Surat ‘Eceng Gondok’ kepada Bung Hatta: Catatan Demokrasi dari Desa
Oleh: Rizkul Hamkani, Kader Himpunan Mahasiswa (Himmah) NWDI serta anggota komunitas Kelas Reading Buya Syafii Lombok Timur
“Mengingat di bawah sikap ngotot Bung Hatta pada demokrasi lah yang memungkinkan proses pemilu itu berjalan, maka layak pula kita katakan ia lah sesungguhnya “Sang Rembulan” itu.....”
(Riki Dhamparan Putra, 2021: 56)
Semasa kecil dulu, saya sering bermain bola dengan teman-teman di lapangan sekolah yang berada di Desa saya, Paok Lombok, yang terletak di Pulau Lombok. Kami biasanya menyempatkan waktu sholat ashar di masjid terlebih dahulu yang letaknya tidak jauh dari sekolah tempat kami akan bermain bola. Dalam lingkungan masjid, terdapat kolam yag dipenuhi Eceng Gondok yang biasa digunakan sebagai tempat berwudhu. Ketika hendak mengambil air wudhu, Eceng Gondok pada permukaan kolam akan kami sibak. Setelah menyibak Eceng Gondok pada permukaan kolam, akan terlihat segerombolan ikan yang berlindung di bawahnya.
Kenangan masa kecil itu kembali mengusik pikiran saya setelah Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Desa saya. Tahun ini Indonesia telah berusia 79 tahun, Bung. Pada tahun yang sama Indonesia juga menjalani pesta demokrasi, ajang lima tahunan untuk pergantian kepemimpinan secara berkala. Tahun ini Bung, pemilihan umum dilaksanakan secara serentak mulai dari pemilihan presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, dan DPD RI pada bulan Februari dan pemilihan kepala daerah bulan November.
Indonesia sekarang telah menjadi negara demokrasi. Tidak lagi ada pemimpin yang berkuasa seumur hidup seperti yang Bung kecam dahulu. Mulai dari presiden hingga kepala desa, semua dipilih oleh rakyat secara langsung tanpa diwakili oleh siapapun.
Parlemen tidak lagi ditunjuk oleh presiden, tetapi dipilih langsung oleh rakyat sendiri. Sejak era reformasi yang ditandai dengan lengsernya presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan, bangsa ini berjalan di atas rel demokrasi. Khususnya bermula pada pemilu 2004, rakyat memilih pemimpinnya secara langsung tanpa diwakili. Sekarang rakyat telah berdaulat dan menjadi raja bagi dirinya sendiri. Sesuatu yang Bung mimpikan sejak zaman dulu. Sungguh kemajuan yang luar biasa bukan?
Sayangnya, kedaulatan rakyat itu seperti Eceng Gondok dalam kolam yang mengisi kenangan masa kecil saya, tumbuh pada permukaan air tapi tidak mengakar hingga dasar kolam. Jika kita menyingkap Eceng Gondong itu dari permukaan, akan nampak segerombolan ikan yang hidup tenang di bawahnya. Feodalisme serta oligarki itu laiknya ikan-ikan yang hidup tenang di bawah Eceng Gondok. Pemilihan umum tahun ini mungkin dapat menjadi contoh Bung, bahwa demokrasi di negeri ini laiknya Eceng Gondok.
Desa saya Bung, salah satu bagian dari Indonesia yang begitu luas, Februari dan November 2024 lalu juga ikut andil memilih presiden-wakil presiden, legislator dari pusat hingga kabupaten serta memilih kepada daerah. Orang-orang desa saya Bung, mungkin hanya segelintir yang memilih pemimpin berdasarkan pengetahuan mereka tentang rekam jejak para calon pemimpinnya. Hal itu kemungkinan besar karena taraf pendidikan orang-orang di desa saya tidak terlalu tinggi.
Masyarakat di desa saya Bung, banyak yang lebih memilih putus sekolah ketimbang melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Bahkan dulu pernah seorang teman berkelakar, “tidak perlu terlalu serius sekolah. Toh ketika selesai sekolah nanti bakalan jadi pemikul sawit di Malaysia.” Taraf pendidikan yang tidak terlalu tinggi itu Bung, membuat saya khawatir bahwa mereka mungkin menganggap pesta demokrasi ini hanya angin lalu saja tanpa tahu betapa besar pengaruhnya nanti bagi kehidupan orang-orang desa.
Karenanya Bung, tidak sedikit masyarakat Desa saya memilih calon pemimpin yang memiliki popularitas tanpa mengetahui kompetensi serta kredibilitas mereka untuk layak menjadi pemimpin mereka. Tentu saja, saya tidak menyalahkan orang-orang desa saya.
Masyarakat desa saya kemungkinan tidak memiliki waktu untuk mengenal semua calon pemimpin mereka, terlebih calon legislator. Bagaimana mungkin orang-orang di desa saya akan mengetahui para calon legislator satu per satu jika calon yang akan dipilih melimpah ruah. Jumlah calon legislator tingkat kabupaten daerah pilih saya saja sekitar 154 orang, belum lagi calon lagislator tingkat provinsi serta pusat.
Selain popularitas, terdapat cara instan dalam meraup suara besar dalam pesta demokrasi ini. Serangan fajar. Pada pemilihan kepada daerah November lalu saja, saya bahkan mengalami mendapati langsung serangan fajar tersebut. Malam sebelum hari pemilihan, saya duduk di teras rumah. Tiba-tiba datang seorang perempuan yang membawa tumpukan uang dengan nominal dua puluh ribu rupiah disertai foto pasangan calon pemimpin daerah kabupaten. Hal ini pun terjadi pada bulan Februari ketika pemilihan umum serentak.
Partai politiklah seperti kata Bung yang sebenarnya memiliki andil untuk memberikan pendidikan politik pada masyarakat, namun sayangnya tanggung jawab itu jarang dijalankan. Mereka lebih suka mencalonkan orang-orang yang populer atau orang yang memiliki modal kapital besar untuk meraup suara secara instan.
Pada posisi ini saya merasa bingung Bung, jika kebanyakan masyarakat Desa saya yang memiliki taraf pendidikan tidak terlalu tinggi kemungkinan memiliki sikap apatis terhadap politik, para elit politik yang kebanyakan memiliki taraf pendidikan tinggi malah tidak sedikit menjadi aktor yang merusak tatanan demokrasi. Mereka seakan-akan tidak mengerti tujuan dari demokrasi. Tentu Bung, dengan pendidikan yang tinggi, sangat tidak wajar jika mereka tidak mengetahui tujuan demokrasi, sehingga kemungkinan lainnya mereka memang tidak berniat menegakkan demokrasi secara substansial.
Dalam sistem demokrasi hari ini Bung, orang-orang yang kemungkinan besar bisa menjadi legislator serta duduk di singgasana eksekutif adalah orang-orang yang memiliki popularitas serta berduit atau orang-orang yang ‘berkawan’ dengan orang-orang berduit. Rakyat biasa memang berhak mencalonkan dirinya, namun tidak memiliki modal yang sama untuk dapat bersaing dengan tokoh-tokoh besar serta dengan orang-orang berduit.
Rakyat memang bebas memilih pemimpin, tidak dikekang lagi. Namun yang harus dipilih rakyat telah ditentukan sebelumnya oleh para elit politik dan ekonomi. Bahkan mungkin telah ditentukan siapa pula yang akan memenangkan kontestasi. Para calon legislator, tidak harus memiliki ide yang brilian untuk memperoleh suara rakyat, cukup dengan nama besar yang dibawa atau dengan duit beratus-ratus juta bahkan miliyaran maka suara rakyat akan mudah diperoleh.
Begitulah jalannya demokrasi di desa saya Bung. Gambaran itu kemungkinan terjadi pula di desa-desa lain yang ada di negeri kita. Demokrasi tumbuh seperti Eceng Gondok di permukaan kolam bahkan memiliki bunga yang indah untuk dipandang, tetapi Eceng Gondok itu sangat mudah tercerabut dari permukaan karena akarnya tidak menghujam hingga ke dasar kolam. Terdapat feodalisme serta oligarki yang berteduh di bawah Eceng Gondok itu dari sinar matahari yang menyengat.
Bung dulu pernah mengunggapkan dalam pergaulan Indonesia yang asli, demokrasi hanya dalam tatanan masyarakat bawah, masyarakat desa. Tetapi tatanan demokrasi desa itu tidak dapat maju karena di atasnya ada pemerintahan feodal yang memerintah sewenang-wenang. Sekarang Indonesia sudah lama merdeka dan telah menghapus sistem feodal itu secara formal. Desa pun telah mengalami perkembangan dan modernisasi. Demokrasi asli Indonesia pun Bung, telah bergerak menjadi kedaulatan rakyat, seperti impian Bung. Masyarakat desa tidak lagi diperintah oleh raja-raja. Masyarakat desa memilih pemimpin dan para wakil rakyat mereka sendiri.
Tetapi Bung, kalaupun kita telah bergerak dari daulat tuanku menuju kedaulatan rakyat, keadaan itu seperti tidak ada bedanya sama sekali. Mereka yang terpilih menjadi wakil rakyat orang-orang desa tidak semua memikirkan nasib masyarakat desa, tidak sedikit legislator yang hanya memikirkan nasib dirinya dan orang-orang terdekatnya. Tidak sedikit pula yang terlihat akrab dengan masyarakat ketika kampanye, tetapi setelah terpilih batang hidungnya tidak lagi dapat terlihat dalam pergaulan masyarakat.
Dalam jalannya demokrasi yang lebih luas Bung, mungkin masih jauh dari demokrasi yang Bung impikan. Demokrasi yang terlihat hari ini memperkuat kekuasaan segelintir orang dan pemilik modal yang seharusnya tidak terakomodir kembali dalam sistem demokrasi yang Bung impikan. Lebih jauh lagi, mereka yang berkuasa sering kali melakukan tindak sewenang-wenang tanpa memikirkan nasib rakyat banyak. Mereka yang dipilih rakyat, banyak yang hanya memikirkan nasib mereka sendiri dan koleganya.
Peraturan-peraturan lebih banyak menguntungkan golongan dan kelompok tertentu. Korupsi menjadi virus yang menjangkiti dan semakin merebak diberbagai tempat, yang dapat menjadi indikasi bahwa memang jabatan yang diperoleh hanya untuk memperkaya diri dan kolega. Lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif yang dibuat supaya tidak terdapat satu kekuasaan yang berlebih dan menjalankan fungsi check and balances malah nampak sengaja berkongsi mempertahankan kekuasaan antar mereka.
Jalannya demokrasi hari ini mengingatkan saya pada catatan yang Bung tulis dalam “Demokrasi Kita” yang diterbitkan kembali pada tahun 2018. Dalam tulisan itu Bung menulis, “Tadi saya katakan bahwa demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya. Memang tidak mudah membangun suatu demokrasi di Indonesia yang lancar jalannya. Tetapi bahwa ia akan muncul kembali, itu tidak dapat dibantah.” (Hatta, 2018: 111).
Memang benar tidak mudah mewujudkan demokrasi secara substansial di negeri ini Bung. Namun saya percaya pada perkataan Bung, ia hanya tersingkir sementara, tapi ada waktunya muncul kembali. Tetapi kapankah munculnya itu Bung?
Saya teringat pernyataan Ahmad Syafii Maarif (Maarif, 2022: 33), “Demokrasi dijadikan ajang pertarungan berebut rezeki dan kekuasaan, sementara sebagian besar politikus masih saja merasa benar di jalan dusta tunanurasi.” Pernyataan Ahmad Syafii Maarif itu Bung, membuat saya semakin khawatir tentang masa depan demokrasi bangsa kita, saya takut orang seusia saya dan beberapa generasi ke depan tidak memiliki kesempatan melihat demokrasi itu terwujud seperti yang Bung cita-citakan. Saya khawatir tersingkirnya demokrasi yang sementara itu malah akan memakan waktu yang begitu lama.