Referensi Alkitab Netanyahu dan Konflik Gaza

Publish

12 March 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
47
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Referensi Alkitab Netanyahu dan Konflik Gaza

Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Mari kita cermati beberapa referensi Alkitab yang sering dikutip oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, terutama dalam pidato-pidatonya untuk membangkitkan semangat para tentaranya. Beberapa dari referensi ini terdengar cukup keras dan sulit diterima oleh banyak orang.

Jadi, apa sebenarnya maksud dari referensi tersebut? Saya pernah mendengar istilah seperti "Amalek" dan "Yerikho." Mari kita jelajahi makna di balik kata-kata ini, apa yang ingin disampaikan Netanyahu, dan bagaimana kita sebaiknya memahaminya dalam konteks situasi yang sedang terjadi di Palestina saat ini.

Dalam salah satu pidatonya, Netanyahu berbicara di hadapan sekelompok tentara, memotivasi mereka dengan mengatakan, "kalian berjuang sebagai bagian dari tradisi besar yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu, dari zaman Yosua". Referensi ini tentu sangat dikenal dalam budaya Yahudi dan juga dalam Alkitab. Yosua adalah tokoh besar dalam Alkitab dan seorang nabi penting yang menggantikan Musa sebagai pemimpin bangsa Israel. 

Dalam tradisi Islam, Yosua kemungkinan adalah pemuda yang disebutkan dalam Al-Qur'an ketika ia menemani Musa dalam perjalanan, seperti yang diceritakan di bab ke-18, Surah Al-Kahf, meskipun namanya tidak disebutkan secara eksplisit. Dalam Kitab Yosua, kita melihat Yosua mengambil alih kepemimpinan setelah kematian Musa, memimpin bangsa Israel untuk menaklukkan berbagai kota. Setiap kali Yosua memasuki sebuah kota, ia memimpin pasukannya untuk memusnahkan penduduknya, dan kadang-kadang membakar kota tersebut hingga rata dengan tanah.

Yerikho menjadi salah satu kota yang paling diingat oleh para pembaca Alkitab. Saya teringat sebuah pengalaman pribadi; saat masih kecil, saya sering menghadiri sekolah Minggu, mempelajari kisah-kisah dari teks Kristen. Pada masa itu, anak-anak sering berkeliaran tanpa banyak kegiatan yang berarti, dan para guru sekolah Minggu berkeliling untuk mengumpulkan kami. Orang tua merasa bahwa sekolah Minggu adalah tempat yang aman di mana anak-anak akan terjaga dan sibuk dengan kegiatan positif, seperti mewarnai gambar tokoh-tokoh Alkitab seperti Daud dan Goliat. Dalam lingkungan itu, sebuah lagu tentang Yerikho masih terngiang jelas di benak saya hingga kini: "Berputar-putar di sekitar tembok Yerikho, berputar-putar di sekitar tembok Yerikho, hingga tembok-tembok itu runtuh." 

Lagu sederhana ini mencerminkan apa yang tertulis dalam Kitab Yosua, di mana kota Yerikho dikenal sebagai kota yang dikelilingi oleh tembok yang tak tertembus, sebagai pertahanan dari pasukan musuh, termasuk pasukan Yosua. Namun, dari perspektif narasi Alkitab, Yosua dianggap berada di pihak Tuhan, dan Tuhan memberikan dukungan penuh kepada Yosua dan pasukannya. Pasukan Yosua berbaris mengelilingi tembok kota sambil meniup shofar (sejenis terompet dari tanduk), dan secara ajaib, tembok-tembok itu runtuh, memungkinkan mereka masuk dan memusnahkan penduduk kota.

Lagu ini mencerminkan kisah dalam Kitab Yosua, yang menggambarkan bagaimana Yerikho, kota yang dulunya berdiri kokoh dengan tembok-temboknya yang tak tertembus, akhirnya runtuh. Kota-kota pada masa itu dibangun dengan benteng-benteng yang kuat sebagai pertahanan dari serangan musuh, termasuk dari pasukan Yosua yang bertekad untuk menaklukkan. Dari perspektif narasi alkitabiah, Yosua digambarkan sebagai pemimpin yang berada di pihak Tuhan, dan segala tindakannya mendapat dukungan ilahi. 

Bersama pasukannya, Yosua mengelilingi kota Yerikho, meniupkan shofar—sejenis terompet tanduk yang memiliki makna sakral—dan dengan keajaiban, tembok-tembok besar kota itu runtuh. Pasukan Yosua kemudian menyerbu masuk, menghancurkan kota dan memusnahkan penduduknya. Meskipun lagu anak-anak yang populer tidak menggambarkan seluruh kekerasan ini, pembaca Alkitab tahu betul bagaimana kisah tersebut berakhir dalam teks suci.

Ketika Netanyahu merujuk pada kisah ini, pertanyaan besar muncul: Apa yang sebenarnya ingin dia dorong agar pasukannya lakukan? Apakah dia meminta mereka untuk memasuki Gaza dengan pendekatan kemanusiaan, mematuhi prinsip-prinsip etika perang dan berusaha menyelamatkan warga sipil dari bahaya? Ataukah ia, secara implisit, mendorong pasukannya untuk melakukan tindakan brutal yang dapat dianggap sebagai genosida terhadap penduduk Gaza? Referensi semacam ini menimbulkan kekhawatiran mendalam tentang pesan yang sebenarnya ingin disampaikan kepada tentaranya.

Referensi lain yang tidak kalah kontroversial adalah tentang Amalek. Dalam narasi Alkitab, Amalek adalah musuh abadi bangsa Israel, sering digambarkan sebagai musuh yang harus dihancurkan sepenuhnya. Dalam bukunya, "Laying Down the Sword," Uskup Philip Jenkins membahas pentingnya memahami ayat-ayat kekerasan dalam Alkitab dan mengapa kita tidak bisa begitu saja mengabaikannya. Dia menjelaskan bahwa merujuk pada orang-orang sebagai “Amalek” di zaman modern dapat menjadi cara untuk mendiskreditkan dan merendahkan mereka, seolah-olah menandakan bahwa mereka tidak layak dianggap manusia. Hal ini memberikan sinyal berbahaya kepada para pendukung bahwa kelompok tersebut pantas diperlakukan dengan kekerasan ekstrem.

Dalam Kitab 1 Samuel 15, kisah ini dihidupkan kembali melalui dua tokoh utama, yaitu Raja Saul, yang dikenal dalam Al-Qur`an sebagai Talut, dan nabi Samuel. Kisah ini menggambarkan perintah Tuhan kepada Saul untuk memusnahkan seluruh bangsa Amalek—tanpa ampun terhadap pria, wanita, anak-anak, dan bahkan hewan ternak mereka. Hal ini menjadi salah satu contoh betapa beratnya pesan yang disampaikan dalam narasi-narasi kuno tersebut, dan bagaimana interpretasi semacam ini bisa berbahaya jika diterapkan dalam konteks modern.

Dalam narasi Al-Qur`an, nabi yang disebutkan dalam Surah Al-Baqarah tidak disebutkan namanya, meskipun kisahnya berkaitan dengan peristiwa yang serupa. Namun, cerita yang menakutkan seperti yang ada dalam Kitab Samuel tidak memiliki padanan dalam Al-Qur`an. Dalam Alkitab, disebutkan bahwa Tuhan memerintahkan nabi Samuel untuk menyampaikan kepada Raja Saul agar memusnahkan seluruh bangsa Amalek tanpa belas kasihan—termasuk pria, wanita, anak-anak, bayi, dan bahkan ternak. 

Saul memang mematuhi perintah tersebut, namun ia menyisakan raja Amalek, Agag, dan mengambil beberapa ternak untuk dirinya sendiri. Karena tindakan ini, Samuel mendapat wahyu dari Tuhan yang menyatakan bahwa Dia menyesal telah menjadikan Saul sebagai raja karena tidak menjalankan perintah secara sempurna. Akhirnya, Samuel sendiri turun tangan dan membunuh Agag dengan cara yang brutal, memotongnya hingga berkeping-keping sebagaimana diceritakan dalam akhir bab tersebut.

Jika seorang pemimpin saat ini memberi tahu pasukannya, "Ingatlah apa yang dilakukan oleh orang Amalek kepadamu", pesan seperti apa yang akan tertanam dalam pikiran para prajurit? Pernyataan semacam itu akan memunculkan bayangan pembantaian dan penghancuran total, yang mengingatkan kita pada kebrutalan masa lampau yang seharusnya tidak lagi menjadi teladan. Inilah salah satu alasan mengapa banyak orang mendukung kasus genosida yang diajukan oleh Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional (ICJ), karena menunjukkan adanya indikasi niat genosida yang mendasari tindakan semacam itu. 

Membuktikan niat genosida memang sulit, karena sering kali seseorang dapat berdalih dengan mengatakan bahwa mereka tidak bermaksud demikian atau bahwa pernyataannya disalahartikan. Namun, membuat referensi semacam itu dalam konteks konflik modern jelas merupakan tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab, karena dapat mendorong pasukan untuk bertindak dengan kekejaman yang berlebihan.

Semoga Allah melindungi rakyat Gaza dari dampak pernyataan yang memicu kekerasan semacam ini. Referensi seperti ini tidak hanya merugikan situasi saat ini, tetapi juga merendahkan nilai-nilai Alkitab dengan menarik ayat-ayat di luar konteks untuk mendukung tujuan yang merusak dan berbahaya. Kita telah menyaksikan bagaimana umat Islam kadang-kadang menggunakan Al-Qur`an dengan cara yang serupa, dan sungguh menyedihkan melihat kitab suci digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan. 

Kitab suci seharusnya mengajarkan kita nilai-nilai yang baik, bukan menjadi senjata yang digunakan untuk menyebarkan kebencian. Seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur`an untuk mendengarkan kitab suci dan ikutilah yang terbaik dari apa yang ada di dalamnya. “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS Az-Zumar: 18).

Orang-orang seharusnya membaca kitab suci dengan tujuan untuk memahami pesan-pesan kebaikan, mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan menyebarkan nilai-nilai tersebut kepada dunia, bukannya mencari pembenaran untuk tindakan kekerasan dan penindasan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Anak Saleh (18) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

21 November 2024

Wawasan

Idul Fitri Tradisi Menyemai Nilai Autentik Oleh: Rumini Zulfikar (GusZul), Penasehat PRM Troketon ....

Suara Muhammadiyah

15 April 2024

Wawasan

Oleh: Suko Wahyudi Dalam beberapa dekade terakhir, budaya konsumtif telah menjadi fenomena global y....

Suara Muhammadiyah

7 December 2024

Wawasan

Memaknai Sumpah Pemuda dan Refleksi Milad 58 Kokam Oleh: Badru Rohman Pemuda dalam lintas sejarah ....

Suara Muhammadiyah

4 October 2023

Wawasan

Islam dan Argumen Pernikahan Homoseksual Modern Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Uni....

Suara Muhammadiyah

12 February 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah