Hukum Haji Tanpa Maharam Menurut Muhammadiyah
Pertanyaan:
Apa hukum haji tanpa mahram menurut Muhammadiyah?
Irgi Farid (Disidangkan pada Jum‘at, 12 Safar 1441 H / 11 Oktober 2019 M)
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Jawaban atas pertanyaan tersebut sebenarnya pernah dimuat pada buku “Tuntunan Manasik Haji Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah”. Namun demikian di sini akan kami sampaikan kembali, mudah-mudahan menjadi jelas bagi saudara.
Ibadah haji terkait dengan adanya syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Salah satunya ialah haji hanya diwajibkan kepada orang yang telah sanggup mengadakan perjalanan ibadah haji atau mampu, hal ini berdasarkan ayat,
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ.
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah ia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam [Q.S. Ali ‘Imran (3): 97].
Dalam buku Tuntunan Manasik Haji menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah diterangkan bahwa bagi wanita yang akan menunaikan ibadah haji harus disertai mahram, jika dalam keadaan tidak aman. Dalam hadis disebutkan,
عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ: لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، فَقَامَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وَإِنِّي اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ [رواه البخري ومسلم واللفظ له, انظر صحيح البخري, كتاب الجهاد والسير رقم 3002, وصحيح مسلم كتاب الحج رقم 1341, وأحمد في مسند بني هاشم من مسند أحمد حديث رقم 1733].
Dari Abi Ma’bad (diriwayatkan) ia berkata, saya mendengar Ibnu Abbas berkata, saya mendengar Rasulullah saw berpidato, beliau berkata, janganlah seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali disertai dengan mahramnya; dan janganlah seorang wanita berpergian kecuali bersama mahramnya. Kemudian ada seorang laki-laki yang berkata, Wahai Rasulullah sesungguhnya istri saya pergi berhaji, sedangkan saya telah mendaftarkan diri untuk berperang ini dan perang itu. Rasulullah bersabda, pergilah dan tunaikan haji bersama istrimu [H.R. al-Bukhari (3002), Muslim ( 1341) dan Ahmad (1733)].
حَدَّثَنَا عَبْدُ المَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ قَزَعَةَ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الخُدْرِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: - وَكَانَ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً - قَالَ: سَمِعْتُ أَرْبَعًا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَعْجَبْنَنِي، قَالَ: لاَ تُسَافِرِ المَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ ... [رواه البخري رقم 1996 ومسلم رقم 11253].
Diberitakan oleh ‘Abdul Malik Ibnu Umair (diriwayatkan) ia berkata saya mendengar Qaza’ah berkata, saya mendengar Abu Sa’id al-Khudri r.a- (menerangkan) adalah beliau telah berperang bersama Rasulullah saw dua belas kali – ia mengatakan, saya pernah mendengar empat hal dari Nabi yang menakjubkan saya. Beliau bersabda, Janganlah seorang wanita berpergian dalam suatu perjalanan yang lamanya dua hari kecuali dengan suami atau mahramnya … [H.R. al-Bukhari (1996), Muslim (11253)].
Riwayat-riwayat di atas lahirnya melarang perempuan berhaji tanpa mahram, namun jika dikaji lebih dalam lagi persyaratan mahram bagi wanita dalam melaksanakan ibadah haji sebenarnya tidak bersifat mutlak, tetapi lebih bersifat syad li al-dzari’ah (menutup jalan dari kemungkinan bahaya). Larangan tersebut disebabkan pada saat itu akses kendaraan dan keamanan dalam berhaji tidak semudah dan seaman seakarang.
‘Illat dalam hadis tersebut tidak terkait adanya mahram atau tidak, tetapi ‘illatnya adalah masalah keamanan. Suami atau mahram, hanya salah satu cara untuk memastikan keamanan. Tetapi meski tanpa suami atau mahram, asalkan perjalanan itu dipastikan aman, maka sudah cukup syarat yang mewajibkan haji bagi para wanita. Pada masa sekarang ini mahram yang bersifat personal dapat digantikan fungsinya, dengan sistem keamanan yang dapat menjamin keselamatan dan keamanan wanita itu yang menunaikan ibadah haji, seperti diketahui sekarang ini posisi mahram dapat digantikan dengan ketua regu, ketua rombongan, atau pembimbing ibadah haji, atau ketua kelompok terbang, yang mampu menjaga keamanan wanita selama beribadah haji.
Dalam hal ini dapat berlaku kaidah ushul yang berbunyi:
اَلْحُكْمُ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُودًا وَعَدَمًا.
Hukum itu tergantung ada tidaknya ‘illat (yang melingkupinya).
Oleh karena itu apabila seorang wanita akan menunaikan haji sementara tidak bersama suami atau mahram yang menyertainya maka dibolehkan baginya, karena bersama dengan regu, rombongan, pembimbing dan kloter yang dapat dipercaya dan menjaga keamanan baginya.
Kebolehan wanita berhaji tidak harus dengan mahram atau suaminya, selama terjamin keamanannya juga diperkuat dengan hadis dari ‘Ady Ibn Hatim yang diriwayatkan oleh al-Bukhari,
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الفَاقَةَ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ، فَقَالَ: يَا عَدِيُّ، هَلْ رَأَيْتَ الحِيرَةَ؟ قُلْتُ: لَمْ أَرَهَا، وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا، قَالَ: فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللهَ .... [رواه البخري رقم 3595].
Dari ‘Ady Ibn Hatim (diriwayatkan) ia berkata, ketika kami bersama Rasulullah saw tiba-tiba datang seorang laki-laki yang mengadu kepada beliau tentang kemiskinannya, kemudian datang pula laki-laki lain yang mengadu kepada beliau tentang gangguan keamanan di jalan oleh para perampok. Beliau bersabda, wahai ‘Ady, apakah kamu pernah ke kampung al-Hirah? Ia menjawab, belum pernah, tetapi saya pernah mendengar cerita tentang kampung itu. Beliau bersabda, jika kamu dikarunia usia panjang niscaya kamu akan melihat unta yang biasanya menjadi kendaraan penumpang wanita, berangkat dari kampung al-Hirah sampai penumpangnya dapat melakukan tawaf di Kakbah; tanpa ada ketakutan sedikit pun kecuali kepada Allah [H.R. al-Bukhari (3595)].
Di samping itu, berdasarkan surah Ali ‘Imran (3) ayat 97 sebagaimana telah dikutip di awal, kata “manusia” dalam ayat tersebut mencakup laki-laki dan perempuan. Mengingat tujuan dari keberadaan suami atau mahram yang mendampingi wanita (istri) dalam perjalanan haji dan umrah ialah demi keamanan dan keterjagaan diri seorang istri, maka rombongan haji tentunya sudah bisa menggantikan kedudukan suami atau mahramnya yang lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka keberadaan mahram itu tujuan pokoknya adalah menjamin keamanan wanita dari gangguan dan fitnah, sehingga tidak harus ada suami atau lainnya sebagai mahram selama terjamin keamanannya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 06 Tahun 2020