militer.
Kini, Dagalo mencoba keberuntungan melalui cara dan taktik yang sama. Karena itu, tak salah jika Sudan bisa disebut sebagai “negeri kudeta”.
Namun, harap diingat, perang dan kekerasan di Sudan bukan hanya terjadi setelah merdeka. Jauh sebelum merdeka, Sudan sudah akrab dengan perang dan kekerasan antarfaksi. Bahkan, sejak pendirian Kerajaan Kerma tahun 2500 SM, Sudan sudah menjadi ajang perebutan kekuasaan berbagai kelompok.
Ada sejumlah pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kasus Sudan :
Pertama, pluralitas atau kemajemukan jika tidak dikelola dengan baik, cermat, dan hati-hati bisa berubah atau menjelma jadi bencana dan malapetaka. Sudan sangat majemuk, baik dari aspek etnis, suku, klan, agama, politik, maupun ideologi. Berbagai kelompok etnis dan suku besar tinggal di Sudan : Arab, Nubia, Beja, Fur, Nuba, Dinka, dan sebagainya.
Ini belum termasuk ratusan subsuku dan klan. Etnik Arab yang dominan di Sudan (lebih dari 70 persen) juga terpecah jadi sejumlah faksi besar, seperti Jalayin dan Juhainah; masing-masing terpecah lagi menjadi sub-sub klan yang kompleks. Meskipun Muslim mayoritas, mereka terpecah belah menjadi berbagai kelompok : Islamis, salafi, sufi, nasionalis, sekularis, tradisionalis, komunis, dan sebagainya. Tragisnya setiap faksi agama, ideologi, politik, dan etnis atau suku ini ingin jadi penguasa.
Kedua, demi kekuasaan, pemimpin (penguasa) bisa berubah bak bunglon dan bergabung dengan kelompok mana saja (sekalipun berseberangan ideologi) yang dipandang menguntungkan dan bisa mempertahankan/ menyelamatkan kekuasaan. Watak penguasa itu pragmatis – oportunis, jauh dari idealisme yang dikampanyekan.
Numeiri, misalnya. Awalnya seorang sekularis, sosialis, dan pan-
Arabis, belakangan, awal 1980-an, bergabung dengan kelompok militan Islamis (pendukung ideologi Islamisme) yang menyebabkan perang sipil berkepanjangan. Demikian pula dengan Omar al-Basir, penguasa terlama Sudan yang berhasil memerintah setelah mengkudeta Sadiq al-Mahdi, juga pemimpin ordo Sufi, al-Ansar.
Ketiga, ideologi, agama, dan aliran apa pun yang dianut penguasa tak menjamin negara dan rakyat jadi adil, makmur, aman, damai, dan sentosa. Kelompok sekuler, sosialis, demokrat, nasionalis, sufi, dan Islamis sudah silih berganti menguasai dan memerintah Sudan.
Tak satu pun berhasil membawa Sudan jadi negeri sejahtera, damai, dan bebas perang. Itu artinya, identitas apa pun yang dianut penguasa tidak selalu berbanding lurus dengan tindakan atau perilaku mereka.
Yang diperlukan pemimpin sejatinya bukan “identitas primordial” (agama, ideologi, etnis) yang melekat pada dirinya, melainkan watak dan perilaku yang bersih, jujur, dan adil, kemauan untuk bekerja demi kemaslahatan publik; komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan dan terpeliharanya keberagaman.
Keempat, sistem politik-ekonomi dan hukum apa pun yang dipakai, termasuk penerapan syariat Islam secara formal yang dipaksakan pemerintah sejak awal 1980-an di era rezim Numeiri sebelum dihapus pada 2019, hanyalah “kendaraan/ alat tunggangan” rezim penguasa guna menguasai aset ekonomi dan kekayaan negara, bukan demi menegakkan Islam atau ideologi seperti mereka propagandakan.
Belajar dari tragedi Sudan, kita perlu lebih waspada dalam menyikapi fenomena sosial-keagamaan dan kepolitikan serta bijak dalam mengelola kemajemukan bangsa. Jika lengah, bukan tak mungkin apa yang menimpa Sudan bisa melanda negeri kita, Indonesia tercinta.
Profil Kepribadian Nabi Muhammad
Kepribadian seorang pemimpin, merupakan salah satu faktor penting yang menunjang keberhasilan kepemimpinannya. Kata orang, banyak yang gagah, tetapi tidak semua yang gagah berwibawa. Ada yang gagah dan berwibawa, tetapi orang lain yang melihatnya tidak simpati padanya. Ada juga yang gagah, berwibawa, orang simpati kepadanya, tapi dia tidak bersimpati pada orang lain.
Nabi Saw. menghimpun keempat hal diatas : gagah, berwibawa, yang mengenal beliau simpati kepadanya, beliau pun bersimpati pada semua orang. “Sesungguhnya engkau (wahai Nabi Muhammad) berada di atas budi pekerti yang luhur” (QS Al-Qalam [68] : 4). “Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang luhur” (HR Malik, Ahmad dan Bukhari).
Oleh karena itu, Allah memerintahkan manusia untuk meneladani sosok agung itu (QS Al-Ahzab [33] : 21). Memang, yang dituntut dari umat manusia bukan sekedar mempercayai bahwa beliau adalah utusan Allah tetapi juga menjadikan beliau teladan yang harus diikuti (QS Al-‘Araf [7] : 158).
Menurut Quraish Shihab (2018), dalam bukunya : “membaca Sirah Nabi Muhammad, Dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih”, beberapa keistimewaan sifat-sifat beliau :
1. Tulus
Tugas pokok para Nabi adalah berdakwah. Menyampaikan ajaran dan memberi contoh pengamalan. Dalam berdakwah, beliau tidak menuntut upah, apalagi kekuasaan. Ketika ditawari aneka fasilitas, seperti harta, wanita, dan tahta dengan syarat menghentikan dakwahnya, beliau menolak dengan tegas.
2. Adil
Beliau menegakkan keadilan walau atas diri sendiri. Suatu ketika menjelang Perang Badar, Nabi Saw. melakukan inspeksi dan menemukan Sawad ibn Ghaziyah keluar dari shaf. Tidak berbaris dengan baik dan dalam keadaan tanpa busana (baju) sehingga perutnya terlihat. Beliau menusuk perut Sawad dengan memakai semacam siwak dan dengan cara yang tidak menyakitkan. Yang ditusuk itu pura-pura kesakitan dan menuntut balas. Maka, Nabi Saw. mempersilahkannya, tapi Sawad meminta Nabi Saw. membuka baju beliau agar perutnya ditusuk dengan cara yang sama. Sebab, itulah yang adil. Nabi Saw. pun membuka baju beliau lalu sang penuntut yakni Sawad – tanpa diduga siapa pun – memeluk dan mencium Nabi Saw. Sawad kemudian ditanya mengapa melakukan itu? Dia menjawab, “ Sebentar lagi akan berkecamuk perang, aku khawatir gugur dan aku ingin kulit terakhir yang menyentuh kulitku adalah kulit Rasul Saw.” (HR Abdurrazzak).
Demi penegakan keadilan beliau menegaskan, “Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, niscaya kupotong tangannya”, (HR Bukhari)
3. Amanah
Beliau terpercaya di tengah masyarakat Jahiliah bahkan jauh sebelumn diangkat sebagai Rasul. Beliau telah dipercaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tentang siapa yang wajar untuk meletakkan kembali Hajar Aswad setelah perbaikan Ka’bah.
Ketika delegasi kaum musyrik Mekkah yang dipimpin Abu Sufyan datang di Habasyah dan meminta penguasanya untuk mengusir kaum Muslimin yang berhijrah ke sana, Heraqel, Sang Penguasa bertanya tentang kepercayaan Islam dan tentang Nabi Muhammad Saw. Dijawab Abu Sufyan, bahwa “Dia (Muhammad) mengajarkan shalat, kebenaran dalam berucap dan bertindak, kesucian diri, kesetiaan memenuhi janji dan amanah”. Demikian kesaksian Abu Sufyan saat masih menjadi lawan.
4. Sabar
Tiga belas tahun lamanya sejak pengangkatan beliau sebagai Nabi, beliau sabar menghadapi aneka gangguan, misalnya dilempari kotoran/ isi perut binatang saat beliau sujud dalam shalat. Disamping makian dan ancaman. Namun, semua itu dihadapi dengan sabar dan bertahan, tidak meninggalkan Mekkah sampai mendapat izin Allah untuk berhijrah ke Medinah. Memang, sejak dini Allah telah berpesan kepada beliau agar bersabar sebagaimana para Nabi terdahulu bersabar.
Ketika para sahabat mengusulkan agar beliau memohon kepada Allah agar mereka dikutuk dan dibinasakan Allah, beliau menolak dan menyatakan : “Aku tidak diutus sebagai seorang pelaknat (yang memohonkan jauhnya rahmat Tuhan terhadap siapa pun), tapi aku diutus sebagai rahmat” (HR Muslim).
5. Lapang Dada
Seorang ulama Ahl Kitab Zaid Ibn Sa’nah, pernah menyampaikan : “Semua tanda-tanda kenabian telah saya lihat pada wajah Nabi Muhammad Saw. Kecuali dua yang saya lihat hanya ia yang memilikinya : kelapangan dadanya mengalahkan ajakan kepicikan dan perlakuan picik terhadapnya tidak menambahnya kecuali kelapangan dada. Maka aku berbaik-baik kepadanya agar dapat bergaul lebih dekat untuk mengukur kelapangan dadanya ..... Maka, aku menjual kurma kepadanya dengan harga utang untuk dibayar sekian hari kemudian. Tetapi, sebelum jatuh tempo aku datang menarik bajunya, sambil memandangnya dengan pandangan penuh amarah lalu berucap, ‘ Hai Muhammad ! Tidakkah engkau mau membayar utangmu ! Demi Allah kalian putra-putra Abdul Mutthalib senang menunda pembayaran utang. Dan ini telah saya ketahui setelah bergaul dengan kalian”.
Umar Ibn Khattab yang hadir ketika itu marah dan berkata, “Hai musuh Allah ! Apakah engkau berucap terhadap Rasulullah seperti apa yang aku dengar? Kalau aku tidak berhati-hati karena khawatir terjadinya sesuatu yang amat buruk, pasti aku penggal kepalamu !”. Rasul Saw. yang mendengar dan melihat sikapku – ujar Sayyidina Umar – menegurku, mengharap aku tenang lalu sambil tersenyum beliau bersabda, “Saya dan dia lebih membutuhkan sesuatu daripada apa yang terjadi ini. (Yakni) Engkau memintaku melunasi utang dengan baik dan memintanya bersikap baik dalam menuntutnya”.
Lalu Nabi Saw. memerintahkan Sayyidina Umar membayar si penagih dan memberinya hadiah karena Umar telah menakutkannya.
Si Yahudi Ahl Al-Kitab itu kemudian menceritakan maksud sikapnya itu sambil berkata, “Aku bersaksi di hadapanmu bahwa aku telah ridha terhadap Allah selaku Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi”. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, at-Thabarani, al-Hakim.
Ketika seorang penduduk gunung datang ke masjid Nabi Saw. di Medinah dan kencing di sekitar masjid. Sementara sahabat Nabi Saw. bangkit dan dengan kasar melarangnya. Nabi Saw. bersabda, “Biarkan dia. Jangan putus (aliran kencingnya)”.
Setelah selesai, Nabi pun meminta dibawakan seember air lalu menuangkan ke tempat kencing itu, lalu Nabi menasihati penduduk gunung itu, “ Masjid-masjid bukan tempat untuk kencing atau sesuatu yang kotor, tetapi ia untuk berzikir, shalat, dan membaca Al-Qur’an” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain ditambahkan bahwa Nabi Saw. menegur juga sahabat beliau, “ Kalian bertugas mempermudah bukan mempersulit” (HR Bukhari dan Muslim).
6. Dermawan
Kedermawan beliau sangat menakjubkan. Bukan saja karena beliau tidak mengharapkan ucapan terima kasih atau pujian di balik itu, tapi juga karena beliau memberi apa yang ada genggaman tangan beliau kendati beliau dan keluarga butuh. Dalam konteks ini juga Nabi Saw. juga bersabda, “Seandainya aku memiliki emas sebanyak pegunungan Uhud, tidak akan menyenangkan hatiku bila berlalu tiga hari (lalu itu kubagikan) dan tidak ada lagi yang tersisa dari kecuali apa yang saya sisakan untuk membayar utang” (HR Bukhari).
Karena itu tidak seorang pemintapun yang beliau tolak kecuali jika memang beliau benar-benar tidak memiliki sesuatu. Dan dalam kasus hampa tangan pun tidak jarang beliau menganjurkan yang berpunya di antara sahabat-sahabat beliau agar memenuhi harapan si peminta. Demikian itu karena beliau malu untuk mempermalukan yang minta. Sebab itu beliau berpesan, “Jangan menolak peminta walau ia datang menunggang kuda” (HR Abu Daud).
7. Rendah Hati
Rasulullah Saw. dikenal sangat rendah hati dan sederhana. Berkali-kali beliau menegaskan bahwa semua manusia sama kemanusiaannya, yang membedakan adalah takwanya. Memang sesekali beliau menyebut keistimewaan beliau, tetapi itu karena informasi tentang keistimewaan tersebut dibutuhkan dalam konteks pemahaman ajaran agama. Itu pun beliau sampaikan sambil menekankan kalimat wa la fakhr, yang antara lain berarti : Aku menyampaikannya bukan dengan maksud membanggakan diri, tetapi sebagai tanda syukur.
Beliau – sebagimana dituturkan oleh sahabat dan pembantu beliau – memakai pakaian yang kasar, menunggang keledai, duduk di tanah, memerah susu kambing dan duduk makan di lantai. Beliau sering bersabda, “Aku hanyalah seorang hamba, Aku makan sebagimana seorang hamba makan dan duduk sebagaimana seorang hamba duduk” (HR Abdurrazzaq).
8. Setia dan Penuh Kasih
Beliau adalah sosok yang penuh kasih dan selalu beinteraksi harmonis dengan siapa pun yang dikenalnya. Sifat ini terekam oleh sejarah sejak beliau kecil.
Di umur sekitar enam puluh tahun, beberapa sahabat mendengar tangis beliau yang cukup menyedihkan ketika beliau menziarahi kubur ibundanya.
Ketika ibu susunya, Halimah As-Sa’diyah, berkunjung menemuinya, belaiu menyambutnya dengan seruan “Ibuku Ibuku !”, sambil menghamparkan serbannya untuk diduduki dan memegang payudara yang pernah dikecup air susunya, padahal ketika itu beliau telah melampaui usia empat puluh tahun.
Ketka beliau bertemu dengan pengasuh beliau di masa kecil – berkulit hitam dan tidak fasih berbahasa – beliau menyambutnya sambil bersabda, “Siapa yang ingin kawin dengan penghuni surga, hendaklah dia menikahi perempuan ini, Ummu Aiman”.
Kasih sayang beliau tidak hanya tertuju kepada manusia, tetapi juga kepada binatang bahkan benda-benda tak bernyawa yang beliau beri nama-nama seakan-akan benda itu adalah makhluk-makhluk hidup yang siap memberi dan menerima persahabatan dan kasih sayang.
9. Kesatria
Ketika Nabi Saw. masih di Mekkah, Ubay Ibn Khalaf, salah seorang tokoh kaum musyrik, sambil menunggang kuda, mengancam akan membunuh beliau. Nabi Saw. – kendati di Mekkah belum banyak pengikut beliau – manyatakan,“Dengan izin Allah, saya, insya Allah, akan membunuhmu”. Nah, dalam perang Uhud, saat Nabi Saw. sedang terluka, Ubay datang menantang Nabi Saw. dan enggan dihadapi oleh selain Nabi. Maka, beliau tampil menghadapinyua saat si musyrik itu menunggang kudanya. Nabi melemparnya dengan lembing sehingga ia terjatuh dari kudanya, lalu Nabi Saw. mendatanginya untuk menusuk lehernya yang mengakibatkannya tewas dalam perjalanan pulang ke Mekkah dari Uhud. Ubay Ibn Khalaf adalah satu-satunya manusia yang “memperoleh kehormatan” dibunuh Nabi Saw.
Seorang pegulat terkenal pada masa beliau bernama Rukanah pernah menantang beliau bergulat. Nabi menerima tantangannya dan mampu melumpuhkan sang pegulat (HR Abu Daud).
Beliau adalah sosok pemberani. Sahabat beliau yang sering melayani beliau Anas Ibn Malik menceritakan bahwa suatu ketika di Medinah terjadi suara yang demikian keras sehingga menimbulkan rasa takut penduduk. Tiba-tiba Rasul Saw. datang dengan mengendarai kuda dan pedang terhunus, sambil menenangkan penduduk. “Jangan takut ! Jangan takut” (HR Bukhari dan Muslim).
Sahabat Nabi Al-Bara’ menyampaikan bahwa ketika pasukan kaum muslimin kocar-kacir dalam Perang Hunaian, dan sebagian mereka lari, Rasul Saw. tetap bertahan sambil menunggang bagal dan berseru memanggil pasukan “Aku adalah Nabi. Aku putra Abdul Mutthalib. Ya Allah, curahkanlah pertolongan-Mu” (HR Bukhari dan Muslim).
Selanjutnya, Al-Bara’ menyampaikan, “Bila situasi gawat dan perang berkecamuk, kami justru berlindung di sekitar Nabi Saw.” (HR Ahmad).
10. Tawakal Setelah Usaha Maksimal
Tawakal setelah usaha maksimal yang diperagakan Nabi Saw. terlihat dengan jelas antara lain dalam sikap beliau pada saat Hijrah dan Perang Badar. Pada saat hijrah, setelah menempuh sekian banyak langkah untuk mengamankan perjalanan ke Medinah, antara lain dengan mempersiapkan tunggangan, penunjuk jalan (pemberi informasi), dan bekal perjalanan, kemudian beliau berlindung dalam satu gua.
Ketika beliau dan Sayyidina Abu Bakar berada di dalam gua, kumpulan kaum musyrik yang mencari beliau telah tiba di mulut gua. Sayyidina Abu bakar sangat gelisah, takut, dan khawatir jangan sampai Rasul Saw. tertangkap sehingga risalah kenabian tidak berlanjut. Namun, ketika itu Nabi Saw. menenangkan beliau, “ Jangan takut dan sedih, Allah bersama kita” (baca QS At-Taubah [9] : 40).
Beliau tenang dan menenangkan karena tidak ada lagi yang dapat dilakukan dalam gua itu kecuali tawakal kepada Allah setelah usaha maksimal. Ini berbeda dengan sikap beliau ketika Perang Badar. Ketika itu beliau khawatir dan terus-menerus berdoa sehingga selendang beliau jatuh, “Ya Allah jika engkau membinasakan kelompok penganut agama Islam ini maka Engkau tidak akan disembah lagi di bumi”. Ucapan beliau agaknya disebabkan karena beliau sadar bahwa beliau adalah Nabi terakhir yang diutus Allah sehingga bila dan pasukan gugur maka tidak akan ada lagi Nabi yang berjuang untuk penegakan ajaran Ilahi.
Sayyidina Abu Bakar menenangkan beliau dengan berucap, “Cukup ! Cukup ! Allah pasti mewujudkan apa yang dijanjikan-Nya kepadamu (membela dan memenangkanmu)”.
Sikap Nabi yang berbeda dengan sikap beliau di gua itu disebabkan oleh kesadaran beliau tentang tanggung jawab yang besar terhadap penyebaran agama dan keselamatan pasukan, padahal ketika itu beliau khawatir, jangan sampai upaya-upaya beliau belum maksimal.
Suatu ketika beliau bersandar sambil berteduh di bawah sebuah pohon setelah kembali dari perang yang terjadi di musim panas. Beliau terlena. Dan tanpa beliau sadari, pedang beliau yang tergantung di dahan pohon diambil oleh seseorang. Sambil menghunusnya, orang itu berkata kepada Nabi, “Siapakah yang dapat melindungimu dari pedang ini?”.
Nabi Saw. menjawab, “Allah”. Mendengar suara Nabi Saw. yang demikian tegas dan penuh percaya diri, sang musyrik gemetar dan pedang Nabi Saw. yang dipegangnya terjatuh dari tangannya. Nabi kemudian mengambil pedang itu lalu bertanya, “Kini, siapakah yang dapat melindungimu?”. Sang musyrik terdiam. Nabi Saw. lalu membiarkannya pergi tanpa mengganggunya sedikitpun (HR Bukhari dan Muslim).
Negara Bahagia, Kesehatan Otak, dan Pesan untuk Kepala Negara
Menurut Pekka Kaihilahti (2023), Duta Besar Finlandia untuk Indonesia, dalam tulisannya yang berjudul “Semua Bisa Bahagia”, PBB telah meliris Laporan Kebahagiaan Dunia 2023. Pada laporan tersebut, Finlandia didaulat menjadi negara terbahagia untuk enam tahun berturut-turut.
Dalam pepatah Finlandia, “Kell’ onni on, se onnen kathekoon”, yang artinya siapa yang memiliki kebahagiaan harus menyembunyikannya, sebuah pepatah agar orang-orang tidak menyombongkan kebahagiaan yang dimiliki. Namun, bukan dalam rangka menyombongkan diri jika beliau menceritakan rahasia dalam membahagiakan warga Finlandia.
Mengukur kebahagiaan adalah sesuatu yang sulit. Tak ada gading yang tak retak. Meski tak sempurna, komunitas internasional menandai laporan ini sebagai salah satu upaya yang cukup baik untuk mengukur kebahagiaan di seluruh dunia.
Pengukuran Indeks Kebahagiaan pada laporan itu secara umum didasarkan pada konsep life ladder (tangga kehidupan).
Di sini responden ditanya, “Coba bayangkan sebuah tangga dengan anak tangga bernomor dari 0 pada anak tangga terbawah hingga 10 pada anak tangga teratas. Bagian-bagian teratas dari tangga mewakili kemungkinan kehidupan terbaik untuk Anda dan bagian-bagian terbawah tangga mewakili kehidupan terburuk untuk Anda. Saat ini, di anak tangga manakah Anda secara pribadi merasa berdiri?”.
Dari pertanyaan ini, jawaban dari responden kemungkinan besar merepresentasikan, kebahagiaan adalah kepuasan terhadap capaian hidupnya saat ini.
Laporan ini kemudian memformulasikan bahwa terdapat enam variabel utama yang dapat menjelaskan kebahagiaan tersebut, yaitu : 1) PDB per kapita; 2) Dukungan sosial; 3) Angka harapan hidup yang sehat secara fisik maupun mental; 4) Kebebasan dalam membuat keputusan hidup; 5) Kemurahan hati dan kedermawanan, dan 6) Persepsi terhadap korupsi.
Di Finlandia, aspek-aspek seperti demokrasi yang berjalan baik, pemilu yang bebas, kebebasan pers, korupsi yang rendah, dan layanan jaminan sosial yang inklusif, sudah jadi bagian dari budaya warga Finlandia. Hal ini telah membentuk persepsi kesejahteraan yang kuat dan telah membawa Finlandia ke puncak kehidupan yang membahagiakan.
Finlandia menawarkan kualitas hidup yang luar biasa bagi para penduduknya. Kondisi kesehatan, pendidikan, dan stabilitas politik yang tinggi di negara ini menghasilkan suasana membahagiakan untuk tinggal dan berkembang.
Di Finlandia, rakyat menikmati tingkat kesetaraan jender yang tinggi, yang memungkinkan orangtua menikmati fleksibilitas yang memudahkan mereka untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan keluarga.
Dengan menyediakan fasilitas penitipan anak yang terjangkau dan pembatasan jam kerja maksimal delapan jam sehari serta liburan musim panas hingga empat pekan, diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih baik bagi orangtua untuk menikmati kehidupan yang seimbang
Jam kerja yang ‘manusiawi’ berarti masyarakat dapat menikmati keseimbangan antara kehidupan keluarga dan kehidupan pekerjaan. Negara menjunjung tinggi keseimbangan antara kehidupan keluarga dan pekerjaan karena pekerja yang bahagia akan lebih produktif dan inovatif.
Finlandia adalah negara dengan hierarki yang egaliter di tempat kerja dan birokrasi perusahaan dijaga seminimal mungkin. Hal ini membuat segalanya berjalan lebih efisien.
Perusahaan-perusahaan di Finlandia mengadopsi agile organization yang artinya inovasi dapat diperkenalkan dan diterapkan dengan cepat. Perusahaan sangat menghargai inisiatif dalam lingkungan pekerjaan.
Negara Finlandia menjunjung tinggi keadilan dan kesempatan yang setara. Laporan ini tidak saja menempatkan Finlandia pada posisi teratas dalam Indeks Kebahagiaan, Finlandia juga menduduki posisi ketiga dalam rendahnya kesenjangan kebahagiaan antarwarga negaranya. Secara rata-rata, warga Finlandia mengakui tengah berdiri di anak tangga ke delapan dengan hanya kurang-lebih dua anak tangga antara yang kurang bahagia dan sangat bahagia. Pengalaman Finlandia menunjukkan bahwa sarana untuk membahagiakan masyarakat dapat dirancang dan dibangun.
Beliau mengakui, Indonesia juga merupakan satu di antara tak banyak negara di dunia yang memiliki Jaminan Kesehatan Semesta dengan JKN dan BPJS-nya. Hingga kini, tercatat 248,77 juta penduduk Indonesia adalah peserta BPJS atau ekuivalen dengan 90,73 peresen penduduk.
Yang terlansir dalam laporan ini, Indonesia mengungguli seluruh negara di dunia, termasuk Finlandia, dalam aspek kemurahan hati dan kedermawanan. Sejak 2020, Indonesia selalu menempati posisi pertama dalam aspek ini. Laporan lain oleh Charities Aid Foundation, yaitu World Giving Indeks juga menempatkan Indonesia di posisi serupa.
Kemurahan hati yang sangat tulus melahirkan solidaritas yang sangat luar biasa di masyarakat Indonesia, menjadi modal sosial yang tak ternilai. Demikianlah tulisan Pak Dubes Finlandia untuk Indonesia.
Berikut ini adalah Tabel Urutan Ranking 10 Negara dengan Tingkat Kebahagiaan Tertinggi di Dunia, berdasarkan World Happiness Report 2021, ditambah nomor urutan Negara Indonesia, sebagai berikut :
Peringkat Negara Skor Kebahagiaan
1 Finlandia 7.889
77 Indonesia 5.345
Berikut ini Tabel Ranking Indeks Persepsi Korupsi (IPK) untuk 10 Besar Negara di dunia, ditambah dengan Negara Indonesia, mulai tahun 2012 sampai dengan 2021, sebagai berikut :
Tahun Denmark New Zealand Indonesia
2012
2021
Bung Karno, Sang Proklamator, Bapak Bangsa, mengatakan, bahwa tantangan yang dihadapi generasi beliau lebih mudah dihadapi, karena musuh yang dihadapi sangat jelas, yaitu penjajah Belanda. Hal ini berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh generasi sesudah beliau, karena yang dihadapi adalah “penjajahan” yang dilakukan oleh bangsa sendiri yang melakukan korupsi ! Bung Karno juga berpesan agar jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah atau Jasmerah. Sejarah menunjukkan, kongsi dagang Belanda terbesar di dunia pada zaman itu, VOC, pun hancur karena koruspsi !!!
Bung Hatta, Sang Proklamator, Bapak Bangsa, mengatakan bahwa kurang pandai dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat diperbaiki dengan latihan. Tapi, kurang jujur susah untuk diperbaiki.
Kadang muncul ungkapan yang menyatakan bahwa hidup pada zaman sekarang, bila ingin menjadi orang yang bersih atau “Mr. Clean”, adalah sulit. Perlu dicamkan benar-benar bahwa setiap orang beriman dituntut untuk dapat melakukan mujahadah, menahan diri. Dengan demikian, ia tidak hanyut terbawa arus, dengan terus mentrasendensikan diri dari kultur politik yang ada. Dan inilah yang sesungguhnya dinamakan ketakwaan, demikian tulisan Nurcholish Madjid, 1998, Sang Guru Bangsa.
Menurut Muazin Bangsa, Buya Ahmad Safii Maarif, tantangan terberat yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan Pancasila, adalah mewujudkan Sila Kelima Pancasila, Keadialan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia !
Menurut Quraish Shihab (2006), dalam pandangan agama manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan petanya. Dalam Perjanjian Lama dinyatakan bahwa Allah berfirman : “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kejadian : 26). Maka Allah menciptakan manusia menurut gambarnya (Kejadian : 27). Dalam literatur agama Islam ditemukan sabda Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan : “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas petanya”. Ini artinya bahwa manusia dianugerahi daya-daya oleh Allah, yang bila diasah dan diasuh dengan baik akan berhasil menjadikannya manusia utuh yang mampu meneladani sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk.
Dari sini, moral yang manusiawi adalah pengejawantahan sifat-sifat Tuhan itu dalam tingkah laku manusia. Sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk dan hamba Tuhan, Yang Maha Kasih, Maha Pemaaf, Maha Damai, Maha Adil, dan juga Maha Perkasa dan Pedih siksa-Nya, tentu saja semuanya pada tempat, waktu, kadar dan sasaran yang tepat.
Manusia harus memiliki pilihan, tetapi pilihan tersebut bukan pilihan orang per orang secara individu, tetapi pilihan mereka secara kolektif. Dari sini, setiap masyarakat – secara kolektif – bebas memilih pandangan hidup dan tolok ukur moralnya, dan itulah yang dinamai “jati diri bangsa”.
Pancasila yang merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan jati diri bangsa ini. Ia adalah pilihan sejak dulu hingga kini, dan masih tetap kita nilai baik dan benar, walaupun dalam keseharian tidak jarang diabaikan. Sifat masyarakat kita sebagai masyarakat religius pun masih merupakan sifat yang kita akui bersama. Jika demikian, agama yang puncaknya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi tolok ukur akhlak yang luhur, bukan power (kekuatan).
Masyarakat yang pandangan hidupnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dapat menjadikan kekuatan sebagai tolok ukur akhlak mulia, karena Tuhan Yang Maha Esa itu, bukan hanya Tuhan buat mereka yang kuat, tetapi juga adalah Tuhan mereka yang lemah. Memang, boleh jadi pembela pandangan ini akan berkata bahwa kekuatan nurani harus dapat menghancurkan tirani, dan dari sini kekuatan tetap menjadi tolok ukur akhlak mulia. Namun, mereka lupa bahwa membela orang sakit berbeda dengan membela penyakit, dan bahwa memelihara yang sakit adalah sekaligus memelihara yang sehat, memelihara yang lemah, justru menjadi pembelaan bagi yang kuat. Di sisi lain, agama tidak memuji kelicikan untuk meraih kekuatan atau kemenangan, bahkan agama menilai siapa yang kalah dalam persaingan dan menerimanya secara kesatria itu lebih terpuji daripada menang dan meraih kekuatan dengan cara yang licik dan tidak sportif.
Manusia berasal dari kata manu (bahasa Sanskerta) dan mens (bahasa Latin) yang berarti “makhluk berakal budi”. Tanpa budi, akal manusia akan dipakainya untuk ngakali dan akal-akalan. Perilakunya tidak manusiawi, berubah menjadi perilaku hewani, homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Mestinya, menjadi homo homini socius.
Dengan akal budi manusia akan mendapatkan hati nurani. Tanpa akal budi yang didapatkan manusia adalah hati zulmani (zhulm), hati yang gelap, lalu menjadi “manusia gelap” atau zalim (zhalim). Sayangnya, hati zulmani belum masuk dalam kosa kata bahasa Indonesia (Madjid, 1998)..
Dalam Kitab Suci al-Qur’an kata al-‘Aql dan al-Nur, yaitu akal dan cahaya masing-masing 49 kali (Shihab et al., 2000). Apabila seseorang mendapatkan nur Ilahi, nampak mukanya bercahaya, wajahnya memancarkan kedamaian dan ketentraman. Meskipun jidatnya tidak hitam. Dengan kata lain menjadi manusia yang punya “hati nurani”. Orang lain pun yang berdekatan dengannya merasa nyaman dan damai karena selain wajahnya memancarkan kedamaian, juga karena dia tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar.
Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (rohani) , maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Dengan demikian, sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan tersebut diatas, sehat meliputi sehat jasmaniah, nafsaniah, rohaniah dan mujtama’iah. Banyak ulama yang mengkaitkan kata “sehat” dan “afiat”, karena sehat hanya dari segi jasmani, tetapi afiat adalah kesehatan tersebut plus afiat, yang makna dasarnya adalah keterhindaran dari kekurangan/ bencana, baik duniawi karena melanggar hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan alam, maupun ukhrawi akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat Ilahi (Shihab, 2006).
Belum ada definisi konkret tentang otak sehat. Karena itu mengacu pada Undang-Undang Kesehatan di atas, maka secara sederhana otak sehat dapat diartikan sebagai otak yang keberadaannya juga sehat secara fisik, mental, spiritual, dan sosial (Machfoed, 2016)
Otak sehat (healthy brain) amat penting bagi kehidupan seorang manusia, lebih-lebih untuk seorang pemimpin yang berotak sehat ibarat matahari yang menyinari semesta alam. Sinarnya membuat alam hidup bergairah. Otak sehat berbeda dengan otak normal (normal brain). Disebut normal, apabila otak memiliki struktur anatomi dan fungsi apa adanya (anatomical and physiological normally). Otak sehat bukan sekedar otak normal. Otak sehat tidak saja karena ia dapat berfungis secara baik, tetapi juga memilki nilai-nilai (values) tertentu terhadap setiap fungsi yang dimilikinya. Bahwa otak bukan semata-mata daging biasa seperti dipahami selama ini oleh masyarakat, tetapi memiliki nilai-nilai (values) membangun peradaban hingga bisa bertahan. Bahkan, kepemimpinan yang tepat, harus bisa mendayagunakan kemampuan otak secara optimal, sehinggga ia melampaui batas kenormalannya menuju kesehatan otak (Machfoed, 2016). Keunggulan manusia sudah jelas tergantung pada perkembangan otaknya. Fungsi otak memang menjadi ukuran keberadaan otak itu. Yang dinilai bukan ada tidaknya otak, tetapi sejauh mana otak dapat berfungsi. Karena otak yang difungsikan secara maksimal akan membawa pencerahan pada manusia (Pasiak, 2003).
Menurut Pasiak (2012), Prefrontal Cortex, otak yang letaknya di belakang dahi manusia, adalah otak yang hanya dianugerahkan Tuhan kepada manusia, hewan tidak. Oleh karena itu, tulang dahi manusia merupakan tulang tengkorak manusia yang paling tebal. Ini ibaratnya seperti untuk melindungi CPU pada komputer.
Budi (Prefrontal Cortex), ibaratnya Menteri Dalam Negeri untuk memimpin dan mengendalikan otak akal-pikiran yang ibaratnya Gubernur, dan otak emosi atau otak perasaan, ibaratnya Walikota/Bupati, agar mereka seiring sejalan, sehingga perilaku manusia bernilai di hadapan Tuhan maupun manusia lainnya. Perilakunya manusia yang manusiawi, bukan manusia yang berperilaku hewani. Hidupnya akan penuh makna (meaningful), tidak tanpa makna (meaningless) akibat melakukan perbuatan keji dan mungkar.
Oleh karena itu, Presidennya para Presiden, Tuhan Yang Maha Esa, dalam sehari semalam lima kali “open house” (ritual shalat), memberi peluang kepada Pak Mendagri menghadap dengan cara bersujud meletakkan dahinya di tempat sujud sebagai wujud puncak penghormatan kepada Yang Maha Tinggi, The Ultimate, setelah sebelumnya mengucapkan mohon pertolongan dan petunjuk yang lafalnya berbunyi : “Hanya kepada Tuhanlah manusia mengabdi dan memohon pertolongan, agar dibimbing (diantar) manusia (memasuki) jalan lebar dan luas, (yaitu) jalan manusia-manusia yang Tuhan anugerahi nikmat, bukan (jalan) manusia-manusia yang dimurkai Tuhan dan bukan (pula jalan) manusia-manusia yang sesat” (QS al-Fatihah [1] : 5 – 7).
Menurut Pasiak (2012), adapun fungsi Prefrontal Cortex adalah : 1) Perencanaan masa depan (future planning), Tuhan mengingatkan agar manusia melihat ke depan, menjadi manusia yang visioner, yaitu iman kepada hari Kemudian (the day After) yang merupakan hari pembalasan; 2) Penganbilan keputusan (decision making). Adapun keputusan yang bernilai apabila baik (sesuai dengan petunjuk Tuhan dalam Kitab Suci), benar (sesuai dengan ilmu pengetahuan), dan adil (sesuai dengan proporsinya); dan 3) Pengendali nilai (value).
Para Nabi adalah manusia yang diutus Tuhan, selain untuk menyampaikan ajaran agama, kabar gembira dan peringatan, juga sebagai contoh manusia yang sukses memfungsikan Prefrontal Cortex-nya sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Perilaku para Nabi penuh nilai-nilai moral (moral values). Oleh karena itu, para Nabi punya karakter sama, yaitu sidiq (lurus), jujur (mengatakan apa yang telah dilakukannya) dan berintegritas (melakukan apa yang telah dikatakannya), amanah (dapat dipercaya), menyampaikan pesan kebenaran (tabligh), dan smart, cerdas (fathonah). Dalam bahasa kesehatan, para Nabi tidak hanya sehat spiritual bahkan mencapai taraf bugar spiritual (moral fitness) !
Lewat surah al-Alaq [96] : 15, Tuhan memberitahu manusia, apabila manusia tidak memfungsikan Prefrontal Cotex-nya sesuai dengan nilai-nilai moral (moral values) yang diajarkan Tuhan dan diperagakan prakteknya oleh para Nabi, kelak ke neraka akan diseret pada jidatnya ! Tuhan sudah memberi Kitab Suci sebagai petunjuk dan para Nabi sebagai contoh suri tauladan agar manusia terbebas dari api neraka !!!
“Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian kata pepatah. Sayangnya, Bahasa Indonesia kita miskin, hanya mengenal dua kosa kata yang berkaitan dengan kesehatan, yaitu sehat jasmani dan sehat rohani. Akibatnya, gangguan jiwa (gangguan nafsani) dianggap atau dimasukkan ke dalam sakit atau gangguan rohani. Akibat lebih lanjut, pasien gangguan jiwa diperlakukan tidak sepatutnya, seperti : dipakai sebagai bahan lelucon, dilecehkan, direndahkan, membuat aib atau hina keluarga sehingga keluarganya merasa malu dan dipermalukan. Para pelaku amal salah ini, justru dilakukan oleh mereka yang merasa sehat rohani. Ironi !
Penyebab gangguan jiwa adalah multifaktorial : organobiologik, psikoedukatif, dan sosiokultural. Oleh karena itu, imunisasi untuk mencegah timbulnya gangguan nafsani atau jiwa, hingga saat ini belum ditemukan. Maka, gangguan jiwa bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Bisa menimpa dari sinden sampai presiden, dari dukun sampai dekan, dari selebriti sampai politisi !
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”, demikian pesan pejuang bangsa WR Supratman (1928) lewat lirik lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Adapun ciri-ciri seseorang itu sehat jiwanya adalah : 1) Menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya; 2) Mampu menghadapi stres kehidupan yang wajar; 3) Mampu bekerja secara produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya; 4) Dapat berperan serta dalam lingkungan hidupnya; 5) Menerima baik dengan apa yang ada pada dirinya; dan 6) Merasa nyaman bersama dengan orang lain.
Lalu siapakah yang sebenarnya sakit rohani ??? Contoh paling gamblang adalah koruptor ! Lalu apa bedanya antara maling jemuran dengan koruptor? Maling jemuran ada niat dan peluang. Sedangkan koruptor itu ada niat, peluang dan kekuasaan !
Kata Lord Acton, “Kekuasaan itu cenderung korup. Semakin absolut kekuasaannya semakin albsolut pula korupsinya”. Maka, maling jemuran adalah sakit rohani kelas teri. Sedangkan koruptor mbahnya sakit rohani. Jika pasien gangguan jiwa berat (psikosis) sampai melakukan tindakan merusak atau mengamuk, paling-paling yang “menderita” orang sekampung. Itupun pasien tidak dapat disalahkan, yang dapat disalahkan adalah mereka yang sehat jiwanya. Umumnya hal ini terjadi karena pasien tidak diobatkan atau telat obatnya.
Menurut Prof. Kusumanto Setyonegaro, Guru Besar Psikiatri FK-UI, bahwa gangguan jiwa itu identik dengan penderitaan manusia (human suffering). Pasien gangguan psikotik (bahasa awam gila) merupakan puncak penderitaan manusia, pasien sampai mengalami disintegrasi kepribadian. Mereka tidak dapat membela diri dan memperjuangkan nasibnya ! Mereka rawan mendapatkan pelanggaran HAM, - yaitu hak untuk hidup sehat jiwa - , seperti tidak diobatkan, dipasung, ditelantarkan, bahkan dibuang. Para pelakunya lupa petunjuk Tuhan, bahwa Tuhan mengingatkan manusia lewat Kitab Suci, agar manusia senantiasa berpihak dan membela mereka yang lemah dan tidak berdaya.
Hal ini berbeda dengan para koruptor, wong licik, dalam bahasa kesehatan otak, adalah orang-orang yang berotak normal, bukan orang yang berotak sehat. Otaknya tidak bernilai, akibatnya perilaku dan hidupnya menjadi tidak bernilai (meaningless) di hadapan sesama manusia, lebih-lebih di hadapan Tuhan. Yang benar-benar menderita dan mendjadi korban akibat ulah koruptor adalah satu negara, satu bangsa, rakyat yang sehat jiwa maupun yang sedang menderita gangguan jiwa ! Wong cilik !
Buat para koruptor yang penting UUD, Ujung Ujungnya Duwit ! Uang dipakai mencari kekuasaan. Setelah dapat kekuasaan , lalu kekuasaan itu dipakainya untuk mencari uang yang lebih banyak. Uang yang didapat lalu dipakainya lagi mencari kekuasaan yang lebih besar lagi agar dapat uang yang lebih besar dan lebih banyak lagi. Demikian seterusnya.
Jika di kalangan TNI-AD ketika mengakhiri pidato mengucapkan, “Terima kasih sebesar-besarnya”. TNI-AL ucapannya, “Terima kasih sedalam-dalamnya. TNI-AU ucapannya, “Terima kasih setinggi-tingginya. Di kalangan Polri, “Terima kasih sebanyak-banyaknya”. Maka, tidak perlu heran jika para politisi yang korup pada akhir pidatonya akan mengucapkan, “Terima kasih sebesar-besarnya, terima kasih sedalam-dalamnya, terima kasih setinggi-tingginya dan terima kasih sebanyak-banyaknya”. Saking korupnya, ucapan terima kasih pun dikorupsi ! Lalu, uang hasil korupsi dipakainya beli barang-barang mewah untuk flexing, untuk pamer dan umuk di Medsos, media sosial berubah menjadi media antisosial. Perilaku korup itu terjadi, karena manusia gagal mengendalikan rasa tamak. Lewat kitab suci Tuhan mengingatkan umat manusia, bahwa nenek moyang umat manusia Adam dan Hawa, dikeluarkan dari surga, karena gagal mengendalikan rasa tamak.
Perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad yang pertama kali, agar disampaikan kepada umat manusia, adalah membaca, Iqra’. Menurut Prof. Nasaruddin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, kata iqra’ dalam Kitab Suci terdapat empat kali. Makna pertama, read, bacalah, membaca tidak hanya sekedar vokalisasi huruf. Makna kedua, think, pikirkanlah makna dan nilai yang tercantum dalam Kitab Suci dan diharapakan agar manusia menjadi ulul albab, orang yang punya pemikiran yang mendalam. Makna ketiga, understand, pahamilah makna dan nilai yang tercantum dalam Kitab Suci. Untuk memahami Tuhan memberikan petunjuk, “pergunakan kalbumu (otak depan) untuk memahami ayat-ayat Allah, pergunakan matamu (otak belakang) untuk memahami kebesaran Allah, pergunakan telingamu (otak samping kanan & kiri) untuk mendengarkan ayat-ayat Allah. Apabila tidak mempergunakan otakmu, perilakumu akan seperti binatang ternak, sehingga mudah digiring ke neraka Jahanam tinggal bersama jin yang juga tidak pakai otak” (QS al-A’raf [7] : 179) ! Makna keempat, maintain, jagalah dan pertahankanlah makna dan nilai yang tercantum dalam Kitab Suci dalam bentuk perilaku yang bernilai di hadapan Tuhan dan sesama manusia.
Menurut Prof. T Jacob, Guru Besar Anthropologi Ragawi FK-UGM, wahyu pertama kepada Nabi Muhammad yang berupa perintah membaca yang terjadi pada bulan Ramadhan, dimaksudkan Tuhan agar manusia menajdi Homo Cerebralis (cerebrum = otak), bukan menjadi Homo Abdominalis (abdomen = perut) dan atau Homo Pelvicus (pelvis = pinggul).
Kegagalan mengendalika rasa tamak (gagal sebagai Homo Cerebralis) dapat terjadi pada semua orang. Ironinya terjadi pada seorang Pimpinan KPK - yang berlatar belakang dosen dan namanya bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya “Cahaya Pengampun” -, agar masa jabatan Pimpinan KPK diperpanjang dari 4 tahun menjadi 5 tahun (karena masa jabatan akan berakhir tahun ini) agar adil seperti di lembaga negara lainnya. Dengan demikian masa jabaran pimpinan KPK baru berakhir tahun depan, tahun 2024. Bisa jadi waktu mudanya penggemar lagunya Iwan Fals “Kemesraan janganlah cepat berlalu”. Dosen sering diplesetkan untuk berkelakar, jadi nDobose banter bayarane sak sen. Sudah jadi rahasia umum gaji Pimpinan KPK lebih “aduhai” daripada gaji dosen. Padahal indeks persepsi korupsi makin anjok, buronan KPK Harun Masiku belum juga ketangkap. Para teroris saja dapat ditangkap oleh Densus 88. Kata pepatah, “orang mau seribu jalan, orang tidak mau seribu dalil”. Apakah Harun Masiku dapat cahaya pengampunan sehingga belum juga ditangkap?
Dampak sosial akibat korupsi adalah kemiskinan, anak-anak kurang gizi, jalanan rusak, fasilitas kesehatan tak memadai, atau masalah mendasar yang ada di tengah masyarakat. Dengan demikan koruptor itu merupakan manusia yang tidak sehat rohani sekaligus tidak sehat mujtama’i. Langkah progresif dalam penindakan korupsi dengan menerapkan biaya sosial akibat korupsi bisa dilakukan untuk mentransformasikan dari “Republik Korupsi” menjadi “Republik Kesejahteraan”, demikian tulisan Budiman Tanurejo (2023) dalam tulisannya yang berjudul “Republik Korupsi”.
Dari semua cabang kekuasaan sudah punya perwakilan koruptor. Di cabang eksekutif ada menteri, gubernur, bupati/walikota meringkuk di penjara karena korupsi. Di cabang kekuasaan legislatif, banyak anggota DPR dan DPRD mendekam di lembaga pemasyarakatan karena menilap uang rakyat. Di cabang yudikatif sami mawon. Baik hakim agung maupun hakim konstitusi, hakim pengadilan negeri punya perwakilan koruptor di penjara. Dari kalangan advokat, polisi, dan jaksa juga punya perwakilan koruptor di penjara.
Dilihat dari sisi partai politik, hampir semua parpol, yang berbasis agama atau nasionalis, juga punya perwakilan koruptor. Dari lingkungan dunia akademis juga ada rektor yang masuk penjara karena makan dana mahasiswa dan dianggap korupsi. Tentunya ada representasi pengusaha.
Quraish Shihab (2006) dalam tulisannya berjudul “Pesan untuk Kepala Negara”, tulisan ini ada di dalam bukunya yang berjudul “Menabur Pesan Ilahi, Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat”, bahwa pesan diperlukan, walau ia tidak harus selalu yang baru atau tidak diketahui oleh yang dipesan. Memang, pesan-memesan berati juga ingat-mengingatkan, sedangkan mengingat bukan hanya berarti menghadirkan ke dalam benak sesuatu yang telah terlupakan, tetapi ia juga adalah pemantapan apa yang telah tersimpan baik di dalam benak agar terus diingat dan dikenang. Sebagai kepala negara yang beragama, yang masyarakatnya dinilai religius, maka tiada pesan yang lebih baik melebihi pesan Tuhan dan nabi-nabi-Nya.
Nabi Muhammad Saw. mengingatkan semua pejabat, dari yang terendah hingga yang tertinggi, bahwa : “Jabatan adalah amanah dan ia akan menjadi kenistaan dan penyesalan di Hari Kemudian, kecuali yang menerimanya dengan hak serta menunaikannya dengan baik”. Karena itu akan menyesal, bahkan celakalah seseorang yang dianugerahi amanah memelihara harta dan masyarakat, tetapi ia menghamburkan harta dan menelantarkan masyarakat.
Agama mengingatkan bahwa jabatan/ kepemimpinan bukan keistimewaan tetapi tanggung jawab; ia bukan fasilitas tetapi pengorbanan; ia bukan leha-leha tetapi kerja keras; ia juga bukan kesewenangan bertindak tetapi kewenangan melayani. Selanjutnya, ia adalah kepeloporan dan keteladanan berbuat. Dalam literatur leluhur kita, Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mbangun karsa, Tut wuri handayani.
Kepala negara bagaikan kalbu (otak depan) ditengah anggota badan, masyarakat menjadi baik karena baiknya kepala negara, dan menjadi buruk karena kebejatannya. Kepala negara adalah penegak segala yang roboh, pelurus segala yang bengkok. Dia adalah kekuatan bagi semua lemah, tempat berlindung semua yang takut, serta keadilan bagi siapa pun yang teraniaya. Yang lemah, di sisinya kuat, sehingga si lemah memperoleh haknya yang direbut oleh si kuat, dan yang kuat menjadi lemah, sampai hak orang lain yang ada padanya dikembalikan kepada pemiliknya.
Kepala negara seperti ibu yang sayang dan lemah lembut terhadap buah hatinya. Sejak kecil ibu memeliharanya, menahan kantuk bila anaknya tidak tidur, dan menahan suara bila anaknya tertidur. Disapihnya dengan berat hati. Dia bergembira memandang kebugarannya, dan bersedih mendengar keluhannya.
Kepala negar juga bagaikan ayah yang amat kasih terhadap anaknya, bersusah payah buat mereka yang kecil dan senantiasa mengajar hingga mereka dewasa. Dia bekerja untuk kepentingan anak-anaknya selama hayat di kandung badan sambil menabung guna digunakan mereka setelah kematiannya.
Kepala negara harus dapat berada di antara Tuhan dengan hamba-hamba-Nya, dia mendengar firman-firman-Nya dan memperdengarkannya kepada mereka. Dia “melihat” Allah dan memperlihatkan-Nya kepada mereka, dia tunduk kepada Allah dan menundukkan mereka kepada-Nya.
Hukum ditetapkan untuk ditegakkan dengan tujuan mengantar manusia menuju kemaslahatan dan menghindarkan mereka dari dosa dan keburukan. Lalu, bagaimana jika yang diserahi menegakkan hukum justru menelantarkan dan yang melanggar serta berdosa? Dosa antara manusia dengan mudah diampuni-Nya selama kita tulus bermohon. Tetapi dosa antara manusia dengan manusia yang hak mereka direbut tidak mudah dihapus, dan Tuhan mempersilahkan setiap yang teraniaya untuk menuntut. Dia Yang Maha Kuasa itu akan selalu mendengar dan membela yang teraniaya, kalau bukan sekarang, kelak di Hari Kemudian.
Ketika Nabi Daud diangkat Tuhan menjadi khalifah/ kepala negara, maka pesan-Nya kepada nabi agung itu, antara lain : “Wahai Daud, Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu” (QS Shad [38] : 26).
Ketika Nabi Ibrahim diangkat Tuhan, beliau berdoa agar negeri di mana beliau berada dianugerahi Allah stabilitas keamanan serta kecukupan pangan, yakni pertumbuhan ekonomi, tetapi itu beliau mohonkan hanya untuk orang-orang yang beriman, yakni yang seide dan seagama dengan beliau. Permohonan ini ditanggapi Allah bahwa yang tidak beriman pun harus memperoleh rasa aman dan menikmati kesejahteraan (QS al-Baqarah [2] : 126).
Nabi Muhammadi juga diperingatkan-Nya, bahwa “Janganlah kebencianmu kepada satu kaum menjadikanmu tidak berlaku adil (terhadap mereka) (QS al-Ma’idah [5] : 8). Kali lain, beliau ditegur Tuhan ketika cenderung membela seorang Muslim atas seorang Yahudi, karena menduga bahwa yang bersalah adalah orang Yahudi. Allah berfirman : “Janganlah menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” (QS an-Nisa’ [4] : 105).
Pemimpin yang baik dapat berperan lebih besar daripada peran kitab suci dalam mendorong masyarakat kepada kejayaan, dan mencegah mereka dari kebinasaan. “Sesungguhnya Allah mendorong dan menghalangi melalui seorang penguasa apa yang tidak dilakukan-Nya melalui kitab suci” Demikian maksud sabda Nabi Muhammad Saw.
Semua manusia memiliki kelemahan, maka dia memerlukan bantuan orang lain untuk melengkapi dirinya dan menutupi kelemahannya. Pemimpin, lebih-lebih kepala negara, harus pandai memilih pembantu-pembantunya. Jika Tuhan menghendaki kebaikan bagi seseorang pemimpin, maka dia akan didorong untuk memilih pembantunya yang terbaik, dan sebaliknya pun demikian. “Siapa yang menetapkan seseorang untuk satu jabatan padahal dia mengetahui ada yang lebih baik darinya, maka dia telah mengkhianati Allah, Rasul, dan amanat kaum Muslim”. Demikian sabda Nabi Muhammada Saw.
“Angkatlah mereka yang memiliki kecerdasan (intelektual, spiritual-moral), pengalaman, pengetahuan menyangkut tugasnya, serta perhatian kepada masyarakat, perbanyaklah bermusyarawarah, dengan mendorong setiap orang menyampaikan pendapatnya. Jangan memberi kesan, apalagi bertindak, yang mengantar ke arah tersumbatnya suara. Tetapi, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena dia mempersempit jalan keluar, jangan juga dengan yang kikir, karena dia menghambat ke menuju tujuan. Juga jangan dengan yang ambisius, karena dia dapat memperindah sesuatu yang buruk”. Demikian pesan Nabi Muhammad Saw. kepada Ali bin Abi Thalib.
Ingatlah kematian dan apa yang terjadi sesudah kematian ! Sungguh, kelak amat sedikit pengikut sang pemimpin dan sungguh ketika itu, amat lemah pendukung-pendukung sang pemimpin – kalaupun ketika itu sang pemimpin masih memiliki pendukung. Karena itu berbekallah sejak dini menghadapi hari esok yang menakutkan itu. Ketahuilah bahwa kelak sang pemimpin akan mendapat tempat bukan tempat seperti yang ditempati sekarang, mudah-mudahan jauh lebih baik, walaupun terbuka kemungkinan bagi kita semua menempati yang terburuk.
Dahulu para ulama berkata : “Seandainya kami mengetahui ada doa kami yang pasti dikabulkan Tuhan, niscaya doa itu akan kami gunakan untuk mendoakan kepala negara”. Demikianlah pesan Shihab dalam tulisannya yang berjudul “Pesan Untuk Kepala Negara”.
Masyarakat Indonesia mengenal singkatan KKN adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Masyarakat Indonesia juga kreatif dalam membuat joke politik. Sejak presiden pertama RI, ternyata mereka semua melakukan KKN. Presiden pertama Sukarno KKN, Kanan Kiri Nona. Presiden kedua, Suharto KKN, Kaya Karena Negara. Presiden ketiga, BJ Habibie, KKN Kecil-Kecil Nekat. Presiden keempat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, juga KKN Kanan Kiri Ngebanyol alias berseloroh. Presiden kelima dan sampai saat ini satu-satunya Presiden perempuan, Megawati Sukarnoputeri, ikut juga KKN Kerap Komentar No comment. Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono yang tersohor sebagai Pak SBY, yang singkatan SBY diplesetkan menjadi Senang Bersama Yudhoyono, juga KKN Kena Kibul Nasaruddin. Presiden ketujuh Joko Widodo alias Jokowi, juga KKN Kurus Kering Ning ra pa pa.
Tampaknya para Capres kedelapan, juga sibuk KKN, Kerap Kebanyakan Ngomong. Harapan rakyat jangan sampai terjadi para Capres, Kerep Kakehan Ngomong jebule mergo ra iso ngapa-ngapa, ternyata tidak bisa ngapa-ngapain, jamgam sampai seperti kata pepatah “tong kosong berbunyi nyaring”.
Demikian pula para Caleg baik pusat maupun daerah, jangan sampai DPR Dewan Perwakilan Rakyat berubah menjadi Dewan Perwakilan Ra jelas, apa petugas partai atau petugas rakyat ??? Kedaulatan Rakyat atau kedaulatan partai? Wakil sering diplesetkan nggo awak karo nggo sikil. Jadi, jika rakyat sudah memberi “perintah” ya daulat rakyat, bukan daulat ketua partai. Dengan demikian, wakil rakyat berarti nggo awak karo nggo sikile rakyat ! Gitu loh !
Para mahasiswa juga KKN, Kumpul Kumpul Ngomongin presiden. Jika para mahasiswa mengkritik presiden, jangan baper, apalagi membawa ke pengadilan. Tirulah Sang Nabi, lapang dada !
Alkisah, suatu saat Nabi bertanya kepada seorang perempuan tua di manakah Tuhan itu berada? Perempuan tua itu menjawab sambil telunjuk tangan kanannya menunjuk ke atas, ke arah langit. Oleh Nabi jawaban perempuan tua itu dibenarkan. Para sahabat “mengkritik” Nabi karena jawaban itu tidak sesuai dengan petunjuk Tuhan dalam Kitab Suci, bahwa Tuhan itu ada dimana-mana, tidak hanya di atas. Oleh Nabi “kritik” para sahabat ditanggapinya dengan bijaksana, bahwa perempuan tua itu tahunya cuma itu ! Jadi Nabi bersikap taken for grated, terima apa adanya karena perempuan tua itu tahunya cuma segitu doang (Madjid, 2016)..
Bahkan, ketika Sang Nabi “dikritik” Tuhan, beliau lalu memperbaiki sikapnya dan hal ini pun disampaikan kepada umatnya dengan transparan, dapat dibaca QS surah ‘Abasa {80] 1 -2, “Dia bermuka masam dan berpaling karena telah datang kepadanya seorang tunanetra”.
Andaikata, ibu kita RA Kartini masih hidup di zaman now, tentu beliau sangat bangga atas prestasi dan kemajuan yang dicapai para perempuan Indonesia. Jika bapak bisa jadi presiden, ternyata ibu pun bisa. Bahkan mengalahkan negara kampiun demokrasi AS yang sampai saat ini belum mempunyai presiden perempuan. Jika bapak bisa jadi ketua DPR, ibu pun bisa. Jika bapak bisa jadi menteri, ibu pun bisa. Jika bapak bisa jadi gubernur, ibu pun bisa. Jika bapak bisa jadi bupati/walikota, ibu pun bisa. Jika bapak bisa korupsi, ibu pun bisa !!!
Berbuat salah itu manusiawi. Mempertahankan kesalahan itu perubatan iblis. Sudah tahu itu perbuatan salah, lalu mengajak orang lain untuk ikut berbuat salah itu perbuatan setan. Contohnya, korupsi berjamaah. Setan itu kata sifat, bukan kata benda. Maka, setan dapat berwujud jin atau manusia ! Andaikata, Kanjeng Nabi Ibrahim masih sugeng di zaman now, bisa jadi para koruptor itu alias para setan berwujud manusia, sudah dilempari batu pada jidatnya !
Genting bocor sih gampang nambalnya. Anggaran bocor, susah bener nambalnya. Karena sengaja dibuat bocor beramai-ramai. Dalam bahasa keren berkolaborasi untuk korupsi ! Panggung depan, Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Panggung belakang, “sila pertama” Keuangan yang maha kuasa. Sang Nabi, rahmatan lil ‘alamin. Koruptor, rahmatan lil kantonge dewe, keluarga dan para kroni ! Ing ngarsa mumpung kuwasa, ing madya numpuk banda, tut wuri hanggemboli !
Kata pepatah, “Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama”.
Tuhan menciptakan manusia bebas membuat pilihan (free choice), bebas berkehendak (free will) dan bebas bertindak (free act). Hidup itu pilihan. Agar manusia tidak salah membuat pilihan Tuhan memberikan anugerah kepada manusia agama. Agama dari kata gam (bahasa Sanskerta) yang berarti pergi, sebagaiman kata go (bahasa Inggris) yang juga berarti sama pergi. Kata gam dapat awalan dan akhiran a menjadi agama lalu berubah arti, dari pergi menjadi jalan, yaitu jalan menuju Tuhan (road to Allah), Ketuhanan Yang Maha Esa !
Adapun substansi hidup beragama, kata Nabi Muhammad, adalah membangun interaksi, hubungan timbal balik (Shihab et al, 2000). Membangun interaksi dengan Tuhan (hablun minallah), dengan diri sendiri (hablun minafsihi), seperti menjaga kesehatan, dengan sesama manusia (hablun minannas), dan dengan lingkungan alam (hablun minalalam). Sedangkan makna Islam adalah masuk dalam perdamaian (Ali, 1991). Dengan demikian, damai dengan Allah, damai dengan diri sendiri, damai dengan sesama manusia dan damai dengan lingkungan alam.
Akhirnya
“Jangnlah engkau bertanya apa yang dapat diberikan negerimu padamu. Tanyalah kepada dirimu apa yang dapat engkau berikan kepada negerimu” (Kutipan ini biasanya dikaitkan dengan pidato Presiden AS John F Kennedy, tahun 1961. Padahal., sebenarnya karya penyair Lebanon, Kahlil Gibran, 1883 – 1931, yang salah satu karya terkenalnya, The Prophet, Sang Nabi).
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD
Widiastuti, S Ag., MM, Ketua Umum Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Daerah Istimewa Yogyakarta