Sakit

Publish

9 February 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
655
Sakit

Sakit

Cerpen Affan Safani Adham

KETIKA sekolah dialihkan ke rumah dengan pembelajaran online, isteriku yang seorang guru TK juga stay at home sesuai anjuran pemerintah. Meski di rumah, isteriku harus tetap kerja, bahkan lebih keras dari sebelum ada pandemi Covid-19. Otomatis hanya aku yang kerja di luar rumah.

Pagi itu akupun pamit pada isteriku untuk kerja. Masih kuingat kala itu ia tersenyum dan mengepalkan tangan sambil bersorak, "Semangat, sayang!"

Isteriku lantas mengiringiku hingga ke pintu. Mata sipitnya kemudian menghilang ditelan tawa yang tak berjeda. Ia memang seperti itu: selalu optimis!

"Jangan takut sayang, aku akan baik-baik saja," ucapku kala pamit.

Andai saja bukan karena jiwa sosialnya yang tinggi, mana mungkin ia mau menjadi seorang guru. Orang terdepan yang siap melayani generasi penerus bangsa. Ia memang seperti itu.

*

"Menurut hati nuranimu, tindakan apa yang harus kulakukan di tengah situasi genting di mana seorang perawat sangat dibutuhkan untuk merawat pasien Covid-19," kata Sumi tiba-tiba sambil menatapku lekat.

Aku memalingkan wajah. Ia telah tahu isi hatiku. Sebenarnya, jiwaku menolak. Namun hati nurani berkata lain. Akupun tidak rela kalau isteriku kembali bekerja sebagai seorang perawat lagi.

"Terus bagaimana dengan pekerjaanmu sebagai seorang guru?"

"Itu sudah aku pikirkan masak-masak, Mas."

"Pergilah kalau hal itu memang jalan terbaik yang kaupilih dan segeralah pulang kalau sudah beres," ucapku akhirnya.

Awal menangani pasien Corona, isteriku sempat pulang beberapa kali. Waktu di rumah menolak untuk kusentuh dan terlihat sangat lelah. Iapun sempat berujar kalau di rumah sakit tempat mengabdikan dirinya kekurangan masker dan alat penunjang lainnya. Namun sinar matanya tetap optimis bahwa badai akan berlalu.

Di sepertiga malam ketika tak sengaja aku terbangun, kulihat isteriku berdoa cukup lama dalam linangan air mata. Segala keluh-kesah yang selama ini ia pendam, tumpah sudah di hadapan Allah SWT. Aku terpana. Menyadari bahwa sesungguhnya isteriku hanyalah perempuan biasa. Ia lelah. Ia ingin berhenti. Namun tetap bertahan demi kemanusiaan.

*

Genap sebulan isteriku tak lagi pulang ke rumah. Isteriku bilang tugasnya semakin padat dan tak memungkinkan untuk pulang.

"Mas, di rumah sakit sudah banyak pasien yang terpapar virus Covid-19 dan di sini sudah mulai kekurangan tenaga medis," ungkapnya. "Sementara, aku tidak pulang ke rumah dulu."

Pamitnya isteriku itu disampaikan dalam pesan WhatsApp. Ada yang nyeri di dada ini ketika setelahnya isteriku sulit dihubungi. Hatiku pun mulai meragu dan was-was. Tapi aku tetap optimis dan yakin isteriku akan baik-baik saja.

Sampai akhirnya teman kerja isteriku datang lengkap dengan baju antivirusnya untuk melakukan tes padaku, ibu dan anak-anakku.

"Isteri Anda positif terkena Covid-19, jadi izinkan kami untuk memeriksa Anda dan keluarga," ucap seorang dokter teman Sumi di rumah sakit.  

Jangan tanya hatiku ini. Jangan pula tanya rasa yang bergejolak di dalam dadaku. Ya, Allah bagaimana dengan isteriku kini? Mengapa ia merahasiakan ini dariku?

Setelah dicek, Alhamdulillah aku tidak terpapar alias negatif. Tapi ya Allah, ibu dan anak sulungku dinyatakan positif. Akhirnya ibu dan anakku dibawa ke rumah sakit. Aku sendiri diharapkan tetap tinggal di rumah hingga empat belas hari ke depan. Aku ditetapkan sebagai ODP atau orang dalam pengawasan.

"Isteriku semoga baik-baik saja, ya? Titip jagoan kita dan ibu di rumah sakit. Jangan lupa minum vitamin," pesanku pada Sumi.

Kemudian ia membalasnya, "Suamiku stay at home ya?"

Ia selalu seperti itu. Lebih mengkhawatirkanku daripada dirinya sendiri. "Jangan lupa doakan isterimu ini."

Itu pesan terakhirnya yang ia kirim padaku. Firasatku pun mulai berontak, namun hati ini tetap menolak. "Isteriku pasti baik," batinku. Kini kutahu bahwa pesan isteriku itu diketik oleh teman sejawatnya yang merawat isteriku.

*

"Mana ibu, Yah?" ucap Bintang putriku sambil memeluk boneka kesayangannya hadiah dari ibunya.

"Loh, ibu kan kerja," jawabku singkat sambil memeluk tubuh mungilnya.

"Bintang rindu ibu. Apa aku boleh telepon ibu, Yah?"

Anakku pun menatapku penuh harap. Tapi aku hanya bisa menggeleng, "Tidak sekarang ya, Bintang?"

Ya Allah, isteriku dalam kesendirian. Akupun tak bisa mendampinginya. Dan aku hanya bisa menatap dari kejauhan ketika tim medis memberi perawatan pada isteriku yang sangat bangga akan profesinya sebagai seorang perawat. Juga bangga sebagai seorang guru.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Melihat dari Dekat Negeri Tiongkok Melalui Provinsi Xinjiang dan Guangdong (1) Oleh: Ahmad Dahlan, ....

Suara Muhammadiyah

28 August 2024

Humaniora

Hikmah Ibadah Haji 1445 H / 2024 M Aris Rakhmadi, S.T., M.Eng., Dept of Informatics Engineering, Un....

Suara Muhammadiyah

26 June 2024

Humaniora

Kakiyah Hingga Balad "Surga Belanja Jamaah Indonesia"  Oleh: Alfian Dj, Pengajar Muallimin Muh....

Suara Muhammadiyah

18 June 2024

Humaniora

Malaysia: Menyusuri Jejak Orang Kerinci Oleh: Mahli Zainuddin Tago Hulu Langat-Selangor Malaysia, ....

Suara Muhammadiyah

28 June 2024

Humaniora

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah  Suara jejarum hujan yang membentur atap seng teras tak dapat men....

Suara Muhammadiyah

8 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah