YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Pusat Dr H Amirsyah Tambunan, MA menyebut transparansi dalam pengelolaan keuangan Haji sangat relevan. Hal tersebut menyangkut salah satunya mengenai kepercayaan jamaah haji. Demikian diungkapkan dalam Ruang Dialog BPKH: “Harmonisasi Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia,” Jumat (17/5) yang digelar Suara Muhammadiyah bekerja sama dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Ballroom SM Tower Malioboro.
“Transparansi membangun kepercayaan antara penyelenggara Haji dan jamaah. Dengan menyediakan informasi yang jelas dan terbuka tentang pengelolaan dana Haji, jamaah Haji dapat merasa yakin bahwa dana mereka dikelola dengan benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah,” katanya.
Selain itu, transparansi menyangkut keadilan finansial. Bagi Amirsyah, transparansi ini memastikan keadilan finansial bagi jamaah yang menunaikan ibadah haji di tanah suci. Menurutnya ini sangat penting disosialisasikan agar dapat mengetahui dengan jelas hal ihwal biaya-biaya dan investasi yang terkait dengan perjalanan Haji.
“Jadi keadilan finansial ini penting kita sosialisasikan kepada semua pihak. Supaya keadilan finansial ini bisa menutup celah gharar, maysir, dan lain-lain, termasuk judi,” tuturnya.
Amirsyah menjelaskan gharar secara bahasa berarti keraguan, al-khidā’ (penipuan), alkhāthr (pertaruhan) dan al-jahālāh (ketidakjelasan). Yaitu suatu tindakan yang di dalamnya terdapat unsur pertaruhan dan judi.
Gharar merujuk pada situasi di mana terdapat ketidakpastian atau ketidakjelasan yang signifikan terkait dengan suatu transaksi atau investasi. Dalam tinjauan fikih, kata gharar didefinisikan sebagai suatu ketidaktahuan terhadap akibat suatu perkara, kejadian atau peristiwa dalam transaksi perdagangan atau jual beli atau ketidakjelasan antara baik dengan buruknya.
“Dengan demikian, jual beli gharār adalah semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau perjudian karena tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya atau tidak mungkin diserah terimakan,” jelasnya.
Amirsyah menambahkan, mengelola keuangan haji itu harus jelas. Mulai dari awal sampai akhir, sehingga bisa terhindar dari gharar. “Jadi bagi kita mengelola dana haji itu sebenarnya enteng, yang penting transparan dan akuntabel. Tidak ada yang berat. Yang berat itu cari uang,” ucapnya seraya dibarengi gelak tawa dari peserta.
Dalam kesempatan itu, Amirsyah menjelaskan mengenai istilah Subhat. Menurutnya, istilah ini merujuk pada keraguan atau ketidakpercayaan yang timbul terhadap suatu transaksi atau kegiatan karena adanya kekurangjelasan atau ketidak transparan.
Dalam konteks keuangan Haji, Amirsyah mengungkapkan jika Subhat bisa muncul ketika ada ketidakjelasan. Yaitu tentang bagaimana dana Haji diinvestasikan atau dikelola, sehingga jamaah Haji merasa ragu atau tidak yakin apakah dana mereka digunakan dengan benar sesuai tujuan Haji.
“Ketidakpastian dan keraguan seperti Gharar dan Subhat dapat merugikan jamaah Haji karena dapat mengakibatkan ketidakpercayaan terhadap pengelolaan dana Haji dan menimbulkan risiko finansial bagi mereka,” tandasnya. (Cris)