Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Bayangkan sebuah adegan dramatis di Hari Penghakiman. Ketika seluruh umat manusia berkumpul, Allah SWT memanggil para rasul dalam sebuah sidang istimewa. Sorotan tertuju pada Isa AS, putra Maryam. Sebuah pertanyaan menggema, menembus keheningan: "Wahai Isa putra Maryam! Apakah engkau pernah menyeru umatmu untuk menjadikanku dan ibuku sebagai dua ilah selain Allah?"
Dengan penuh ketundukan, Isa AS menjawab, "Maha Suci Engkau! Tidaklah layak bagiku mengucapkan sesuatu yang tidak Engkau perintahkan. Jika aku pernah mengatakannya, tentu Engkau Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dalam diriku, sementara aku tak mampu menjangkau pengetahuan-Mu yang tak terbatas. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib."
Dialog ini, yang terabadikan dalam Surah Al-Maidah ayat 116, bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah potret abadi tentang tauhid, tentang kemurnian ajaran para nabi, dan tentang keagungan Allah SWT yang tiada banding. Pertanyaan ini, yang mungkin terasa mengejutkan bagi sebagian kalangan, justru menjadi pengingat yang kuat akan keesaan Ilahi, sebuah prinsip fundamental dalam Islam.
Perlu diperhatikan bahwa kata kerja dalam ayat ini dapat ditafsirkan dalam dua dimensi waktu: lampau dan kini. Ungkapan dalam bahasa Arab idz, yang bisa jadi kependekan dari idzâ, membuka ruang interpretasi. Bisa jadi ini adalah rekaman percakapan yang pernah terjadi, atau bisa pula menjadi gambaran tentang pertanyaan yang akan diajukan di Hari Penghakiman kelak. Bagaimanapun penafsirannya, esensi ayat ini tetaplah sama: penegasan tegas terhadap keesaan Allah dan penolakan segala bentuk penyekutuan.
Lebih dari sekadar percakapan, ini adalah panggung kebenaran di Hari Kiamat. Bayangkan seluruh umat manusia menyaksikan momen agung ini: Allah SWT berdialog langsung dengan para utusan-Nya. Sorotan utama tertuju pada Isa AS. Pertanyaannya lugas dan krusial: "Apakah engkau telah menyampaikan risalah-Ku dengan benar kepada mereka?"
Tujuannya jelas. Jika di dunia ada pengikut ajaran sesat, mereka tak punya alasan untuk berlindung di balik nama Isa AS. Mereka tak bisa lagi berkilah, "Kami menyembah Isa dan ibunya karena itulah yang diajarkannya." Di hadapan seluruh makhluk, Isa AS akan bersaksi bahwa ajarannya murni berasal dari Allah, yaitu Tauhid – keesaan Sang Pencipta yang juga ia sembah. Jadi, dialog ini bukan sekadar kilas balik, melainkan proyeksi masa depan, sebuah interogasi yang pasti terjadi di hari penghisaban.
Menariknya, dialog futuristik ini memiliki implikasi di masa kini. Jika saat ini atau sebelum kiamat tiba, ada kelompok yang benar-benar mendewakan Maryam, maka pertanyaan ini akan terbukti relevan dan menjadi kenyataan yang pahit. Lebih jauh lagi, Al-Qur`an mengajarkan bahwa setiap bentuk pengabdian yang seharusnya hanya tertuju kepada Allah, jika dialihkan kepada selain-Nya, sama halnya dengan menjadikan sosok tersebut sebagai tuhan.
Pandangan ini ternyata universal. Bahkan dalam Alkitab pun disebutkan bahwa seseorang tidak dapat mengabdi kepada Allah dan Mamon (kekayaan) sekaligus. Jika seseorang terlalu mencintai harta, ia seolah menjadikannya sebagai tuhannya. Al-Qur`an bahkan lebih dalam lagi, menyatakan bahwa sebagian orang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya sendiri. Artinya, ketaatan dan kepatuhan yang seharusnya dipersembahkan kepada Allah, justru diberikan kepada ego dan keinginan diri sendiri.
Senada dengan hal ini, Surah At-Taubah ayat 31 mengungkapkan bahwa sebagian orang menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Ini mengindikasikan bahwa kepatuhan buta kepada otoritas manusia, melebihi kepatuhan kepada firman Allah, juga merupakan bentuk pengkultusan.
Para ulama Muslim klasik menafsirkan ayat tersebut sebagai peringatan keras; jangan sampai mengikuti hukum dan aturan buatan manusia (para pendeta dan rabi) melebihi kepatuhan kepada hukum Allah. Bahkan dalam Alkitab pun terdapat kecaman terhadap praktik serupa. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur`an mengajak para pembacanya untuk merenungkan: "Bagaimana sebenarnya kalian memperlakukan Maria?"
Sejarah mencatat tingginya penghormatan dan bahkan pengkultusan terhadap Maria. Gelar "Theotokos" (Pembawa Tuhan) menjadi buktinya. Logika di baliknya sederhana: jika Isa diyakini sebagai Tuhan, lalu siapa ibunya? Apakah Maria hanya melahirkan seorang manusia yang kemudian didewakan? Atau justru ia melahirkan Tuhan itu sendiri? Kesimpulan sebagian orang adalah Maria melahirkan Tuhan, sehingga ia layak menyandang gelar "Theotokos."
Namun, dari sudut pandang Islam, segala bentuk pengabdian dan penyembahan hanya layak ditujukan kepada Allah semata. Penghormatan berlebihan terhadap Maria, hingga menjadikannya objek ibadah, adalah sebuah penyimpangan. Inilah konteks mengapa Allah SWT bertanya kepada Isa AS di Hari Penghakiman, "Apakah engkau memerintahkan umatmu untuk menjadikan aku dan ibumu sebagai dua tuhan selain Allah?" Tentu saja, Isa AS akan dengan tegas menyangkalnya, menyatakan bahwa ia hanya menyampaikan ajaran Tauhid yang diperintahkan Allah kepadanya.