Partisipasi Perempuan Pada Pemilu 2024
Oleh: Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar
Riuh menyambut pesta demokrasi yang tinggal menghitung hari sudah sangat terasa. Beranda media sosial tidak luput menjadi arena sosialisasi sekaligus perang argumentasi untuk merebut hati atau suara pemilih yang mayoritas adalah gen Z. Mereka kebanyakan baru pertama ikut mencoblos, tergolong awam dan harusnya mendapat tuntunan dalam berdemokrasi. Walaupun demikian edukasi massif yang dilakukan oleh lembaga negara seperti KPU atau organisasi kemasyarakatan seperti 'Aisyiyah melalui madrasah politik, belum mampu memberikan pemahaman mendalam. Generasi z yang cenderung cerdas teknologi tetapi acuh tak acuh pada keadaan sosial mereka. Hal yang menurut penulis harus menjadi pekerjaan rumah bersama agar penerus estafet bangsa kedepan tidak hanya cerdas intelektual tetapi juga harus cerdas moral.
Maka perlu kembali kita mengoreksi sejauh mana Bangsa ini telah sukses menerapkan pendidikan moral. Yang hari ini menjadi pemimpin harus memberi contoh bagaimana seharusnya berdemokrasi penuh kesantunan. Indonesia sejatinya telah memiliki landasan yang termaktub dalam Pancasila. Hanya saja masih menjadi simbol, belum sepenuhnya mampu terealisasi. Terlepas dari itu, isu yang harusnya menjadi perhatian khusus bagi masyarakat terutama kaum perempuan adalah, tentang keterlibatan perempuan dalam pemilu 2024 yang masih minim dukungan dari kaumnya (gender) sendiri.
Perempuan Berpolitik Cermin Demokrasi Bangsa
Diskursus bagaimana perempuan berpolitik merupakan isu hangat, menarik sekaligus memunculkan keprihatinan sebab faktanya, perempuan enggan memilih dan mendukung kaumnya sendiri. Banyak perempuan yang telah lama bergeliat mengurus umat, saat penulis temui mengakui hal tersebut. Mereka pun menyepakati pentingnya edukasi dan sosialisasi politik bagi perempuan, karena memang hanya perempuan yang memahami kebutuhan kaumnya sehingga dapat mengupayakan hak perempuan dan anak dalam bentuk undang-undang, terealisasi program hingga anggaran.
Maka saat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menerbitkan buku untuk memperingati hari Ibu Nasional 22 Desember 2023, dengan judul 95 Tokoh Perempuan Inspiratif, ada hal menarik yang dapat kita ulas dan cermati. Antara lain ternyata banyak perempuan bergeliat diranahnya masing-masing. Tidak harus di satu sektor publik saja, tetapi juga disektor sosial kemasyarakatan. Perempuan-perempuan tersebut banyak bergerak hingga menua, dan konsisten pada hasil untuk memberikan nilai dan semangat baik kepada sesama.
Mereka tidak memperdulikan penilaian yang mengucilkan semangat, walaupun sangat sulit "mewaraskan" diri agar tetap bergerak berkemajuan karena stigma tentang perempuan telah menjadi pola cara berpikir (berbudaya) masyarakat. Seolah-olah perempuan bergerak simultan antara tugas domestik dan sosial adalah kesalahan. Padahal hemat penulis, penting bagi perempuan juga cerdas sosial tidak hanya sebagai bagian aktualisasi diri yang akan melahirkan kebahagiaan, tetapi juga bagian mewariskan kecerdasan intelektual bagi keturunannya kelak.
Stigma yang melekat pada perempuan hadir karena masih adanya nilai patriarki yang tertanam dalam konstruksi sosial masyarakat. Berdampak sulit bagi perempuan untuk mengakses hak-hak yang setara seperti hak untuk mengenyam pendidikan layak atau lebih umum, hak untuk mempunyai pilihan tanpa adanya pemberian stigma dari lingkungan sekitar. Salah satunya di bidang politik. Saat mengisi kegiatan Talkshow yang diadakan oleh Nasyiatul 'Aisyiyah (NA) Pimpinan Daerah Kota (PDA) Kota Pontianak, Minggu 17 Desember 2023 dan bertemu dengan beberapa perempuan calon legislatif, hal ini menjadi diskusi menarik sekaligus keprihatinan. Bagaimana perempuan bisa merubah nasibnya, jika kaumnya sendiri tidak mendukung dan memberikan kepercayaan.
Hanya saja memang penting bagi pemilih perempuan memilih kaumnya yang sudah terbukti kinerjanya, yang jelas (baca masuk akal) program-program yang ditawarkan apakah akan dapat terealisasi, atau hanya sebuah tawaran "pengembira" menarik simpati. Bagi calon legislatif juga harus terus mencerdaskan diri, mewakafkan tenaga, pikirannya bagi masyarakat jika dipercaya memegang amanah. Ia tidak lelah mengedukasi diri, tidak sungkan mendengar dan berani mengambil keputusan disaat penting yang berdampak luas.
Pengambilan keputusan bagi seorang wakil rakyat merupakan kecerdasan emosional berpadu dengan kecerdasan intelektual. Setidaknya ada empat tahap pengambilan keputusan yang saling berhubungan dan berurutan. Yakni Intelligence, design, choice dan implementation. Tahap ini merupakan proses penelusuran dan pendeteksian dari lingkup problematika serta proses pengenalan masalah, dan hanya mampu dilakukan oleh individu yang memiliki pengetahuan dan pengalaman.