Saatnya Muhammadiyah Aceh Tengah Gencarkan Wakaf Produktif

Publish

3 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
100
Rachmat Jayadikarta

Rachmat Jayadikarta

ACEH TENGAH, Suara Muhammadiyah - Wakaf adalah salah satu instrumen sosial-ekonomi Islam yang terbukti mampu menggerakkan kesejahteraan umat, bila dikelola dengan visi dan tata kelola yang profesional. Sejarah mencatat, salah satu contoh sukses terbesar datang dari Wakaf Habib Bugak Asyi - seorang ulama asal Aceh yang mewakafkan tanahnya di Makkah pada abad ke-19.

"Hingga kini, hasil wakaf tersebut masih terus memberikan manfaat, bahkan turut menanggung biaya akomodasi jamaah haji asal Aceh di Tanah Suci setiap tahunnya," ungkap Rachmat Jayadikarta, S.E. - Warga Muhammadiyah Aceh Tengah. 

Lebih lanjut Rachmat Jayadikarta menjelaskan keberhasilan wakaf Habib Bugak bukan hanya soal keikhlasan, tetapi juga perencanaan jangka panjang, manajemen aset, dan pengawasan yang amanah. Nilai-nilai inilah yang semestinya menjadi inspirasi bagi warga Muhammadiyah di Aceh Tengah untuk membangkitkan kembali semangat wakaf produktif, sesuai dengan spirit Islam berkemajuan yang diusung oleh Persyarikatan Muhammadiyah.

Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah telah menempatkan wakaf sebagai salah satu pilar utama gerakan dakwah dan sosial. Banyak sekolah, rumah sakit, dan universitas Muhammadiyah di Indonesia berdiri di atas tanah wakaf. Namun, di Aceh Tengah, potensi besar ini belum tergarap secara maksimal.

Tanah wakaf sering berhenti pada bentuk masjid dan mushalla, tanpa diikuti upaya produktivitas ekonomi. Padahal, wakaf produktif - seperti kebun, ruko, lahan pertanian, bahkan rumah sewa - dapat menjadi sumber dana berkelanjutan untuk kegiatan dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan umat.

Warga Muhammadiyah di Aceh Tengah, perlu berani meniru model seperti Lazismu yang sudah mengembangkan pengelolaan wakaf dengan prinsip bisnis sosial modern. Bila dikelola dengan transparan dan profesional, wakaf bisa menjadi sumber daya ekonomi baru bagi cabang dan ranting Muhammadiyah di daerah.

Habib Bugak Asyi tidak hanya beramal, tapi juga berstrategi. Ia menyiapkan wakafnya agar produktif dan bertahan lintas generasi. Ia menunjuk pengelola, menetapkan tujuan yang jelas, dan memastikan sistem pengawasan.

Itulah yang membedakan antara wakaf yang hidup dan yang sekadar tertulis di batu nisan. Muhammadiyah sebagai gerakan modern harus mampu meniru keteladanan ini dengan sistem yang kuat - memadukan keikhlasan spiritual dan profesionalisme ekonomi.

Di Aceh Tengah, sudah saatnya dibentuk Badan Pengelola Wakaf Muhammadiyah di bawah Majelis Wakaf dan Kehartabendaan PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah). Badan ini dapat menginventarisasi aset wakaf, menilai potensi ekonominya, dan mengembangkan usaha sosial berbasis umat: mulai dari pertanian organik, unit usaha pesantren, hingga pengelolaan properti dakwah.

Dalam praktiknya, pengelolaan wakaf sering menghadapi tantangan, terutama ketika terjadi tarik-menarik antara pihak pengurus Muhammadiyah sebagai nazhir dan ahli waris dari pihak yang mewakafkan. Agar hal ini tidak menjadi sumber konflik, aset-aset yang telah diwakafkan kepada Muhammadiyah perlu dikelola secara profesional dan berbasis regulasi yang jelas.

Diperlukan pencatatan resmi, akta ikrar wakaf, serta mekanisme pengawasan transparan yang memastikan wakaf benar-benar dimanfaatkan sesuai tujuan pewakaf. Dengan pengelolaan yang baik, potensi gesekan dapat dihindari, dan wakaf dapat menjadi sumber kekuatan ekonomi yang berkelanjutan bagi Persyarikatan.

Wakaf yang dikelola dengan baik bukan hanya menjaga amanah pewakaf, tetapi juga memastikan bahwa manfaatnya terus mengalir bagi kemajuan pendidikan, dakwah, dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, wakaf yang ada benar-benar produktif untuk kemajuan dan kemandirian umat.

Aceh Tengah dikenal dengan masyarakat Gayo yang religius, pekerja keras, dan menjunjung tinggi nilai gotong royong. Potensi wakaf di daerah ini sesungguhnya sangat besar - baik dari sisi tanah, kebun, maupun aset sosial. Namun, tanpa manajemen modern, banyak aset yang tidak produktif, bahkan terlantar.

Muhammadiyah dengan jaringannya yang luas dan prinsip “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” memiliki posisi strategis untuk menata kembali konsep wakaf ini menjadi wakaf yang hidup dan menghidupi.

"Jika Habib Bugak mampu menebar manfaat wakafnya hingga ke Makkah selama lebih dari seabad, mengapa kita tidak bisa mewariskan hal serupa untuk generasi Muhammadiyah Aceh Tengah di masa depan," ungkapnya. 

Wakaf bukan hanya amal ibadah, tapi juga strategi kemandirian ekonomi umat. Warga Muhammadiyah Aceh Tengah perlu melangkah dari sekadar berwakaf tanah untuk masjid menuju wakaf yang menghasilkan nilai tambah sosial dan ekonomi.

"Dengan manajemen modern, transparansi, dan semangat gotong royong, kita bisa menciptakan Wakaf Produktif Muhammadiyah Aceh Tengah yang menjadi amal jariyah kolektif, mensejahterakan umat, dan memperkuat dakwah Islam berkemajuan di Tanah Gayo," tutup Rachmat Jayadikarta. (Agusnaidi B/Riz/Vivi)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Lembaga Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional (LHKI) Pimpin....

Suara Muhammadiyah

15 November 2023

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – SM Tower Malioboro Yogyakarta memasuki tahun ke 2. Pada momen....

Suara Muhammadiyah

1 July 2025

Berita

MAKASSAR, Suara Muhammadiyah - Memperingati milad Hari Proklamasi Kemerdekaan RI ke -79, Majelis Pem....

Suara Muhammadiyah

11 August 2024

Berita

ENREKANG, Suara Muhammadiyah – Universitas Muhammadiyah Enrekang (Unimen) menggelar Kajian Ram....

Suara Muhammadiyah

14 March 2025

Berita

PEKANBARU, Suara Muhammadiyah - Universitas Muhammadiyah Riau (Umri) menggelar Pelantikan Qobilah Ge....

Suara Muhammadiyah

28 May 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah