Syariah, Fiqih, dan Ijtihad: Menjaga Keabadian Nilai, Menyapa Perubahan Zaman
Oleh: Rusydi Umar, Dosen S3 Informatika UAD, Anggota MPI PP Muhammadiyah (2015-2022)
Di setiap masa, umat Islam selalu berhadapan dengan pertanyaan yang sama: bagaimana menjaga kemurnian ajaran sekaligus memastikan Islam tetap hidup di tengah perubahan? Sejak awal, Islam datang bukan hanya sebagai kumpulan hukum, tetapi sebagai jalan hidup yang mengarahkan manusia menuju kebaikan.
Syariah adalah inti ajaran itu. Ia bersumber dari wahyu Allah SWT melalui Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Nilai-nilainya mutlak, tetap, dan berlaku di segala tempat dan waktu. Kewajiban salat, zakat, larangan riba, dan perintah menegakkan keadilan, semua itu tidak akan pernah berubah. Namun, syariah bukanlah “produk jadi” yang tinggal diterapkan tanpa proses. Ketika ia dihadapkan pada kenyataan hidup yang penuh variasi, perlu ada penerjemahan ke dalam bentuk hukum-hukum praktis. Di sinilah lahir fiqih, hasil penalaran para ulama melalui proses ijtihad.
Para ulama sejak dulu tidak hanya mengandalkan teks semata. Ada tiga jalan yang dipakai untuk memahami dan mengimplementasikan syariah. Pertama, Bayani: mengurai makna teks wahyu dengan keahlian bahasa dan ilmu tafsir, menjaga agar kita tidak keluar dari maksud Al-Qur’an dan hadis. Kedua, Burhani: menimbang hukum dengan argumentasi rasional dan data empiris, memastikan bahwa ketentuan agama bersentuhan langsung dengan realitas dan memberi manfaat. Ketiga, Irfani: memandang hukum dengan kejernihan hati, menangkap hikmah yang kadang tidak tertulis secara eksplisit, tetapi hadir sebagai tujuan luhur syariah.
Ketiganya bukan untuk dipilih salah satu, melainkan dirangkai bersama. Bayani memastikan kita setia pada teks, burhani menjaga relevansi, dan irfani menghidupkan dimensi ruhani.
Dari Syariah Menjadi Fiqih
Syariah adalah prinsip, fiqih adalah rumusannya. Karena fiqih lahir dari penalaran manusia, ia bisa berbeda antara satu tempat dan waktu dengan tempat dan waktu lain. Prinsip menutup aurat misalnya, tetap sama, tetapi bentuk pakaian yang memenuhi syarat itu bisa berbeda di Arab abad ke-7 dan di Indonesia abad ke-21. Perbedaan ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan Islam sebagai agama yang shâlih li kulli makân wa zaman, sesuai di setiap tempat dan zaman.
Ijtihad adalah amanah besar, bukan pekerjaan sembarangan. Ijtihad memerlukan syarat ketat: penguasaan bahasa Arab, Al-Qur’an, hadis, ushul fiqih, maqashid syariah, ijma’ ulama, dan wawasan sosial. Tidak setiap orang dapat melakukannya, karena hasilnya menyangkut kepentingan umat. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang hakim menetapkan hukum lalu ia berijtihad, dan ijtihad-nya benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ijtihad-nya salah, maka ia mendapat satu pahala..” Ini memberi pesan bahwa ijtihad adalah ladang pahala, meski hasilnya tidak selalu seragam.
Muhammadiyah dan Tajdid yang Membumi
Muhammadiyah memahami betul pentingnya membedakan antara syariah yang tetap dan fiqih yang bisa berubah. Semangat tajdid (pembaruan) menjadi ruh gerakan ini: membersihkan ajaran dari unsur yang tidak murni, sekaligus merumuskan penerapan yang relevan bagi zaman. Contoh yang sering kita jumpai adalah penentuan awal Ramadhan. Muhammadiyah menggunakan hisab, pendekatan rukyat fil ilmi yang memadukan teks agama dan ilmu astronomi. Ini bukan semata urusan kalender, tetapi wujud keberanian untuk menempatkan ilmu sebagai bagian dari pengamalan agama.
Begitu pula dalam isu-isu kontemporer: zakat profesi, fatwa rokok, pengelolaan wakaf produktif, hingga panduan ibadah di masa pandemi. Semua lahir dari ijtihad kolektif yang memadukan bayani, burhani, dan irfani, agar umat tetap bisa beribadah dengan benar tanpa teralienasi dari kenyataan hidup.
Dunia terus bergerak. Ekonomi digital, aset kripto, kecerdasan buatan, dan bioteknologi membawa persoalan baru yang tidak dikenal di masa lalu. Fiqih tidak boleh berhenti pada teks yang dipahami secara kaku. Ia harus hadir sebagai panduan yang memerdekakan dan memajukan, tanpa kehilangan akarnya di syariah. Perbedaan pendapat dalam fiqih seharusnya dipandang sebagai rahmat. Dari zaman sahabat, perbedaan itu ada, tetapi ukhuwah tetap terjaga. Kuncinya adalah menghargai perbedaan dan meyakini bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah.
Menjaga Nilai, Menyapa Zaman
Muhammadiyah selalu mengajarkan keseimbangan: memegang teguh prinsip ilahi, sekaligus berani menjawab tantangan zaman. Syariah memberi arah, fiqih memberi langkah, dan ijtihad memastikan langkah itu tepat menuju tujuan.
Kita tidak boleh terjebak pada sikap membekukan agama atas nama kesetiaan pada syariah, padahal yang dibekukan hanyalah produk fiqih masa lalu. Sebaliknya, kita juga tidak boleh melepaskan diri dari nilai-nilai tetap hanya demi menyesuaikan diri dengan perubahan. Ijtihad adalah jembatan antara langit dan bumi: menghubungkan wahyu yang suci dengan kehidupan yang terus berubah. Selama umat memelihara semangat ini, Islam akan selalu menjadi rahmat bagi semesta, di masa lalu, kini, dan nanti.