Refleksi Idul Adha untuk Hidup Berkemajuan

Publish

14 June 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
703
Doc. Istimewa

Doc. Istimewa

Oleh: Muhammad Utama Al Faruqi, Lc., MPd

Ingat Idul adha, ingat milad Muhammadiyah. Barangkali ungkapan singkat ini jarang terlintas dalam pikiran banyak orang, termasuk warga Muhammadiyah sendiri. Karena berdirinya Persyarikatan lebih populer pada tanggal masehinya, 18 November 1912 daripada tanggal hijriyahnya, 8 Zulhijjah 1330.

Meski begitu, sekiranya penanggalan Hijriyah yang merupakan ijtihad Muhammadiyah yang khas perlu dipopulerkan pula, karena dengan menentukan penanggalan Hijriyah dari jauh-jauh hari, secara lebih khusus pada hari-hari besar seperti awal Ramadan, Syawal dan Dzul Qa’dah adalah bukti bahwa ijtihad Muhammadiyah dengan metode hisab-nya selalu berpandangan jauh ke depan, maju, dan optimis dengan harapan baik di masa depan. Ini perlu dipertahankan dan dipopulerkan sebagai bagian dari identitas Islam berkemajuan.

Milad Persyarikatan dalam kalender Hijriyah selalu bertaut erat dengan Hari Tarwiyah (8 Zulhijjah), Hari Arafah (9 Zulhijjah) dan Idul Adha (10 Zulhijjah), tidak jauh pula dari 1 Muharram.

Makkah-Madinah : Saksi Masyarakat Berkemajuan

Di hari-hari Iduladha umat manusia yang menjadi tamu Allah berkumpul di Makkah dari berbagai penjuru dunia. Tak lupa dalam perjalanan suci ini, mereka juga berziarah di  Madinah. Dua kota ini termasuk saksi bagaimana hadirnya Islam selayaknya membuahkan perubahan yang lebih baik dan bertahan lama, berabad-abad lamanya.

Dahulu Makkah disebut Bakkah, dari kata buka’ atau tangisan. Karena  siapa pun yang sampai di lembah ini akan menangis karena sudah tidak ada lagi harapan untuk bertahan hidup di lembah ini baginya. Kini, Makkah menjadi saksi umat manusia yang tak terhitung jumlahnya dari setiap masa untuk berkumpul dan menangis, karena hatinya telah mampu menyentuh langit dengan do’a-do’a dan harapan baik.

Dahulu Madinah disebut Yatsrib, terkenal karena menjadi kota penuh wabah malaria mematikan. Kini Madinah disebut sebagai kota yang bercahaya yang mencerahkan semesta. 

Kedatangan Ibrahim ke Makkah, dan Muhammad -shallallahu alaihi wa sallam- ke Madinah membawa perubahan dan kemajuan yang terus pesat melintas masa. 

Memang berat bagi Ibrahim meletakkan pisaunya pada Isma’il, karunia yang paling dicinta, setelah sebelumnya meninggalkannya bersama ibunya di sebuah lembah yang tidak berkehidupan, wadin ghayri dzi zar’,  seperti halnya berat bagi Muhammad untuk meninggalkan kampung halamannya. Akan tetapi rasa berat yang dikalahkan keduanya membawa pelajaran berharga yang tak lekang oleh waktu. 

Begitu pula yang diteladankan oleh Kyai Dahlan, sungguh berat melihat langgar amanah dan warisan ayahandanya harus dirubuhkan karena perbedaan pendapat dengan otoritas kala itu, juga menghadapi penolakan dari banyak orang, vonis sesat, bahkan Kyai Dahlan harus mengungsikan dan menyelamatkan diri, keluarga serta pemikirannya di luar Kauman. 

Jendral Sudirman, guru sekaligus panglima keteladanan pernah berpesan, “Sungguh berat menjadi kader Muhammadiyah, bimbang dan ragu lebih baik pulang”. Bukan mengusir, tapi menguji agar kader persyarikatan adalah mereka yang totalitas dan tanpa keraguan untuk mewujudkan masyarakat yang madani dan penuh dengan kedamaian. 

Jika usai bulan Dzul Hijjah, maka bermula bulan Muharram. Keduanya adalah bulan haram, terhormat, memiliki nilai lebih bagi siapa yang berbuat baik di dalamnya. Bermulanya tanggal Hijriyah terjadi pada bulan ini, ditanda dengan peristiwa hijrah ke Yatsrib. Dimana pilihan terbaik merupakan simpulan dari perintah Tuhan dan logika pertimbangan yang matang.

Hikmah Peradaban dalam Dialog Ibrahim dan Isma’il

Dalam kisah dua nabi mulia yang menjadi titik awal sejarah Iduladha terdapat berjuta hikmah, baik yang terdapat dalam tafsir ayat-ayatnya, telaah hadits-haditsnya, pelaksanaannya, dan dampak sosial yang positif dalam prakteknya secara khusus di tanah air. Keikhlasan, keimanan, keteladanan, solidaritas, berbagai kebahagiaan, dan masih banyak lagi. 

Akan tetapi ada satu hal yang sering terluput dalam perenungan hikmah dalam Iduladha, yaitu hikmah yang terlupakan dalam dialog antara Ibrahim dan Isma’il ketika akan melaksanakan perintah Tuhan untuk menyembelihnya, sebagaimana yang terdapat dalam Surat Ash-Shaffat ayat 102, “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar”.

Dalam ayat tersebut, Ibrahim berdiskusi sejenak dengan Isma’il ketika mendapat perintah untuk menyembelih dirinya. Keduanya adalah nabi, keduanya adalah manusia terbaik, dan perintah itu berasal dari Tuhan. Tetapi Ibrahim tidak memaksa Isma’il untuk segera melaksanakan perintah Tuhan itu. 

Maka, begitu pula selayaknya seorang muslim ketika mengajarkan pelaksanaan ibadah, akhlak dan nilai-nilai Islam kepada putra-putrinya, perlu adanya dialog ringan agar anak memahami sebab yang mengharuskannya melaksanakan ibadah dan berakhlak yang baik. Tidak dengan paksaan, apalagi ancaman dan amarah yang justru menjadikannya trauma. 

Keluarga adalah sarana kaderisasi terbaik, dan komunikasi yang baik adalah kuncinya. Sehingga kaderisasi Muhammadiyah yang paling efektif adalah dalam lingkup keluarga, sebelum lembaga-lembaga pendukung lain seperti sekolah, dan lain semisalnya. 

Ini dalam konteks mengajarkan agama kepada anak dalam keluarga, belum lagi ketika menasehati orang lain yang tidak ada hubungan keluarga apapun. Harus dengan perlahan, dialog, diskusi ringan, kesabaran dan tidak ada paksaan, lebih-lebih vonis-vonis tertentu.   

Peradaban dan kehidupan berkemajuan secara kolektif dan luas akan tercapai dengan dialog dan komunikasi yang baik yang menjadi karakter khas di setiap keluarga sebagai lingkup terkecil yang menjadi interaksi pertama generasi mendatang dengan dunianya. Maka dari lingkup kecil inilah membangun peradaban dan mewujudkan kehidupan berkemajuan perlu untuk dimulai sebelum lingkup yang lebih luas. (*)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Melinda Ayu P, Kader Nasyiatul Aisyiyah Lamongan Ekofeminisme adalah sebuah istilah baru yang....

Suara Muhammadiyah

27 March 2024

Wawasan

Trade-Off antara Utang dan Dana Sendiri dalam Mengembangkan Amal Usaha Muhammadiyah ....

Suara Muhammadiyah

11 October 2023

Wawasan

Oleh: Baskoro Tri Caroko Menyimak webinar yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BR....

Suara Muhammadiyah

30 November 2023

Wawasan

Mewujudkan Guru Profesional Oleh Wiguna Yuniarsih, Wakil Kepala SMK Muhammadiyah 1 Ciputat Tan....

Suara Muhammadiyah

4 November 2024

Wawasan

Membangun Motivasi Belajar Peserta Didik Melalui Pembelajaran Berbasis Proyek  Oleh: Lis Atina....

Suara Muhammadiyah

4 December 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah