Tidak Terlihat Namun Paling Terdampak: Suara Penyandang Disabilitas dalam Bencana Sumatra 2025
Oleh: Dr Islamiyatur Rokhmah, SAg, MSI, Ketua Pusat Studi Perempuan, Keluarga dan Bencana (PSPKB) UNISA Yogayakrta
Banjir besar dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatra pada akhir 2025 kembali menyisakan luka panjang. Ratusan jiwa menjadi korban, ribuan rumah hanyut atau rusak, dan puluhan ribu orang terpaksa mengungsi. Namun di tengah hiruk-pikuk evakuasi dan pencarian korban, ada kelompok yang suaranya paling pelan terdengar: penyandang disabilitas. Ironisnya, mereka yang paling rentan justru sering paling terlambat terjangkau oleh sistem penanggulangan bencana.
Ketika Tanda Bahaya Tak Terlihat dan Suara Peringatan Tak Terdengar
Dalam situasi darurat, setiap detik berarti kehidupan. Namun bagi penyandang disabilitas, detik-detik krusial itu sering hilang karena hambatan fisik, sensori, maupun komunikasi.
Di Sumatra Utara, seorang penyandang disabilitas tunarungu menceritakan bagaimana ia tidak mendengar sirene peringatan ketika air mulai naik. Ia baru tersadar setelah tetangga mengetuk jendela rumahnya. Di Aceh, seorang lansia dengan disabilitas mobilitas terjebak di rumahnya hampir tiga jam sebelum tim penyelamat datang. Di Sumatra Barat, beberapa penyandang disabilitas intelektual kebingungan ketika proses evakuasi berlangsung cepat tanpa pendamping. Situasi ini menggambarkan satu hal sederhana namun sering terlupakan: sistem peringatan dini kita belum inklusif.
Pengungsian yang Belum Ramah Disabilitas
Tenda-tenda pengungsian di tiga provinsi—Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat—penuh dengan warga yang mencari tempat aman. Namun fasilitas dasar di banyak lokasi belum memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas.
Masih banyak:
· Toilet tanpa pegangan tangan, yang menyulitkan penyandang disabilitas mobilitas;
· Tangga atau permukaan tidak rata yang menyulitkan kursi roda;
· Kurangnya ruang tenang bagi penyandang autisme;
· Minimnya informasi visual bagi penyandang disabilitas tunarungu;
· Tidaknya tersedia alat bantu seperti tongkat, kursi roda, atau popok dewasa.
Sementara itu, banyak penyandang disabilitas kehilangan alat bantu mereka saat banjir menghanyutkan rumah dan harta benda.
Di balik angka-angka pengungsi, terdapat realitas pahit: pengungsian kita belum benar-benar menjadi ruang aman bagi semua orang.
Perempuan dan Anak Penyandang Disabilitas: Dua Kali Lebih Rentan
Di lokasi bencana, kelompok perempuan dan anak penyandang disabilitas menghadapi tantangan berlipat:
· Risiko kekerasan berbasis gender meningkat di area pengungsian yang gelap dan sempit;
· Kurangnya ruang privat membuat perempuan penyandang disabilitas kesulitan menjaga kebersihan diri;
· Anak penyandang disabilitas rentan mengalami trauma berulang tanpa dukungan psikososial.
Mereka bukan hanya kehilangan rumah; mereka kehilangan rasa aman.
Bencana Menguji Kemanusiaan Kita
Bencana adalah ujian, bukan hanya bagi kesiapsiagaan pemerintah, tetapi bagi kemanusiaan kita. Apakah kita memastikan tidak ada satu pun warga yang tertinggal (no one left behind)? Ataukah kita membiarkan penyandang disabilitas berjuang sendirian dalam ketidakpastian?
Jawabannya akan menentukan arah masa depan penanggulangan bencana di Indonesia. Sumatra 2025 memberi kita pelajaran penting: bencana tidak pernah diskriminatif, tetapi sistem kita kadang masih begitu.
Menuju Tanggap Darurat yang Inklusif
Untuk memastikan tidak ada penyandang disabilitas yang tertinggal, beberapa langkah perlu menjadi prioritas nasional:
1. Sistem peringatan dini yang dapat diakses—melalui suara, teks, getaran, dan visual.
2. Pemetaan data penyandang disabilitas di setiap desa sebagai dasar evakuasi cepat.
3. Pelibatan organisasi disabilitas dalam penyusunan SOP kebencanaan.
4. Pengungsian ramah disabilitas dengan fasilitas aksesibel dan pendamping terlatih.
5. Pelatihan relawan tentang disabilitas, komunikasi efektif, dan penyelamatan aman.
6. Penyediaan alat bantu darurat, seperti kursi roda portabel dan tongkat lipat.
7. Layanan psikososial khusus bagi penyandang disabilitas dan keluarganya.
Kemanusiaan tidak diukur dari seberapa cepat kita membangun kembali jembatan atau rumah, tetapi dari bagaimana kita merangkul warga yang paling rentan.
Agar Tidak Ada yang Tertinggal
Bencana Sumatra 2025 adalah teguran, bukan hanya dari alam, tetapi dari realitas sosial kita. Sudah saatnya Indonesia membangun sistem kebencanaan yang benar-benar inklusif, yang memastikan setiap orang, termasuk penyandang disabilitas, memiliki hak yang sama untuk hidup aman.
Karena dalam bencana, kesetaraan bukan pilihan—melainkan kewajiban.


