Saatnya Mengembalikan Marwah Pendidikan Tinggi
Oleh: Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd., Dosen Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang
Pendidikan tinggi di Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Permasalahan runyam berjalin berkelindan. Tantangan yang dihadapi semakin kompleks seiring perkembangan zaman.
Isu-isu komersialisasi pendidikan tinggi khususnya di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), biaya kuliah yang terus melambung tinggi tak terjangkau, rendahnya rekognisi internasional, hingga kualitas lulusan yang sering dipertanyakan daya saingnya. Terlebih lagi, kasus-kasus etika akademis seperti perjokian, plagiasi, fabrikasi, dan publikasi di jurnal predator yang melibatkan dosen dan bahkan guru besar, kian meresahkan. Akhir-akhir ini publikasi ramai akibat kasus yang melibatkan puluhan guru besar di sebuah PTN di Kalimantan, bahkan konon kabarnya pemantauan sempat dilakukan pada ratusan guru besar lainnya di Indonesia.
Bak oase di padang gurun yang gersang, di tengah dinamika yang kurang menggembirakan ini, harapan baru muncul dengan dilantiknya tiga figur penting di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi. Pada tanggal 21 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Prof. Satryo tidak bekerja sendiri. Ia didampingi oleh dua wakil menteri, yakni Prof. Dr. Fauzan, M.Pd., mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang, dan Prof. Stella Christie, PhD., yang menempuh pendidikan di Amerika dan kini menjadi profesor terkemuka di China.
Figur Tepat
Ketiga figur ini membawa optimisme yang besar di kalangan masyarakat dan akademisi, terutama terkait harapan mereka untuk mengembalikan marwah pendidikan tinggi di Indonesia. Ketiganya dipercaya dapat membawa perubahan signifikan dalam pendidikan tinggi Indonesia.
Prof. Satryo Soemantri bukanlah sosok asing di dunia pendidikan tinggi Indonesia. Ia memiliki pengalaman panjang sebagai Dirjen Pendidikan Tinggi dan dikenal sebagai salah satu profesor yang sangat dihormati di perguruan tinggi negeri terkemuka. Pengalamannya dalam mengelola kebijakan pendidikan di tingkat nasional membuatnya dipandang sebagai pilihan tepat untuk memimpin sektor ini.
Di sisi lain, Prof. Fauzan membawa perspektif dari perguruan tinggi swasta, yang selama ini sering dipandang sebelah mata meskipun telah menunjukkan kualitas yang tidak kalah dibandingkan perguruan tinggi negeri. Universitas Muhammadiyah Malang, di bawah kepemimpinan Fauzan, berhasil menjadi salah satu perguruan tinggi swasta terbaik di Indonesia. Bahkan, di tahun 2021 Universitas Muhammadiyah Malang mencatatkan tinta emas sebagai kampus Islam terbaik dunia. Tahun 2024 ini kampus ini juga masuk sebagai lima perguruan tinggi dengan kinerja dan kualitas riset terbaik di Indonesia. Tentu prestasi ini mengalahkan 4000an PTN/PTS lain di seantero negeri.
Sementara itu, Prof. Stella Christie hadir dengan wawasan global berkat pendidikannya di Amerika dan karier akademiknya di China. Pengalaman lintas benua ini diharapkan mampu menghadirkan perspektif baru dalam perbaikan mutu dan internasionalisasi pendidikan tinggi Indonesia.
Belanja Masalah
Salah satu persoalan paling mendasar yang dihadapi pendidikan tinggi di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan. Perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta, semakin sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Mahalnya biaya kuliah kerap kali menimbulkan polemik terkait aksesibilitas pendidikan. Dalam situasi ini, pendidikan tinggi sering kali dianggap sebagai barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar.
Hal ini tentu bertentangan dengan cita-cita pendidikan nasional yang seharusnya inklusif dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, salah satu tantangan utama yang harus dihadapi oleh trio pimpinan baru ini adalah bagaimana menekan biaya pendidikan tanpa mengorbankan kualitas. Perlu ada terobosan kebijakan yang mampu menyeimbangkan antara biaya operasional perguruan tinggi dengan kemampuan finansial calon mahasiswa. Beruntung Prof Satryo sejak awal ketika selesai dilantik menyadari itu, dengan tegas di hadapan wartawan ia berjanji akan menyelesaikan persoalan uang kuliah tunggal (UKT) yang menjadi beban mahasiswa. Ia pun akan mengusahakan agar semua mahasiswa tak putus kuliah karena masalah UKT (DISWAY.ID, 22/10/2024).
Tidak hanya masalah biaya, komersialisasi pendidikan juga menjadi masalah besar yang memudarkan esensi pendidikan itu sendiri. Banyak perguruan tinggi yang lebih fokus pada keuntungan finansial dibandingkan dengan mencetak lulusan yang berkualitas. Perguruan tinggi seharusnya menjadi lembaga yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan. Namun, dengan semakin menguatnya komersialisasi, pendidikan berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi Prof. Satryo dan timnya. Mereka diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang mampu menekan praktik-praktik komersialisasi yang merugikan masyarakat, serta mengembalikan perguruan tinggi ke jalur yang seharusnya.
Permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah rendahnya rekognisi internasional terhadap perguruan tinggi Indonesia. Data menunjukkan bahwa hanya sedikit perguruan tinggi di Indonesia yang masuk ke dalam peringkat dunia. Hal ini tentu menjadi tantangan besar di era globalisasi, di mana persaingan tidak lagi hanya terjadi di tingkat nasional, melainkan juga di tingkat internasional.
Lulusan perguruan tinggi Indonesia sering kali kesulitan bersaing di pasar kerja global. Ini bukan semata-mata karena kualitas lulusan yang rendah, tetapi juga karena kurikulum yang belum sepenuhnya adaptif terhadap kebutuhan industri global, minimnya akses terhadap riset berkualitas, dan keterbatasan kolaborasi internasional. Dalam hal ini, Prof. Stella dengan pengalamannya di luar negeri dan Prof Fauzan dengan langkah visionernya diharapkan mampu membersamai Prof Satryo sehingga membawa perspektif baru untuk mendorong internasionalisasi pendidikan tinggi Indonesia, baik dalam hal riset maupun kolaborasi akademik.
Namun, masalah yang lebih fundamental adalah hilangnya integritas akademis. Kasus-kasus perjokian, plagiasi, hingga publikasi di jurnal predator yang melibatkan dosen dan bahkan guru besar telah mencoreng nama baik pendidikan tinggi Indonesia. Wajar bila dikatakan etika akademis di perguruan tinggi Indonesia sedang berada di titik nadir.
Kepercayaan masyarakat terhadap dunia akademik mulai luntur, dan ini menjadi tantangan besar bagi Prof. Satryo dan kedua wakilnya. Mereka harus mampu menegakkan kembali integritas akademis dan menegaskan bahwa dunia pendidikan adalah tempat untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab. Tentu, penegakan aturan yang adil dan tegas terhadap pelaku plagiasi dan praktik-praktik akademis tidak etis nanti culas lainnya menjadi hal yang sangat penting.
Tak kalah penting, kualitas riset juga harus ditingkatkan. Kondisi kekinian menunjukkan bahwa dosen terjebak dalam keharusan untuk mempublikasikan karya ilmiah demi memenuhi persyaratan administratif, tanpa memperhatikan kualitas dari riset itu sendiri. Akibatnya, banyak karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal predator, yang sebenarnya tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Trisula baru kementerian ini diharapkan dapat membuat regulasi yang lebih ketat terkait publikasi ilmiah, serta mendorong dosen dan mahasiswa untuk melakukan riset yang berkualitas dan relevan dengan perkembangan zaman.
Dengan kombinasi pengalaman dan latar belakang yang kuat dari ketiga Profesor ini, ada harapan besar bahwa dunia pendidikan tinggi Indonesia akan mengalami perbaikan yang signifikan. Akan tetapi tentu saja, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Reformasi di dunia pendidikan tinggi memerlukan kerja keras, dedikasi, dan kebijakan yang berkelanjutan.
Masyarakat kini menaruh harapan besar kepada Prof. Satryo, Prof. Fauzan, dan Prof. Stella untuk mengembalikan nama baik, kualitas, dan daya saing pendidikan tinggi Indonesia di mata dunia. Saatnya bagi ketiga punggawa baru ini untuk membuktikan bahwa mereka mampu mengembalikan marwah pendidikan tinggi Indonesia. Harapan masyarakat berada di pundak mereka, dan hanya dengan kerja keras, transparansi, serta integritas, pendidikan tinggi di Indonesia dapat kembali menjadi pilar utama dalam pembangunan bangsa. Semoga Allah SWT meridhoi.