Rusak Hutan karena Kebijakan
Oleh: Sobirin Malian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Pentingnya menjaga lingkungan dan kelestarian hutan semakin nyata dan mendesak seiring dengan maraknya bencana alam yang terjadi di Indonesia, seperti banjir besar di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat. Aktivis lingkungan seperti Greenpeace, Muhammadiyah dan WALHI telah aktif sejak lama mengingatkan masyarakat serta pemerintah tentang urgensi pelestarian lingkungan.
Mereka melakukan berbagai kampanye dan advokasi untuk mengajak semua pihak bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang semakin parah. Namun, upaya ini seringkali diabaikan atau kurang mendapat respon serius dari pemerintah dan pelaku bisnis, yang lebih sering pragmatis mengedepankan kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek dibanding keberlanjutan lingkungan.
Regulasi utama yang mengatur ancaman bagi perusak hutan dan lingkungan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Beberapa pasal penting terkait ancaman hukum bagi pelaku perusakan lingkungan antara lain:
Pasal 60 UU PPLH melarang dumping limbah dan bahan berbahaya ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 104 UU PPLH menyatakan bahwa pelaku dumping limbah tanpa izin dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar.
Jika pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat perbuatan sengaja menyebabkan kematian, pelaku dapat dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda Rp 5 miliar sampai Rp 15 miliar.
Jika pencemaran karena kelalaian menyebabkan kematian, ancaman pidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 9 tahun penjara serta denda minimal Rp 3 miliar sampai Rp 9 miliar.
Selain itu, dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pasal 344 juga mengatur tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang melebihi batas baku mutu dengan ancaman pidana.
Semua regulasi itu telah mengatur prinsip kehati-hatian dan kewajiban pelestarian sumber daya alam. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum seringkali lemah dan tumpul terhadap pelanggaran lingkungan_terutama karena hutan dimiliki pejabat atau oligarki yang tidak bisa disentuh hukum. Kepentingan investor dan proyek pembangunan seringkali menjadi alasan penyimpangan yang mengakibatkan deforestasi dan kerusakan ekosistem, yang berujung pada bencana alam. Hal ini menunjukkan perlunya reformasi kebijakan,pengawasan yang lebih ketat dan tindakan lebih keras agar hak lingkungan dapat sejajar dengan kepentingan pembangunan.
Perspektif Agama
Al-Qur'an mengajarkan manusia untuk tidak serakah, tidak merusak alam, dan menjaga kelestarian lingkungan. Beberapa surat dan ayat yang menegaskan hal ini antara lain:
Surat Al-A'raf ayat 56 mengingatkan manusia agar tidak berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya. Ayat ini mengandung perintah untuk menjaga bumi dan tidak merusaknya sebagai amanah yang harus dijalankan manusia sebagai khalifah di bumi.
Surat Al-Baqarah ayat 30 menyebutkan bahwa manusia diangkat menjadi khalifah yang bertugas memakmurkan dan menjaga bumi serta seluruh isinya. Dalam ayat lain, seperti Al-Baqarah ayat 205, ditekankan agar manusia tidak membuat kerusakan di bumi karena Allah tidak menyukai kebinasaan.
Surat Al-Qashash ayat 77 mengingatkan agar manusia tidak berbuat kerusakan di muka bumi akibat sikap serakah dan ambisi yang merusak alam serta Allah akan mengazab orang-orang yang berbuat kerusakan.
Secara narasi, Al-Qur'an menyampaikan, bahwa alam adalah ciptaan Allah yang indah dan penuh hikmah. Manusia diberikan tugas sebagai pengelola yang bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan, memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana, tidak merusak, dan tidak serakah karena perbuatan merusak akan membawa kebinasaan dan azab. Allah sangat dekat rahmat-Nya kepada orang-orang yang berbuat baik di bumi dengan menjaga lingkungan.
Beberapa hadis juga menegaskan pentingnya melestarikan alam, misalnyatentang menanam pohon sebagai sedekah abadi: "Tidaklah seorang Muslim yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman lalu tanaman itu dimakan oleh burung atau manusia atau hewan melainkan itu menjadi sedekah baginya" (HR. Bukhari No. 2152). Hadis ini mendorong reboisasi untuk kelestarian hutan dan sumber daya alam.
Hadis lain melarang merusak alam: "Janganlah kamu merusak alam, sebab itu adalah tindakan yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya" (HR. Bukhari dan Muslim). Hidupkan tanah tandus: "Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya"
Dengan demikian, Al-Qur'an dan hadis jelas memperingatkan manusia agar menjaga kelestarian alam, menghindari kerusakan dan keserakahan sebagai bagian dari amanah dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Qur’an dan hadis tegas melarang eksploitasi berlebih yang merusak hutan atau lingkungan.
Mengabaikan tanggung jawab ini sama dengan melakukan kezaliman terhadap alam dan makhluk hidup lainnya. Prinsip ini menguatkan argumentasi moral bahwa pelestarian lingkungan bukan saja kewajiban hukum atau sosial, melainkan juga kewajiban spiritual yang harus dijalankan oleh tiap individu dan pemerintah. Jika alam dirusak, maka semua pihak akan kehilangan keberkahan dan masa depan yang berkelanjutan.
Atas dasar itu semua, menjaga lingkungan adalah tanggung jawab bersama yang memerlukan sinergi antara masyarakat, aktivis, pemerintah, dan pelaku usaha. Kesadaran kolektif dan komitmen untuk mengedepankan keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam harus menjadi landasan dalam setiap kebijakan dan tindakan. Hanya dengan demikian, bencana alam seperti banjir besar yang telah melanda akan bisa diminimalisir, dan generasi mendatang dapat menikmati lingkungan yang sehat dan lestari.
Kita perlu belajar dari negara Jepang dalam hal melestarikan hutan dan lingkungan. Jepang menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga alam melalui kebijakan jangka panjang sejak era Edo, di mana deforestasi diatasi dengan penanaman pohon sistematis hingga tutupan hutan mencapai 67% wilayah negara. Strategi Green Growth mendukung net-zero emisi karbon pada 2050 dengan transisi energi bersih, kendaraan listrik, dan teknologi hidrogen.
Kebijakan dan Inisiatif Utama
Kyoto Protocol (1997): Jepang memimpin pengurangan emisi gas rumah kaca global, termasuk kredit LULUCF untuk pelestarian hutan yang mengurangi emisi 82,6 juta ton CO2 pada 2006.
Pengelolaan limbah dan sirkular: Sampah per kapita turun di bawah dua pertiga rata-rata OECD melalui daur ulang efektif dan pengurangan plastik.
Konservasi hutan kota: Kampanye "Hutan Totoro" di Tokorozawa restorasi 27,2 hektar lahan dengan donasi Hayao Miyazaki, mengubahnya menjadi cagar alam.
Investasi hijau: Dana Green Innovation Rp2 kuadriliun untuk R&D energi terbarukan dan efisiensi.
Indonesia dapat belajar komitmen Jepang melalui penegakan hukum ketat, partisipasi swasta dalam konservasi, dan integrasi teknologi untuk keseimbangan ekonomi-lingkungan, seperti kerjasama LHK RI-Jepang soal iklim dan limbah. Pendekatan ini minimalisir deforestasi sambil mendorong pembangunan berkelanjutan. Sangat kontras dengan lemahnya penegakan UU PPLH di Indonesia.


