Oleh: Dina Sutiana, Mahasiswi Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam / Aktivis Literasi Islam
Sekolah Islam terus menjamur. Dari taman kanak-kanak hingga SMA berbasis tahfidz, boarding school, hingga sekolah Islam bilingual dengan biaya fantastis perbulannya. Semua mengklaim satu hal: mencetak generasi yang berakhlak mulia dan unggul dalam spiritualitas. Namun, apakah fakta di lapangan mencerminkan janji tersebut?
Data Komnas Perlindungan Anak 2023 mencatat bahwa kasus perundungan dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Islam meningkat 18% dalam 2 tahun terakhir. Terlalu banyak kisah mengejutkan yang menjadi konsumsi publik: siswa dari sekolah berlabel Islam yang terlibat perundungan, pelanggaran etika, bahkan tindakan manipulatif. Kita pun bertanya-tanya: mengapa kasus-kasus itu justru muncul di ruang yang seharusnya menjadi benteng moral? Di mana hasil dari pendidikan bertahun-tahun itu?
Paradoks yang Tak Bisa Diabaikan
Kita hidup dalam ironi besar. Di satu sisi, orang tua berbondong-bondong memasukkan anak-anaknya ke sekolah Islam dengan harapan mereka tumbuh menjadi pribadi bertauhid, berakhlak kokoh, dan cinta ilmu. Di sisi lain, kita melihat jebolan sekolah Islam yang tak sedikit gagap dalam kejujuran, abai terhadap tanggung jawab sosial, dan terbiasa dengan budaya kompetisi yang mengikis empati.
Sekolah Islam seharusnya menjadi tempat yang aman secara spiritual dan sosial. Tapi kenyataan tak selalu demikian. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Laporan Education Watch Indonesia 2022 menemukan bahwa 36% alumni sekolah Islam mengaku pernah mengalami kekerasan verbal atau fisik selama masa studi. Kita juga sering mendengar kasus guru melecehkan murid, santri senior menganiaya junior, atau pengelola yang memanipulasi dana umat. Ini bukan satu-dua kasus. Ini alarm.
Pertanyaannya: salah siapa? Sistem, individu, atau gagalnya internalisasi nilai?
Verbalistik vs Transformasi: Mengajarkan Nilai, Tapi Gagal Menjadi Nilai
Salah satu akar persoalan pendidikan Islam hari ini terletak pada pendekatan pembelajaran yang terlalu verbalistik. Mata pelajaran seperti akidah, akhlak, dan fikih kerap disampaikan sebagai kumpulan definisi dan hukum, bukan sebagai proses pembentukan kepribadian dan kesadaran ruhani.
QS. Al-Jumu’ah ayat 2 memberikan petunjuk yang sangat relevan: Nabi Muhammad diutus membacakan ayat-ayat, menyucikan jiwa (tazkiyah), lalu mengajarkan kitab dan hikmah. Namun dalam praktik pendidikan Islam saat ini, proses penyucian jiwa sering diabaikan. Akibatnya, lahirlah generasi yang tahu mana yang benar dan salah, tetapi tidak memiliki kekuatan spiritual untuk menghayati dan mengamalkannya.
Lebih jauh, meskipun kurikulum sekolah Islam umumnya memuat pelajaran akidah, akhlak, dan fikih, pertanyaannya: sejauh mana nilai-nilai tersebut benar-benar hidup dalam kultur harian siswa, guru, dan pengelola? Terlalu banyak sekolah yang “mengajarkan agama”, namun gagal menghidupkan agama dalam praktik keseharian.
Ketika guru berbicara tentang akhlak mulia, tetapi bersikap kasar kepada siswa, ketika pengurus sekolah berbicara tentang keteladanan, namun menutupi pelanggaran demi menjaga citra institusi—maka yang muncul adalah disonansi moral. Inilah paradoks yang membuat banyak alumni sekolah Islam justru tumbuh sinis terhadap agama, bahkan sebagian meninggalkannya karena trauma dengan pengalaman masa sekolah.
Kebijakan yang Gagal Menyentuh Akarnya
Ironi ini diperparah oleh arah kebijakan nasional yang tak menyentuh akar persoalan. Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan masih terjebak pada angka administratif—jumlah madrasah, guru bersertifikasi, capaian akademik. Nyaris tak ada evaluasi tentang efektivitas pendidikan moral.
Di lapangan, banyak sekolah Islam swasta menjadikan “Islam” sebagai komoditas branding. Seragam syar’i, jargon Islami, hafalan juz ‘amma jadi nilai jual utama, sementara pendidikan ruhani dan akhlak tidak dihidupkan. Akibatnya, tidak sedikit sekolah Islam yang tampak Islami secara visual, namun kosong secara ruhaniah.
Lebih parah, banyak lembaga Islam berbasis yayasan swasta beroperasi tanpa pengawasan ketat. Sistem yang tertutup membuat kepala sekolah atau pemilik yayasan memegang kuasa absolut. Mekanisme aduan aman dan transparan kerap tidak tersedia.
Ketika pelanggaran terjadi, korban sering ditekan untuk diam demi menjaga “nama baik lembaga.” Jika pelaku adalah tokoh karismatik, kebenaran pun sering dikorbankan demi simbol. Akibatnya, pelanggaran bisa menjadi sistemik—bukan hanya karena pelaku, tapi karena budaya tutup mata yang mengakar.
Evaluasi Kebijakan: Bukan Sekadar Angka, Tapi Esensi Perlindungan dan Nilai
Selama ini, wajah kebijakan pendidikan Islam masih terlalu terobsesi pada capaian-capaian administratif: berapa banyak siswa berprestasi, berapa guru bersertifikasi, atau berapa hafiz yang dicetak. Angka-angka ini memang mudah dilaporkan, tetapi sejatinya tidak menjawab pertanyaan inti: apakah pendidikan Islam benar-benar membentuk manusia berkarakter kuat, berintegritas tinggi, dan bertanggung jawab sosial?
Inilah celah yang harus diperbaiki. Evaluasi keberhasilan pendidikan Islam harus bergeser dari sekadar kuantitas menuju kualitas—terutama pada aspek perlindungan anak dan penguatan nilai moral. Kementerian Agama dan dinas pendidikan tidak cukup hanya merilis statistik. Mereka harus memperketat standar akreditasi dan pengawasan, terutama untuk sekolah boarding dan pesantren. Standar perlindungan anak, etika kelembagaan, dan budaya aman wajib ditegakkan tanpa kompromi atas nama “kultur” atau “tradisi.”
Sebaliknya, yayasan pendidikan Islam perlu mereformasi kultur internal: membuka ruang evaluasi, transparansi, keberanian mendengar suara korban, serta ketegasan moral dalam memperbaiki kesalahan. Esensi pendidikan Islam bukan sekadar hafalan atau ritual, tetapi penanaman keberanian moral—kejujuran, keadilan, empati, dan tanggung jawab. Tanpa spirit itu, sekolah Islam hanya akan mencetak lulusan yang piawai dalam pengetahuan formal, namun rapuh dalam membela kebenaran dan melindungi yang lemah.
Saatnya Sekolah Islam Introspeksi
Umat Islam hari ini perlu bertanya ulang: apakah kita sedang membangun sekolah atau mencetak santri, atau malah sekedar membangun institusi yang megah namun rapuh secara moral? Pendidikan Islam adalah proyek peradaban, bukan proyek branding. Jika lulusan sekolah Islam tidak memiliki daya spiritual, integritas sosial, dan kepekaan terhadap keadilan, maka semua gelar “Islam” yang mereka sandang hanyalah simbol kosong.
Kita tidak bisa terus menyalahkan generasi muda atas krisis moral jika sekolah dan sistem yang membentuk mereka tidak pernah benar-benar bertanya: apakah ruh pendidikan Islam telah kita hidupkan secara otentik?
Paradoks ini bukan hanya soal siswa—ini soal kita semua: perancang kebijakan, pemilik yayasan, kepala sekolah, hingga guru agama. Maka, ketika kita bertanya, “Salah siapa?”, kita harus cukup jujur untuk menjawab: salah kita semua—karena kita membiarkan visi besar pendidikan Islam terkurung dalam rutinitas, simbol, dan formalitas.
Jika sekolah Islam gagal menjadi ruang imani yang aman bagi jiwa anak-anak, maka kita bukan hanya gagal sebagai pendidik—kita gagal sebagai umat.