Solusi Islami dalam Pengelolaan Emosi: Antara Umar dan Abu Bakar
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Fenomena “berhijrah” dari sangat membenci Islam menjadi mau mempelajari dan akhirnya menjadi sangat mencintai Islam telah terjadi sejak zaman dahulu. Sebut saja sebagai contoh kisah Umar Ibn Khattab. Beliau terkenal sebagai orang yang sangat membenci Islam dan berwatak sangat keras, tetapi kemudian sangat mencintainya. Sampai-sampai ketika mendengar berita tentang wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak percaya. Beliau sangat marah kepada orang yang memberitakannya.
Beliau berpidato kepada orang-orang dan di dalam pidatonya itu beliau menyebut bahwa orang-orang yang menganggap bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat adalah orang-orang munafik. Menurut beliau, Rasulullah hanya menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala sementara dan pasti kembali lagi seperti halnya Nabi Musa. Hal itu dijelaskan di dalam Sirah Nabawiyah karya Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, terjemahan Bachtiar Nasir (hlm 356),
“Sesungguhnya, beberapa orang dari kaum munafik beranggapan bahwa Rasulullah telah wafat. Sesungguhnya, Rasulullah itu tidak wafat, tetapi pergi menemui Tuhannya sebagaimana Nabi Musa bin Imran pergi kepada-Nya. Dia pergi meninggalkan kaumnya selama 40 hari. Kemudian, dia kembali lagi kepada mereka setelah sebelumnya dikabarkan telah wafat. Demi Allah, Rasulullah benar-benar akan kembali. Sungguh, beliau akan memotong tangan dan kaki mereka yang mengatakan bahwa beliau telah wafat.”
Begitulah reaksi Umar Ibn Khattab ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Dia sangat emosional; marah luar biasa, padahal dia sebelum memperoleh hidayah bersyahadat, sangat membencinya. Dia sangat marah seketika jika mendengar nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut.
Reaksi Abu Bakar
Dikisahkan oleh Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri selanjutnya, ketika mendengar kabar wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar bergegas dengan naik kuda menuju masjid dan langsung masuk. Lalu, beliau masuk ke kamar ‘Aisyah. Selanjutnya, beliau menuju tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditutup dengan kain lebar. Beliau kemudian membuka wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, beliau menundukkan kepala kepadanya dan menciumnya dan menangis.
Sementara itu, Umar Ibn Khattab di luar masih berbicara kepada orang-orang. Abu Bakar pun keluar menuju ke tempat Umar Ibn Khattab untuk menenangkannya,
“Duduklah, wahai, Umar!”
Umar Ibn Khattab tidak mematuhinya. Lalu, Abu Bakar berbicara kepada orang-orang. Mendengar beliau berbicara, orang-orang pun memperhatikannya dan meninggalkan Umar Ibn Khattab.
Di dalam pidatonya, Abu Bakar membaca ayat 144 surat Ali Imran,
وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌ ۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ اَفَا۟ئِنْ مَّا تَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰۤى اَعْقَا بِكُمْ ۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْــئًا ۗ وَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ
"Dan Muhammad hanyalah seorang rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika beliau wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke belakang, maka dia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur."
Ibnu Abbas berkata,
“Demi Allah! Sungguh, seakan-akan para sahabat pada saat itu tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini, kecuali setelah Abu Bakar membacanya. Kemudian, semua orang mendengarnya dari Abu Bakar, dan aku tidak mendengar seorang pun dari manusia, kecuali ia membacanya.”
Ketika mendengar ayat 144 surat Ali 'Imran dibaca oleh Abu Bakar, Umar Ibn Khattab tak berdaya dan menyadari bahwa Rasulullah memang benar-benar telah wafat.
“Demi Allah! Tidaklah aku mendengar Abu Bakar membacanya, kecuali aku tercengang hingga kedua kakiku tak mampu menyanggaku. Kemudian, aku terjatuh ke tanah pada saat ia membacanya. Pada saat itu aku baru menyadari bahwa Rasulullah telah wafat.”
Keras dan Kasar
Ada persepsi pada sebagian warga masyarakat bahwa kekerasan dan kekasaran adalah wujud kemarahan. Karena marah, orang berbicara kasar dan keras. Bahkan, ada pejabat publik yang memahami bahwa tegas itu keras, kalau perlu, kasar! Pemahaman tersebut menjadi dasar baginya untuk berbicara dan bertindak kasar kepada siapa pun yang “dianggap” salah atau tidak mematuhi perintahnya.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi, manakala ada orang atau kelompok yang berbeda pendapat pun dinyatakan salah, maka harus disikapi dengan keras dan kasar. Lebih dari itu, dia bangga dengan bicara dan sikap keras dan kasarnya itu.
Sementara itu, ada pejabat publik yang selalu marah dan kemarahannya selalu diwujudkan dengan kekerasan dan kekasaran bicara dan tindakannya jika menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Idealnya tentu tidak demikian! Muslim mukmin yang bersedia menerima “amanah” sebagai pejabat publik, harus siap menerima kritikan, celaan, dan hujatan.
Protes Kaum Anshar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerima protes, kritik, bahkan, celaan, dan hujatan.Di dalam buku Etika Diskusi yang ditulis oleh World Assembly of Moslem Youth (hlm. 32-34) dijelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi harta pampasan perang lebih banyak kepada kaum Quraisy dan beberapa kabilah Arab dibandingkan dengan yang diterima oleh kaum Anshar.
Oleh karena itu, beliau dianggap tidak adil oleh kaum Anshar. Marahkah beliau? Tidak! Beliau, bahkan berbicara,
“Demi Allah! Seandainya kalian mau, kalian bisa menjawab dengan mengatakan sesuatu dan kalian benar adanya jika mengatakan sesuatu tersebut. Kalian bisa mengatakan kepadaku, “Bukankah engkau datang kepada kami dalam kedaan didustakan. Lalu, kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan terhina. Lalu, kami menolongmu. Engkau diusir dari kampung. Lalu, kami menampungmu. Engkau dalam kedaan fakir. Lalu, kami menyantunimu? Wahai, sekalian orang Anshar apakah kalian mempersoalkan harta yang sedikit jumlahnya itu, yang dengannya hati suatu kaum bisa bersatu lalu masuk Islam?
Adapun kalian, saya serahkan kalian kepada keislaman kalian. Wahai sekalian orang Anshar, tidak relakah kalian jika orang lain pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang ke tempat tinggal kalian dengan membawa Rasulullah? Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya jika bukan karena hijrah, niscaya aku adalah bagian dari kaum Anshar. Seandainya suatu kaum melewati lembah, seandainya kaum Anshar melewati lembah yang lain, niscaya aku akan berjalan di lembah yang dilalui oleh kaum Anshar. Ya, Allah! Rahmatilah kaum Anshar, putra Anshar, dan anak cucu Anshar.”
Seketika itu, menangislah kaum Anshar hingga basah janggutnya sambil berkata, “Kami rela Rasulullah dengan jatah pembagian kami."
Pelajaran Penting
Umar Ibn Khattab berwatak keras, bahkan, kadang-kadang kasar. Wataknya yang demikian ditunjukkan ketika menghadapi orang-orang zalim. Jadi, beliau tegas kepada siapa pun yang bertindak zalim sebab kezaliman bukan ajaran Islam.
Umar Ibn Khattab merujuk pada akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keluhuran akhlaknya telah menghijrahkan orang-orang yang semula sangat membenci Islam menjadi sangat mencintainya dari zaman dulu sampai sekarang, bahkan sampai kapan pun.
Sebelum bersyahadat, beliau sangat keras dan kasar. Malahan, ketika mendengar kabar bahwa adiknya telah berislam, beliau sangat marah sampai-sampai akan membunuhnya. Namun, setelah masuk Islam, beliau melawan kezaliman dan menegakkan keadilan bagi semua. Beliau mau mendengarkan nasihat Abu Bakar yang disampaikan dengan membaca ayat 144 surat Ali ‘Imran sebagaimana telah dikutip.
Hal yang semestinya kita hindari adalah sesama muslim dalam keadaan sangat marah dan berhadapan seperti akan berperang dengan penuh semangat yang menggelora sama-sama berseru, "Allahu Akbar!" Hal itu terjadi gegara perbedaan aspirasi politik. Di sisi lain, para elite politik dan para "penasihat spiritual" mereka pun membiarkannya! Apakah keadaan yang demikian sengaja dikondisikan?
Lepas dari ada tidaknya aktor intelektual yang membuat skenario demikian, kiranya kita lebih baik secara cerdas dan jujur menjawab pertanyaan: Apakah sesama muslim berhadapan seperti akan berperang sama-sama berseru, "Allahu Akbar" itu diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?
Berpuasa hakikatnya mendidik agar muslim mukmin yang melakukannya dapat mengelola emosi dengan benar. Jadi, hasil berpuasa semestinya terbentuk muslim mukmin yang dapat menjadi solusi islami bagi semua dalam pengelolaan emosi.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ هُوَالِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ إِذَا كَانَ يَوْمَ صِيَامِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَيَصْخَبْ فَإِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْقَاتَلهُ فَلْيَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ
“Semua amal Anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa, ia adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya, dan puasa itu adalah perisai. Pada hari seseorang dari kamu berpuasa janganlah ia berkata kotor dan berbuat gaduh, dan apabila ada orang mengajak berbantah dan bermusuhan hendaklah ia mengatakan, Saya sedang berpuasa.” (HR An-Nasa’i)
Allahu a’lam