Surga: Apakah Cukup dengan Identitas Agama di Kolom KTP?
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Anggota AJI Jakarta, Biro Banten
Suatu ketika, saya menyimak sebuah perdebatan antara bapak-bapak yang sedang semangat belajar agama. Menjelang pensiun, seseorang biasanya akan berada pada fase pertobatan. Salah satu cirinya adalah ia mulai bersemangat belajar agama dengan banyak mengikuti kajian keagamaan.
Dalam satu lingkaran pertemuan kecil setelah acara pengajian, ada satu orang yang mengajukan topik perbincangan tentang surga. Ia bertanya, apakah surga milik Tuhan kelak akan dipersembahkan hanya bagi orang yang bertuhan, menganut agama tertentu, semua agama di bumi, atau kepada siapa saja, tidak peduli apakah mereka beragama atau tidak bertuhan sekalipun?
Mendengar kata pembukanya saja, saya langsung memasang telinga lebar-lebar untuk menyimak isi diskusi. Pertanyaan yang baru saja disampaikan langsung disambar oleh satu orang peserta. Ia sangat yakin bahwa surga itu hanya akan diberikan kepada kami semua yang ada dalam satu keimanan. Kunci surga itu sudah jelas, sambil menyebutkan penggalan salah satu ayat dalam kitab suci.
Satu orang yang lain menyampaikan pandangannya dengan santai. Dia bilang bahwa surga itu hak prerogatif Tuhan. Ia mau diberikan kepada siapapun, manusia tidak pernah tahu. Meskipun ia tetap yakin bahwa Tuhan tidak pernah mengingkari janji bahwa manusia yang patuh terhadap perintah-Nya akan memperoleh surga sebagai balasannya. Namun demikian, kepastian tentang siapa yang dinilai Tuhan layak, manusia tidak pernah tahu. Jangan sampai pendakuan manusia terhadap surga akhirnya malah menimbulkan sikap tidak adil, dengan mendiskriminasi orang lain yang tidak ada dalam satu barisan dengan dirinya.
Orang ketiga memberikan pandangan dengan sedikit gurauan. Baginya, manusia tidak perlu terlalu serius mendiskusikan hal-hal yang jauh di luar jangkauan pengetahuannya. Dia menyelipkan kalimat jenaka, “Pengetahuan manusia itu sangat terbatas. Soal ijazah mantan Presiden itu asli atau tidak saja manusia tidak bisa benar-benar tahu, kok. Apakah tidak kejauhan berpikir tentang surga yang akan diperuntukkan untuk siapa? Surga kan bukan seperti kontrakan warisan Engkong yang bisa dibagi-bagi oleh anak cucunya.”
Obrolan pagi itu ditutup tanpa kesimpulan ataupun kesepakatan. Masing-masing berpendirian pada keyakinan sendiri-sendiri. Begitulah karakter umum terkait persepsi seseorang tentang kebenaran dalam konteks agama. Kitab suci agama boleh satu, namun tafsirnya tidak akan pernah tunggal. Ciri lainnya adalah, masing-masing merasa benar atas tafsirnya, sehingga nyaris tidak pernah ada keseragaman yang tunggal berlaku di semua komunitas, tempat dan waktu.
Mengapa pergunjingan tentang pendakuan surga itu jamak terjadi di kalangan orang beragama? Karena hampir semua ajaran agama menjanjikan surga bagi pengikutnya. Meskipun hal itu diungkapkan dengan istilah yang berbeda-beda. Ada "jannah" (dari bahasa Arab), "firdaus", "taman eden", "nirwana", atau "moksa". Semua terkait dengan keselamatan di dalam kehidupan pasca kematian dan kesenangan yang jauh lebih indah, membahagiakan, dan sarat keabadian.
Keterkaitan lainnya adalah karena Tuhan itu maha gaib. Meski sudah diimani sepenuhnya oleh manusia, namun keberadaan Tuhan tetap tidak menyerupai apapun di bumi ini. Untuk itu, interaksi manusia dengan Tuhan tidak bisa dilakukan seperti antara mata dengan mata. Komunikasi intim antara makhluk dengan Tuhan dilakukan melalui bahasa batin yang tidak terlihat mata, namun bisa dirasakan. Mungkin saja ada manusia yang memiliki keistimewaan sehingga mampu membaca kehendak Tuhan melalui tanda-tanda.
Non-Muslim Bisa Masuk Surga
Saya masih hanyut dalam kubangan pertanyaan yang tidak mudah terjawab, tiba-tiba mendapat kiriman buku dari Ibrahim Ali-Fauzi. Ia menjadi editornya. Judulnya menarik: “Non-Muslim Bisa Masuk Surga”. Kumpulan tulisan pendek itu ditulis oleh Muhammad Ali, putra Betawi-Banten yang pernah mondok di Pesantren Ngruki, Solo, dan MAPK Ciamis, lalu kuliah di IAIN Jakarta, hingga terus berkelana menjelajahi kampus-kampus ternama, antara lain: Universitas Indonesia, University of Hawaii at Manoa, dan The University of Edinburgh.
Kandungan Buku
Penulis buku ini mengutip hasil survei Muslim global. Disebutkan bahwa meski mayoritas muslim (termasuk Indonesia) berpandangan teologis yang eksklusif, yaitu meyakini “tidak ada keselamatan di luar Islam”. Namun, cukup banyak umat Islam yang berpandangan bahwa Islam bukan satu-satunya jalan menuju keselamatan (hal 2, Pendahuuan).
Buku ini mengupas faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pandangan tentang keselamatan para penganut agama lain. Adakah landasan tekstual, teologis, dan filosofis terhadap pandangan non-Muslim pun bisa selamat? Esai-esai di dalam buku ini membahas pertanyaan di atas secara lengkap. Di dalam buku ini juga banyak tulisan tentang bagaimana Islam dikaji, dipahami, dan ditafsirkan secara berbeda-beda serta bagaimana penganut Islam memahami penganut agama lain dalam ranah kehidupan keluarga, pergaulan sosial, budaya, dan politik.
Buku ini cukup gamblang membahas beberapa topik yang selama ini dianggap sensitive, sakral sehingga banyak orang enggan untuk mendiskusikannya. Ketika ada yang berhasrat untuk mendiskusikan perkara tersebut, maka mereka harus bersiap akan dicap sebagai kelompok liberal yang mengusung pandangan bahwa “semua agama benar” atau “semua agama sama”.
Tema tentang “kafir” dibahas dengan sangat apik dan cermat. Apakah semua orang yang bukan muslim bisa disebut kafir? Penyebutan kafir bisa berkonotasi negatif hingga berpotensi menumbuhkan sikap diskriminatif dalam kehidupan sosial. Bagaimana sesungguhnya Islam memandang dan mendeskripsikan kata kafir sesuai dengan ayat-ayat Alqur’an? Penulis membahasnya dengan cukup jelas lengkap dengan penyertaan ayat-ayat terkait itu.
Doktrin keselamatan di akhirat selalu ada di dalam hampir semua agama. Apa itu keselamatan yang dijanjikan, bagaimana mencapainya, dan siapa saja yang bisa mencapainya. Pada halaman 13 (Pendahuluan) tertulis bahwa “keselamatan di akhirat tidak tergantung pada apakah orang itu Muslim, Yahudi, Nasrani, atau Sabiun. Keselamatan di akhirat tidak tergantung pada identitas keagamaan, tapi pada keyakinan yang berdampak pada jiwa dan perbuatan baik. Selamat itu tidak berdasarkan angan-angan seorang Muslim, atau orang Yahudi, atau seorang Nasrani, tapi pada keimanan dan perbuatan baik.”
Saya mengapresiasi pandangan penulis yang runtut, sarat argumen berbasiskan pada ayat-ayat Alqur’an yang secara lengkap dikutip oleh penulis buku ini. Pandangan Muhammad Ali tidak semata keluar dari pikiran liar, prasangka negatif terhadap pemeluk agama lain, dan perasaan merasa paling benar sendiri. Tulisan-tulisannya didasarkan pada proses perenungan, bacaan lengkap dan analisis mendalam.
Setiap pendapat yang muncul di dalam buku ini selalu disertai dengan kutipan ayat-ayat dari Kitab Suci sebagai basis argumentasinya. Saya percaya bahwa penulis memiliki latar belakang pendidikan agama kuat yang mendasari kekuatan argumen dalam setiap pendapat yang ditulisnya. Penulis juga tidak menggurui pembaca agar larut dalam satu pandangan secara ekstrim. Selamat membaca.