Sultan Muhammad Salahuddin: Cahaya Islam dari Timur Nusantara

Publish

1 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
195
Sumber Foto: Wikipedia

Sumber Foto: Wikipedia

Sultan Muhammad Salahuddin: Cahaya Islam dari Timur Nusantara

Oleh: Ahmad Mujahidin, Kader IMM Ciputat, Mahasiswa UIN Jakarta

Bagi masyarakat Bima, ada dua cita-cita besar yang telah mengakar kuat selama berabad-abad yaitu, menyekolahkan anak dan menunaikan ibadah haji. Kedua cita-cita itu tidak dipandang sekadar sebagai capaian sosial, tetapi sebagai bentuk jihad fisabilillah yang menjadi orientasi hidup orang-orang tua Bima. Pandangan ini mencerminkan karakter masyarakat Bima yang religius, pantang menyerah, dan berpegang pada prinsip “harta dan pusaka terbaik adalah kemauan serta kesabaran.”

Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip itu terwujud melalui etos kerja yang kuat seperti berdagang, bertani, beternak, bekerja serabutan, atau menjadi buruh tani, selama halal dan dapat mengantarkan keluarga pada pendidikan dan ibadah. Sejarah juga mencatat bahwa jauh sebelum sistem pendidikan modern hadir, masyarakat Bima telah mengirimkan anak-anaknya ke Tanah Arab untuk belajar agama. Tradisi intelektual dan keislaman ini menandai bahwa Bima bukan hanya wilayah pinggiran, tetapi salah satu pusat aktivitas keilmuan dan dakwah Islam di timur Nusantara. Di dalam lingkungan sosial dan religius seperti itulah Sultan Muhammad Salahuddin tumbuh dan kelak memimpin Kesultanan Bima.

Sultan Muhammad Salahuddin lahir pada 14 Juli 1889 (15 Zulhijjah 1306 H) sebagai putra mahkota dari Sultan Ibrahim. Ia memimpin Kesultanan Bima dalam salah satu masa paling dinamis dalam sejarah Nusantara yaitu ketika kolonialisme, pergerakan nasional, dan gagasan pembaruan Islam bertemu dan saling bersinggungan. Setelah wafat pada 11 Juli 1951, Sultan Muhammad Salahuddin diberi gelar Makakidi Agama, yaitu sebuah pengakuan atas kedalaman ilmu agama, komitmen terhadap dakwah, dan kesalehan pribadinya.

Sejak muda, Sultan telah menunjukkan minat yang sangat besar terhadap ilmu agama, politik, dan pemerintahan. Ia mempelajari Al-Qur’an, hadis, tauhid, dan siasat politik dari ulama istana serta dari ulama yang didatangkan khusus dari Batavia dan Mekkah. Ia dikenal rajin membaca, tekun belajar, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, ciri-ciri yang menunjukkan orientasi modernis dalam berpikir, sebuah karakter yang selaras dengan arus pembaruan Islam di awal abad ke-20.

Dalam memimpin, Sultan dikenal sederhana, jujur, dan sangat menghargai nilai-nilai keadilan. Ia meyakini bahwa semua tantangan dapat dihadapi melalui perjuangan dan kesabaran, nilai yang menjadi inti dari etos masyarakat Bima sekaligus prinsip etika Islam.

Pendidikan Bima Sebelum Sultan

Sebelum modernisasi pendidikan hadir, sistem pendidikan di Bima didominasi oleh pendidikan non-formal yang berbasis pada tradisi Islam. Pengajaran agama dilaksanakan di rumah-rumah, masjid, langgar, surau, atau musholla. Para mubaligh menjadi motor penyebaran ilmu agama, menyampaikan pelajaran fikih, tauhid, tafsir sederhana, serta tradisi dakwah yang menjangkau desa-desa. Di lingkungan istana, setiap malam Jumat diadakan pengajaran agama khusus bagi keluarga bangsawan. Sistem pendidikan seperti ini mirip dengan tradisi pesantren, meski dalam bentuk yang lebih sederhana. Model tersebut menciptakan fondasi yang kuat bagi lahirnya kecerdasan spiritual masyarakat Bima dan menjadi latar yang subur bagi kehadiran pembaruan pendidikan di masa Sultan Muhammad Salahuddin.

Ketika memasuki abad ke-20, dunia Islam mengalami gelombang pembaruan yang dipimpin tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh di Mesir. Di Nusantara, Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 menjadi salah satu pelopor pembaruan pendidikan dengan menekankan rasionalisme, purifikasi akidah, serta pentingnya ilmu pengetahuan modern. Gerakan inilah yang memiliki relevansi kuat dengan model pendidikan yang dikembangkan Sultan Salahuddin. Adapun relevansinya adalah seperti:

1. Pendirian Sekolah Modern

Pada tahun 1921, Sultan Muhammad Salahuddin mendirikan Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Raba, yaitu sebuah sekolah modern yang bertujuan agar masyarakat Bima tidak tertinggal dalam ilmu pengetahuan umum. Setahun kemudian, ia mendirikan Sekolah Kejuruan Wanita (Kopschool). Keputusan ini mencerminkan keberanian Sultan dalam memperjuangkan pendidikan perempuan dan hak egalitarian sesame manusia. Nilai yang sangat sejalan dengan gagasan Muhammadiyah yang sejak awal menolak diskriminasi pendidikan berdasarkan jenis kelamin. Untuk pemerataan pendidikan, Sultan juga mendirikan sekolah agama setingkat Ibtidaiyah yang dinamakan “Sakolah Kita” (Sekolah Kitab), serta sekolah umum “Sekolah Desa”, yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Rakyat (setingkat SD). Dengan demikian, pendidikan yang dirintis Sultan menyentuh seluruh lapisan masyarakat, baik bangsawan maupun rakyat biasa.

2. Tantangan Sosial dan Respons Cerdas Sultan Muhammad Salahuddin

Masyarakat Bima yang sangat religius awalnya mencurigai pendidikan kolonial Belanda yang dianggap Dou Kafi. Yaitu mereka khawatir pendidikan modern akan menjauhkan anak-anak dari agama. Dalam meredam stigma dan resistensi ini, Sultan mengambil langkah strategis yang visioner yaitu ia mendatangkan guru-guru Muslim berjiwa nasionalis dari Makassar, Jawa, dan daerah lain. Bahkan guru non-Muslim pun dipilih dari kalangan yang memiliki kecintaan pada Indonesia. Langkah ini bukan hanya meredakan kecurigaan masyarakat, tetapi juga menumbuhkan semangat kebangsaan yang tidak membeda-bedakan suku dan agama. Strategi ini sejalan dengan ajaran Muhammadiyah yang memadukan nasionalisme, purifikasi, dan modernisme dalam satu nafas.

3. Keterlibatan Tokoh Muhammadiyah

Hubungan antara Kesultanan Bima dan Muhammadiyah menjadi semakin kuat ketika Abdul Wahid Karim yang merupakan tokoh muda Muhammadiyah asal Sumatra Barat datang ke Bima dan mendirikan Madrasah Darul Tarbiyah pada 1931 bersama Ruma Bicara Abdul Hamid. Sultan tidak hanya mendukung, tetapi turut menyumbang dana dan fasilitas. Ini menjadi bukti bahwa Sultan menyambut baik gerakan modernisme Islam yang ditawarkan Muhammadiyah. Pada tahun 1934, Sultan kembali mendirikan Madrasah Darul Ulum bersama ulama dari Batavia, Syekh Husain Saychab. Dua institusi ini menjadi pusat kajian Islam modern sekaligus tempat lahirnya kader-kader pembaruan yang kelak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

4. Beasiswa, Kaderisasi, dan Warisan Kemajuan

Di antara kebijakan paling progresif Sultan Muhammad Salahuddin adalah pemberian beasiswa bagi pelajar berprestasi. Beasiswa ini diberikan tanpa memandang status sosial atau jenis kelamin suatu praktik yang sangat revolusioner pada zamannya. Para penerima beasiswa dikirim belajar ke Makassar, Jawa, bahkan hingga Timur Tengah. Banyak dari mereka yang kelak kembali menjadi pemimpin, ulama, pendidik, serta tokoh perjuangan dalam revolusi kemerdekaan. Di sinilah terlihat dengan jelas bahwa model pendidikan Sultan Muhammad Salahuddin tidak hanya mencetak intelektual, tetapi juga membentuk karakter dan kepemimpinan. Inilah Velue yang sejalan dengan visi pendidikan Muhammadiyah.

Walaupun Sultan memajukan pendidikan modern, ia tidak pernah menghilangkan tradisi keagamaan lokal. Sistem “ngaji karo’a” tetap dipertahankan. Sistem ini mengharuskan anak-anak usia 5–6 tahun mempelajari Al-Qur’an selama tiga tahun hingga khatam 30 juz. Puncaknya adalah “khafa karo’a,” yaitu upacara khataman yang sering disertai khitanan. Selain itu, pengajian fikih, tasawuf, dan hukum Islam di masjid dan langgar tetap berjalan dengan baik. Harmoni antara modernisasi dan tradisi inilah yang menjadi kekuatan pendidikan Bima pada masa Sultan Muhammad Salahuddin.

Selain itu, Sultan Muhammad Salahuddin bukan hanya pemimpin politik, tetapi pembaharu pendidikan Islam yang visioner. Ia berhasil memadukan tradisi keislaman lokal dengan modernitas pendidikan yang diusung oleh gerakan-gerakan reformis seperti Muhammadiyah. Jejaknya terlihat dalam sistem pendidikan Bima yang berkembang pesat, keterlibatan ulama-ulama modernis, serta meluasnya semangat kebangsaan dan keilmuan di tengah masyarakat.

Warisan Sultan Muhammad Salahuddin mengajarkan bahwa modernisasi Islam bukan berarti meninggalkan tradisi, tetapi menghidupkan kembali nilai-nilai dasar Islam melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kesadaran kebangsaan. Dari timur Nusantara, ia menjadi salah satu figur yang menyalakan cahaya pembaruan Islam, cahaya yang tetap menyala hingga kini. Atas kiprahnya yang luar biasa, pada 10 November 2025, Presiden Prabowo Subianto memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Muhammad Salahuddin. (ed hanan)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Syukur, Kode Rahasia Neurologis untuk Kebahagiaan  Oleh: Ratna Arunika, Anggota PWA Jatim Hid....

Suara Muhammadiyah

21 November 2025

Wawasan

Oleh: Said Romadlan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta   ....

Suara Muhammadiyah

12 January 2024

Wawasan

Ketika Para Ibu Sudah Turun ke Jalan   Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Ranting Muhammadiyah Le....

Suara Muhammadiyah

30 March 2025

Wawasan

Wasiat dan Warisan: Memahami Hak Perempuan dalam Perspektif Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fak....

Suara Muhammadiyah

16 April 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Mengapa Iblis mendurhakai Allah....

Suara Muhammadiyah

27 March 2024