YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Kebutuhan akan tegaknya hukum dan penyelesaian perkara secara terstruktur dan sistematis semakin meningkat, selaras dengan semakin berkembangnya kebutuhan akan metode penyelesaian perkara yang efisien, ideal, dan adil bagi seluruh pihak. Isu yang dirasa sangat relevan di masyarakat tersebut pun telah diteliti secara ilmiah oleh dua guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Fadia Fitriyanti, S.H., M.Hum., M.Kn. dan Prof. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. dan disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka sekaligus Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar UMY pada Sabtu (17/2). Kedua guru besar dari Fakultas Hukum UMY ini menjelaskan mekanisme penyelesaian perkara menggunakan pendekatan yang lebih modern dan merata.
Prof. Dr. Fadia Fitriyanti, S.H., M.Hum. M.Kn. sebagai Guru Besar di bidang Hukum Bisnis percaya bahwa penyelesaian perkara maupun sengketa menggunakan Online Dispute Resolution (ODR) yang berbasis kecerdasan buatan merupakan mekanisme yang paling efisien dari metode Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Ia juga menambahkan bahwa kecerdasan buatan dapat membantu menganalisa dokumen penelitian dan penyusunan standar, bahkan hingga menyarankan solusi penyelesaian sengketa.
“Penggunaan kecerdasan buatan sebagai APS dapat diterapkan di Indonesia dalam tahap negosiasi dan mediasi. Namun dari sisi hukum, masih harus ditinjau kembali apakah akan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku atau tidak,” ujar Fadia.
Ia juga mengatakan bahwa penyelesaian sengketa menggunakan ODR akan lebih efektif jika dibandingkan dengan melalui proses litigasi yang lebih mahal dan kurang responsif. Proses litigasi juga rentan menyebabkan permusuhan antar kedua belah pihak jika dibandingkan dengan proses ODR yang saling menguntungkan, dijamin kerahasiaannya dan dapat menyelesaikan sengketa dengan kooperatif.
“Dalam penerapannya, ODR masih harus menghadapi beberapa tantangan termasuk dalam hal teknis mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan lanskap geografis yang luas, sehingga akan lebih sulit dalam menjangkau persebaran teknologi dan informasi,” jelas Fadia.
Adanya alternatif dalam menyelesaikan permasalahan di ranah hukum pun mencakup beberapa aspek yang lebih spesifik, termasuk dalam penyelesaian Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH) dengan menggunakan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif kepada korporasi.
Meningkatnya pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan baik oleh individu maupun korporasi perlu mendapatkan pengawasan khusus, terutama karena kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi adalah yang potensial untuk dilakukan dan memiliki dampak berbahaya bagi keberlangsungan lingkungan hidup. Pendekatan keadilan restoratif untuk menyelesaikan tindak pidana kejahatan lingkungan dipandang perlu oleh Prof. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. dan akan berfokus pada proses dialog serta mediasi untuk penyelesaian perkara pidana yang lebih adil bagi pihak korban dan pelaku.
Yeni yang merupakan guru besar UMY di bidang Hukum Pidana mengatakan bahwa dalam konsep keadilan restoratif, ada komunikasi antara pelaku dan korban, sementara posisi negara berada di tengah sebagai fasilitator. Menurutnya, penegakan hukum yang kuat melalui keadilan restoratif diperlukan agar Indonesia dapat mencapai green environment.
“Penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian TPLH terbilang unik, karena luaran yang dihasilkan tidak hanya sampai penyelesaian masalah namun juga pemulihan lingkungan agar kembali menjadi semula. Dalam mengkaji hukum yang terkait dengan keadilan restoratif, idealnya harus dilakukan rekonstruksi terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan lingkungan hidup,” ungkap Yeni.
Dalam penerapan konsep keadilan restoratif maupun alternatif lainnya untuk penyelesaian permasalahan hukum, diharapkan dapat berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara dan pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya dan korban dapat segera mendapatkan ganti rugi. Yeni pun percaya bahwa dengan adanya kultur dalam komponen keadilan restoratif dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap hukum, kepatuhan terhadap hukum, dan kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum. (ID/diko)