Seni Komunikasi
Oleh: Iu Rusliana, Dosen Program Magister Manajemen (MM) Uhamka Jakarta, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat
Berkomunikasi secara personal itu ada seninya. Tidak susah, pun demikian, tidak mudah. Butuh ketelatenan, rendah hati, mau mendengarkan, tidak sok tahu, atau mengajari lawan bicara seola-olahh kita paling tahu topik pembicaraan. Mengalir, saling menghormati, tidak ada yang mendominasi. Mendengarkan dan saling mengisi satu sama lain. Jangan juga bertele-tele, karena boleh jadi, teman Anda harus segera bergerak ke agenda lain. Walau tidak harus to the point, apa salahnya bertanya kabar dan mendiskusikan beberapa hal yang ringan, menjadi hobi masing-masing.
Agar cair, mulailah dari hobi atau ucapan selamat atas prestasi keluarga beliau. Informasi soal ini kan mudah, buka di media sosial atau media massa. Jika pun tidak suka hobi itu, jangan bilang tidak suka. Dukung dan bila belum bisa, cukup bilang, belum sempat mencoba hobi tersebut. Apa susahnya Anda memujinya sebagai hobi yang keren dan unik. Setiap orang senang dipuji, walau tentu tidak perlu terus-terusan memuji, secukupnya saja.
Ucapkan terima kasih telah bersedia menerima dan mendoakan tuan rumah atau lawan bicara. Kalau beliau belum mempersilakan, jangan masuk ke pokok pembicaraan. Tunggu sampai beliau selesai. Kadang-kadang ada yang menceritakan pengalaman hidup, zaman suksesnya dengan semangat. Jangan pernah dihentikan, dengarkan dengan antusias.
Apabila sudah masuk obrolan ringan, misalnya tentang politik atau kondisi organisasi, jika baru berdiskusi, netral dulu, dengarkan dulu pendapat lawan bicara. Jika sudah berkali-kali tegas atas suatu kondisi, jika kita sependapat, tegaskan persetujuan. Kadang-kadang bersikaplah seolah-olah kita menyetujui gagasan hebat teman tersebut. Jangan biasakan bergosip tentang teman yang lain jika ada masalah yang menderanya. Namun, tunjukkan empati. Orang akan berpikir takut berkawan dengan Anda, ketika kita rajin membicarakan orang lain. Jangan-jangan nanti dia yang akan dibicarakan di belakang.
Untuk dapat cerdas berkomunikasi butuh disiplin, kesungguhan, dan latihan yang tak kenal lelah. Jam terbang dan waktu yang mengajari. Cobalah untuk tidak hidup di lingkungan homogen. Berinteraksilah di lingkungan heterogen. Perkuat dengan bacaan, buku, jurnal, media massa, dan sumber ilmu pengetahuan lainnya.
Hindari berdebat untuk satu isu yang tidak pasti. Katakana saja: “Oh ya? Wah, saya tampaknya belum update dengan informasi ini. Terima kasih ya sudah memberitahu, sangat berharga sekali.” Mudah saja kan berbicara begitu pada lawan bicara. Terus kalau berdebat dan Anda menang, memang akan diuntungkan? Kalau lawan bicara posisinya di atas kita, banyak urusan tidak akan selesai itu. Memang Anda akan hebat dengan menguasai perdebatan? Tidak, bahkan mungkin kebodohan Anda akan terungkap.
Berkomunikasi itu harusnya dialogis. Jika tidak, hanya akan melahirkan indoktrinasi, intimidasi, dan instruksi. Walau pada kasus tertentu, situasi darurat, instruksi penting. Namun, dialog, menggambarkan mitra setara dan saling menghargai. Ada ruang saling menguatkan, mempertajam, dan memberikan masukan.
Gunakan perasaan, selain pikiran. Sehingga kalimat dan kata yang disampaikan penuh makna bagi lawan bicara. Tidak harus semuanya berbusa dan terdengar indah, pahit pun disampaikan, tetapi dikemas dengan bahasa yang santun. “Mudah-mudahan ya, itu tidak terjadi. Jika kita ikhtiar, pasti akan ada jalan keluar.” Memotivasi, menyemangati, bukan menjatuhkan. Jangan sampai teman kehilangan semangat setelah bertemu Anda. Bukankah kita tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Siapa yang tahu sedetik, semenit, sejam, sehari, seminggu yang akan datang. Waktu itu hal yang gaib, di mana Allah Yang Mahakuasa mengajarkan untuk berikhtiar maksimal. Hasilnya, kita bertawakal kepada-Nya.
Energi dahsyat dalam berkomunikasi terbangun karena niat, pikiran, dan tindakan tulus. Tidak bisa dimanipulasi karena semuanya alami. Bagi mereka yang pandai melobi dan persuasi, boleh jadi ada tujuan manipulasi, tetapi itu tidak mudah. Selalu ada titik kekeliruan yang membuka ruang keraguan. Negosiasi terjadi karena kepentingan yang sama saja. Pikirkan perkawanan jangka panjang, selain apa yang didapatkan sekarang. Terlalu mahal persahabatan tergadai hanya untuk hal yang remeh-temeh.
Lebih banyak mendengar daripada didengar. Ini yang tidak mudah dalam seni berkomunikasi sejati. Kita selalu ingin didengar, padahal apa yang dikatakan mungkin pengulangan. Basi, sudah tidak penting, atau berlawanan dengan pikiran teman bicara. Mendengarkan akan mendapatkan banyak informasi. Terlalu banyak bicara akan membuka kartu trup Anda secara sadar atau tidak. Sifat dan karakter akan terbuka.
Bersikap menenteramkan, penuh empati, dan simpati. Jangan sekali-kali membandingkan kepada teman, maksudnya untuk menunjukkan perbedaan dan kekurangan yang kurang pas. Boleh jadi tujuannya baik, tetapi ketahuilah setiap orang punya rencana dan tujuannya masing-masing. Misalnya, “Akang kan wakil ketua di level cabang, kenapa di tingkat daerah hanya anggota. Padahal kan di majelis, harusnya wakil ketua jugalah.” Kelihatanya membela, tetapi sebenarnya boleh jadi teman Anda merasa dihina.
Mesti diingat, setiap orang punya tujuan, prioritas, dan rencana. Waktu 24 jam dalam sehari itu tidak bisa dikelola maksimal dengan segala aktivitas. Boleh jadi memilih jadi anggota agar beban tanggung jawab bisa dikurangi. Seiring dengan tujuannya pada priotas lain yang menjadi perhatian. Hidup kita dibagi untuk keluarga, pekerjaan, pengembangan diri, profesi, dan organisasi. Bayangkan kalau kita menjadi pimpinan di semua unit, bagaimana bisa mengatur waktu. Hindari menilai, karena boleh jadi kita keliru dan menyinggung perasaan teman bicara.
Langsung ke poin inti dan bersama mencari solusi. Terlalu banyak basa-basi juga tidak baik. Kecuali Anda bertemu hanya untuk menjaga relasi, tidak ada tujuan lain. Dengan waktu yang terbatas, langsung ke poin inti saja, tujuan Anda apa. Walau demikian, lihat gestur dan wajah lawan bicara. Kalau kelihatan sedang tidak mood, jangan dulu masuk ke proposal. Bahkan kalau tidak yakin, tunda dulu, kecuali situasi mendesak dan bertemu kawan tersebut tidak mudah. Spekulasi tentu ada risikonya. Namun, kalau masih lama, tunda saja dulu sejauh yakin kita mudah mengakses beliau.
Menang-menang, bukan menang kalah. Pembicaraan yang dialogis jangan meninggalkan jalan buntu. Harus ada solusi, walau tak ada solusi sempurna. Tetap tersenyum walau kecewa. Toh tidak selamanya kita kalah, sebaliknya, menang terus pun tidak mungkin. Buat parameter standar minimal yang hendak dicapai dari pembicaraan.
Berkomitmen pada kesepakatan pembicaraan. Ukuran kualitas manusia itu pada integritas. Dalam Islam, ditegaskan dengan sifat Nabi Muhammad SAW, sidik dan amanah. Sekali kita berkhianat, susah orang memberi kepercayaan. Sepandai pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Kita mungkin bisa menipu banyak orang, percayalah, akan satu masa Anda ketahuan. Masuk penjara, dijauhi teman, dan keluarga. Hidup sengsara karena banyak merugikan sanak saudara.
Seni komunikasi personal mengajarkan kita untuk jujur, santun, tulus, empati, dan terpercaya. Hidup ini ditentukan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Berkuasa paling lama hanya lima, sepuluh, atau lima belas tahun. Namun, kesan buruk adalah citra negatif yang sulit dihapuskan. Perkawanan jauh lebih utama, dari situlah kualitas kita teruji. Pribadi mulia atau hanya pemuja kuasa dan sang penebar luka. Wallaahu’alam.