Antara "Al-Silm" dan "Al-Islam": Memahami Konsep Kedamaian dalam Al-Qur'an
Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Dalam lanskap spiritual Al-Qur`an, tepatnya di Surah Al-Baqarah ayat 208, terhampar seruan yang menggema: 'Wahai jiwa-jiwa yang beriman, selamilah kedamaian secara paripurna, dan jangan biarkan langkah-langkah setan menyesatkanmu. Sebab, ia adalah musuh yang kasatmata bagimu.' Lalu apa esensi ayat ini? Apa makna terdalamnya, di mana letak kesalahpahaman yang sering terjadi, dan bagaimana kita seharusnya menggali hikmahnya di zaman yang penuh gejolak ini?
Dalam kedalaman bahasa Arab yang mempesona, terucaplah sebuah seruan yang sarat makna: 'Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam al-silm.' Kata Arab ini sengaja saya pertahankan, bukan tanpa alasan. Di sinilah terletak kunci pemahaman kita yang sesungguhnya. 'Masuklah ke dalam al-silm secara menyeluruh, tanpa keraguan, dan jangan biarkan langkah-langkahmu tergelincir mengikuti jejak setan. Ia adalah musuh yang tak kenal lelah, yang selalu berusaha menjerumuskanmu ke dalam jurang kesesatan.'
Namun, dalam perjalanan penafsiran Al-Qur`an, kita mendapati bahwa banyak terjemahan yang menggambarkan frasa ini dengan kata-kata seperti 'masuklah ke dalam kedamaian sepenuhnya' atau 'masuklah ke dalam Islam sepenuhnya.' Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah penafsiran ini sepenuhnya akurat? Apakah kata yang tertera dalam teks aslinya adalah al-Islam?
Setelah menelaah lebih dalam, kita menemukan bahwa jawabannya adalah tidak. Kata yang digunakan adalah al-silm, sebuah kata yang meskipun memiliki akar kata yang sama dengan al-Islam, namun mengandung makna yang jauh berbeda. Di sinilah letak perbedaan yang sangat mendasar, yang sering kali terlewatkan.
Kedua kata ini, al-Islam dan al-silm, memang berasal dari akar kata yang sama, yaitu sin-lam-mim, yang mengisyaratkan konsep kedamaian. Namun, di sinilah letak perbedaannya: al-Islam mengandung makna 'penyerahan diri' atau 'ketundukan', sebuah tindakan yang mencerminkan ketaatan mutlak kepada kehendak Allah.
Di sisi lain, al-silm, sebagaimana yang dijelaskan oleh para mufasir klasik yang mendalami seluk-beluk bahasa Arab, lebih condong pada makna 'mencapai kesepakatan damai' atau 'melakukan islah'. Kata ini mengandung nuansa rekonsiliasi, perdamaian yang dicapai melalui dialog dan kesepakatan antara pihak-pihak yang berselisih. Jadi, al-silm mengacu pada semacam perjanjian damai, sebuah konsep yang jauh berbeda dari sekadar penyerahan diri.
Perbedaan ini sangat penting untuk dipahami, karena akan memengaruhi cara kita memahami ayat ini secara keseluruhan. Jika kita menafsirkan al-silm sebagai al-Islam, maka kita akan kehilangan nuansa perdamaian dan rekonsiliasi yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur`an, dan selalu merujuk pada sumber-sumber yang terpercaya."
Lalu, bagaimana kita memahami relevansi ayat ini dalam konteks yang lebih luas? Ayat ini hadir sebagai penyejuk jiwa setelah perdebatan panjang tentang perjuangan di jalan Allah melawan para penindas. Allah menegaskan, jika para penindas itu menghentikan kezaliman mereka, maka permusuhan harus diakhiri, kecuali bagi mereka yang tetap menindas. Allah, Sang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, membuka pintu ampunan bagi mereka yang bertobat.
Ayat 208 hadir sebagai penutup yang bijak setelah ayat-ayat tentang peperangan. "Masuklah ke dalam kedamaian sepenuhnya," demikian seruan-Nya. Mengapa seruan ini begitu mendesak bagi kaum beriman? Dalam lembaran Al-Qur`an yang lain, seperti Surah Al-Anfal ayat 30, 56 dan 58), kita mendapati bahwa sebagian orang non-Muslim mungkin menutupi niat jahat mereka di balik kedok perdamaian. Hal ini bisa menimbulkan keraguan di hati umat Islam. Namun, melalui ayat 208 ini, Allah menegaskan bahwa keraguan semacam itu tidak perlu merasuki hati kita.
"Fokuslah pada prinsip-prinsipmu sendiri," demikian pesan-Nya. "Prinsip-prinsip itulah yang seharusnya membimbingmu untuk meraih kedamaian yang sejati." Tentu saja, negosiasi dan diplomasi mungkin diperlukan, tetapi tujuan akhir kita haruslah kedamaian yang paripurna. Jika kedamaian bukanlah tujuan utama kita, maka kita telah terperangkap dalam langkah-langkah setan, sang musuh yang nyata.
Al-Zajjaj, seorang mufasir dan ahli bahasa Arab dari abad keempat, menjelaskan bahwa kata al-silm dalam Al-Qur`an selalu mengacu pada rekonsiliasi dan perdamaian. Di sisi lain, Imam Al-Qurtubi berpendapat bahwa makna tersebut tidak mungkin merujuk pada perdamaian tanpa syarat. Namun, bukankah cukup bagi kita untuk menerima perintah Allah yang tertera jelas dalam Al-Qur`an? "Kami mendengar dan kami taat," demikian seharusnya sikap kita.
Memang benar, ayat ini secara eksplisit menyerukan kita untuk meraih kedamaian. Namun, beberapa orang menafsirkannya sebagai seruan untuk masuk Islam secara totalitas. Tentu saja, tidak ada yang salah dengan seruan tersebut, tetapi penafsiran itu tidak sesuai dengan konteks ayat ini. Ayat ini dengan jelas menyerukan kita untuk "masuk sepenuhnya ke dalam kedamaian.