Spirit Nuzulul Qur’an: Pembangun Peradaban Islam
Oleh: Dwi Kurniadi, Kader IMM Pondok Shabran UMS
Peradaban Islam di zaman ini jelas telah tertinggal oleh peradaban Barat. Barat dengan segala aspek pemikirannya jauh meninggalkan umat Islam. Dinamika zaman modern yang semakin kompleks, menjadikan Islam telah tertinggal dalam segi pemikiran dan kemajuan peradaban. Membangun peradaban yang maju memang bisa dikatakan susah bilamana masyarakatnya tidak mau diajak maju. Namun, apakah Islam bisa kembali berjaya seperti pada masa dinasti Abbasiyah yang mejadi simbol keemasan peradaban Islam? Ataukah Islam hanya akan berhenti begitu saja termakan dan terjajah oleh zaman, juga pemikiran Barat? Mari merenung sejenak, merefleksikan, kemudian menata masa depan demi peradaban Islam yang lebih maju.
Bulan suci Ramadan kini berada di tengah-tengah kita semua. Ramai orang menyambutnya dengan antusiasme yang tinggi. Wajar saja jika pada bulan suci ini banyak kegiatan yang menunjang untuk memeriahkannya. Namun, apakah Ramadan oleh umat Islam hanya dimaknai sekadar ritus ibadah untuk menggugurkan kewajiban sebagai seorang Muslim yang taat? Ataukah umat Islam memaknai Ramadan lebih dari sekadar ritus ibadah belaka?
Sayang rasanya ketika bulan Ramadan hanya dimaknai sekedar ritus ibadah. Padahal banyak aspek yang terbuka lebar pada bulan Ramadan, mulai dari aspek sosial, moral sampai aspek ekonomi. Ramadan mengajarkan kita semua tentang beratnya melawan hawa nafsu, karena dengannya nafsu tersebut menjadi musuh terbesar bagi manusia. Ramadan juga menambah sisi-sisi moralitas pada diri setiap insan, hubungan dengan Allah itu perlu (hablum minallah) namun jangan sampai mengesampingkan hubungan dengan manusia (hablum minannas). Karena dari padanyalah keseimbangan dan keharmonisan akan terjadi.
Mulia dengan Nuzulul Qur’an
Ramadan juga semakin mulia dengan adanya peristiwa yang kita kenal dengan nuzulul Qur’an atau turunnya Al-Qur’an. Peristiwa diturunkannya Al-Qur’an secara utuh dari lauh mahfudz ke langit ketujuh, kemudian dari Baitul izzah ke langit dunia pada bulan suci Ramadan. “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang haq dan yang batil)”. (QS. Al-Baqarah: 185)
Peristiwa turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad menjadi sangat sakral, melalui perantara malaikat Jibril. Di kala itu Nabi Muhammad sangat ketakutan didatangi oleh malaikat Jibril, namun dengan hebatnya Nabi Muhammad dapat menerima wahyu pertama yakni surat Al-Alaq ayat 1-5. "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!”, adalah bunyi dari ayat pertama. Dari ayat 1 sampai 5 mengajarkan kita tentang semangat kembar yakni ilmu dan iman. Layaknya ungkapan bijak dari Albert Einstein “"Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh".
Iqro’ adalah kata pembuka pada ayat pertama surat Al-Alaq, kemudian ditutup dengan kalimat “dengan menyebut nama Tuhanmu”. Sungguh sangat luar biasa bahasa yang dipakai Al-Qur’an, karena hal tersebut kalam Allah SWT. Iqro’ yang berarti ‘bacalah’ adalah perintah yang Allah perintahkan langsung kepada umatnya melalui risalah Nabi Muhammad. Penggunaan kata perintah pada awal ayat tersebut mengandung sebuah perintah mutlak dari Allah kepada hambanya yang menunjukkan pentingnya membaca dalam memulai sebuah peradaban. Tanpa membaca kita tidak akan paham tentang kewajiban salat, zakat, puasa dan haji. Dengan membaca kita mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil. Dengan membaca, ilmu baru akan bermunculan, kemudian berkembang dan terus berkembang.
Buya Hamka, Ulama dan Sastrawan Indonesia pernah mengatakan, “Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik”. Keilmuan akan tumbuh seiring dengan pembacaan kita terhadap segala sesuatu. Kata iqro’ memerintahkan bukan sekadar membaca Al-Qur’an ataupun sebuah buku yang bagus. Spirit iqro’ membawa kita lebih dari sekadar membaca teks yang ada, namun lebih luas daripada itu. Membaca suatu realitas yang ada adalah suatu keniscayaan untuk semangat iqro’. Mulai dari membaca gejala alam, suasana politik, perkembangan ekonomi, perubahan sosial, kesejahteraan umat beragama, menjadi ladang pengetahuan yang subur bagi orang yang mampu memaknai iqro’ dengan seksama dan mendalam.
Semangat literasi kian mulai menurun tergantikan dengan adanya gadget yang serba instan. Daya berpikir kritis mulai menurun pada segenap pemuda Islam terutamanya. Banyak di antara kaum muda yang lebih asyik dengan gadget yang dipegang daripada menghabiskan beberapa menit dengan buku bacaan ataupun menuliskan suatu gagasan. Melihat realitas yang sangat miris ini haruslah ditanggapi dengan serius, oleh umat Islam terutamanya. Sehingga daripadanya pemaknaan nuzulul Qur’an yang seringkali hanya dipahami sebagai budaya Islam tahunan belaka, maka harus mulai berbenah dengan memaknai nuzulul Qur’an ini dengan semangat iqro’ atau literasi yang berbalut dengan keimanan demi kemajuan peradaban Islam.
Kemajuan Peradaban Islam
Daulah Abbasiyah di Baghdad menjadi pusat kejayaan Islam, ketika para cendekiawan Muslim dari seluruh dunia berkumpul untuk menerjemahkan teks-teks kuno ke dalam bahasa Arab dan Persia. Selain Baghdad, Kairo di Mesir dan Kordoba di Spanyol juga menjadi pusat perkembangan sains, filsafat, ilmu kedokteran, dan pendidikan. Beberapa penyebab Islam mengalami kejayaan di antaranya: Islam sebagai agama dakwah sekaligus keseimbangan dalam menggapai kehidupan dunia dan akhirat, ajaran Islam mendorong umatnya untuk maju, terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa lain yang lebih dulu mengalami perkembangan ilmu pengetahuan, adanya etos keilmuan atau spirit iqro’ dari para ulama pada periode klasik.
Kejayaan Islam tak dapat diraih sekadar bersantai dengan penuh kenikmatan. Tradisi membaca ataupun literasi sangat kental pada masa dinasti Abbasyiyah, maka tak heran jika kejayaan Islam pada masa itu bisa sangat terasa dan berdampak pada masyarakat. Sehingga dari kejayaan itu yang menjadi mimpi besar umat Islam pada zaman sekarang. Akankah Sejarah yang sangat hebat itu akan terulang kembali? Jawabannya ada ditangan kita sekarang sebagai umat Islam.
Ramadan adalah bulan yang begitu mulia, adanya peristiwa nuzulul Qur’an menjadi hal yang tak terpisahkan dari kemuliaan tersebut. Harusnya kita sebagai umat Islam tak hanya memaknai nuzulul Qur’an sekadar budaya tahunan biasa, namun harus lebih luas dari pada itu. Peristiwa turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad haruslah menjadi pengingat kepada kita semua sebagai umat Islam dengan tradisi literasinya, karena perintah pertama yang turun adalah perintah untuk membaca. Kemajuan peradaban Islam tak akan lepas dari masyarakatnya yang tamak akan ilmu pengetahuan, atau dengan makna sempitnya adalah gila baca. Peradaban Islam akan terbangun sedikit demi sedkit dari kesadaran umat Islam akan spirit iqro’ dalam peristiwa nuzulul Qur’an ini. Entah kapan kejayaan Islam akan kembali, usaha dan doa lah yang menentukan segalanya. Wallahu a’lam bis shawab