Sapiens: Spesies Manusia Paling Cerdas atau yang Akan Punah Karena Kebodohannya Sendiri?

Publish

12 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
45
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Sapiens: Spesies Manusia Paling Cerdas yang Pernah Hidup, atau Spesies Paling Cerdas yang Akan Punah Karena Kebodohannya Sendiri?

Oleh: Rahmat Balaroa, S.Ag., Mudir Pondok Pesantren MQS Wonogiri, Pesantren hijau berwawasan lingkungan, berbasis Al-Qur’an dan Sains

Tahun 2025 mencatat rekor buram yang cukup suram: WALHI memprediksi deforestasi akan meningkat 600 ribu hektar, sementara Indonesia memproduksi sekitar 56,63 juta ton sampah yang sebagian besar tak terkelola. Berbagai wilayah melaporkan peningkatan intensitas bencana lingkungan seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Kita tengah menyaksikan fenomena paradoks: spesies yang mengklaim diri paling cerdas di planet ini justru paling rajin menghancurkan rumahnya sendiri.

Yuval Noah Harari dalam bukunya "Sapiens" menjelaskan bahwa kekuatan luar biasa manusia terletak pada kemampuan bercerita dan menciptakan mitos kolektif. Namun, apa yang terjadi ketika mitos kemajuan ekonomi dan konsumerisme menjadi begitu dominan hingga mengalahkan mitos tentang keseimbangan alam? Kita telah menciptakan cerita tentang pertumbuhan tanpa batas di planet yang terbatas.

Revolusi Kognitif yang Menyesatkan

Harari menulis tentang tiga revolusi besar yang membentuk peradaban manusia: Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, dan Revolusi Industri. Namun yang kita saksikan di tahun 2025 ini adalah revolusi keempat yang tidak dia sebutkan: Revolusi Kerusakan. Revolusi yang didorong oleh kemampuan kognitif manusia untuk menciptakan justifikasi atas setiap tindakan destruktif.

Ambil contoh sederhana: ketika perusahaan sawit menebang hutan untuk "membuka lapangan kerja" atau ketika pemerintah merestui tambang batubara untuk "meningkatkan devisa negara." Ini adalah contoh sempurna bagaimana Homo sapiens menggunakan kemampuan bercerita untuk melegitimasi perusakan. Kita menciptakan narasi pembangunan yang terdengar mulia, padahal esensinya adalah eksploitasi sistematis terhadap alam.

Survey menunjukkan pengelolaan sampah menjadi isu lingkungan paling penting bagi warga Indonesia di kuartal kedua 2025. Namun, mengapa masalah ini terus berlanjut? Karena kita telah terjebak dalam mitos konsumerisme yang mengajarkan bahwa membuang adalah hal yang wajar dan mengganti adalah solusi segala masalah.

Sapiens dan Obsesi Menguasai Alam

Harari mengingatkan bahwa sejak Revolusi Pertanian, manusia mulai mengubah paradigma dari "beradaptasi dengan alam" menjadi "menguasai alam." Kita tidak lagi melihat diri sebagai bagian dari ekosistem, melainkan sebagai penguasa yang berhak mengeksploitasi segala sumber daya.

Mindset inilah yang membawa kita pada situasi hari ini. Ketika hutan dibabat habis, kita bilang itu "pembangunan." Ketika sungai tercemar limbah industri, kita sebut "efek samping kemajuan." Ketika udara Jakarta menjadi yang terburuk di dunia, kita cari kambing hitam pada cuaca, bukan pada kebijakan transportasi dan industri yang keliru.

Yang lebih mengkhawatirkan, kita telah mengembangkan kemampuan untuk menciptakan solusi semu. Alih-alih mengurangi emisi, kita bicara tentang teknologi penangkap karbon yang belum terbukti efektif. Alih-alih mengurangi sampah, kita promosikan daur ulang yang realitasnya hanya menunda masalah. Kita menjadi ahli dalam mencari jalan keluar palsu ketimbang menghadapi akar permasalahan.

Mitos Kemajuan yang Meracuni Akal Sehat

Harari dengan tepat mengidentifikasi bahwa kekuatan Homo sapiens terletak pada kemampuan menciptakan dan mempercayai fiksi bersama. Namun, fiksi tentang "kemajuan ekonomi" telah menjadi racun yang menggerogoti akal sehat kolektif kita.

"Sampah yang tidak terkelola memperparah tiga krisis planet: perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi", kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup. Ironisnya, kita sudah tahu ini, namun tetap saja menghasilkan sampah dalam jumlah fantastis. Mengapa? Karena mitos konsumerisme mengajarkan bahwa kebahagiaan datang dari memiliki dan membuang, bukan dari keberlanjutan.

Kita telah menciptakan sistem ekonomi yang menganggap kerusakan lingkungan sebagai "eksternalitas"—istilah ekonomi yang elegan untuk mengatakan "bukan masalah kita." Padahal, kerusakan lingkungan adalah masalah kita semua, bahkan masalah terbesar peradaban ini.

Saatnya Revolusi Kesadaran

Sebagai spesies yang mengklaim paling cerdas, sudah waktunya kita menggunakan kemampuan kognitif kita untuk hal yang benar-benar penting: menyelamatkan planet tempat kita tinggal. Ini bukan tentang kembali ke zaman batu, melainkan tentang menciptakan mitos baru tentang kemajuan yang berkelanjutan.

Kita perlu mengubah narasi pembangunan dari "sebanyak-banyaknya" menjadi "secukupnya." Dari "secepat-cepatnya" menjadi "seseimbang-seimbangnya." Dari "semurah-murahnya" menjadi "sepantasnya bagi semua pihak, termasuk alam."

Pemerintah harus berani mengambil kebijakan yang mungkin tidak populer di mata investor namun esensial bagi keberlangsungan hidup. Perusahaan harus mengubah paradigma dari mengejar profit semata menjadi mengejar profit yang bertanggung jawab. Dan masyarakat harus mulai mempertanyakan pola konsumsi yang telah menjadi kebiasaan.

WALHI mengeluarkan Environmental Outlook 2025 dengan tema 'Melanjutkan Tersesat, Atau Kembali Ke Jalan yang Benar'. Tema ini merangkum pilihan fundamental yang kita hadapi: terus menjadi Homo sapiens yang obsesif merusak atau berevolusi menjadi Homo sustainable yang bijak merawat.

Harari mengingatkan bahwa kemampuan berimajinasi adalah kekuatan terbesar manusia. Mari gunakan imajinasi itu untuk menciptakan masa depan di mana kemajuan diukur bukan dari berapa banyak yang kita konsumsi, melainkan dari berapa lestari planet yang kita wariskan.

Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu menyelamatkan bumi—kita punya teknologi dan sumber dayanya. Pertanyaannya adalah: apakah kita mau? Apakah kita siap meninggalkan mitos kemajuan yang destruktif dan menciptakan cerita baru tentang peradaban yang berkelanjutan?

Jawaban atas pertanyaan itu menentukan apakah Homo sapiens akan dikenang sebagai spesies paling cerdas yang pernah hidup, atau spesies paling cerdas yang pernah punah karena kebodohannya sendiri.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Amalia Irfani Aksi bela Palestina yang bergemuruh dipenjuru negeri dan terus menjadi gerakan ....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Allah menyuruh kita memahami lingkungan di mana kita berada (qul sîr&ucir....

Suara Muhammadiyah

27 October 2023

Wawasan

Ayat-Ayat Takdir yang Disalahpami Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andal....

Suara Muhammadiyah

10 July 2024

Wawasan

Kebijakan Afirmasi Oleh: Iu Rusliana, Penulis adalah Dosen Program Magister Manajemen Uhamka Jakart....

Suara Muhammadiyah

12 September 2025

Wawasan

Tidak Mendukung Kemaksiatan adalah Kenikmatan Beragama Oleh : Haidir Fitra Siagian, alumnus Jurusan....

Suara Muhammadiyah

1 June 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah